Diposkan pada agama, doa, inspiring, kajian islam, kontemplasi

Ilmu Ramadhan Flash Sale


flash sale.jpeg

Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman selama 1/3 perjalanan puasa bulan Ramadhan ini. Ada fenomena menarik yang sudah umum kita temui di bulan ini, yaitu ramainya tempat ibadah, dan sebenarnya juga seimbang dengan ramainya tempat jajanan, seolah ikut bersaing menyelenggarakan jama’ah jajan tersendiri, yang jelas membuat para jama’ah jajan ini kelihatannya kehilangan momentum sholat Isya berjama’ah dan Tarawih, karena setelah buka puasa, sholat Maghrib dilanjut dengan obrolan seru sambil menyantap jajan dan menyeruput minuman yang dipesan.

Menjerumuskan? Jelaslah…

OK, saya ga mau bahas itu lebih lanjut, saya mau bahas fenomena membludaknya masjid di awal Ramadhan saja. Bagaimana pun turut bersyukur fenomena ini selalu terjadi, meski dapat diramal, seiring Ramadhan akan berakhir, masjid akan kembali sepi, tersisa orang-orang yang biasanya istiqomah (konsisten) ke masjid selain di bulan Ramadhan, fenomena umumnya di negara kita.

Saya pernah membuat tulisan yang berhubungan sama hal ini di https://widodowirawan.com/2013/07/11/lomba-lari-maraton-di-bulan-puasa/

Ada fenomena lain teramati oleh saya, yaitu disebabkan karena terbatasnya ilmu dalam melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Ilmu yang terbatas ini menyebabkan umat yang ke masjid dan melaksanakan ibadah puasa hanya bermodalkan semangat saja atau sekadar ikut-ikutan sehingga berpotensi tidak mendapatkan pahala Ramadhan Flash Sale yang memang sangat fantastis kelipatan pahalanya, bahkan sebaliknya malah menyebabkan dosa dan penyakit.

Melewatkan makan sahur

Makan sahur ada berkah yang besar di dalamnya, berbeda dengan puasa sunnah, puasa di bulan Ramadhan sangat dianjurkan untuk makan sahur, meski pun itu cuma sedikit. Bukan sebaliknya kalau tidak makan sahur lebih baik, toh tetap kuat juga menjalani puasa. Ini pemahaman yang menjerumuskan juga.

“Makan sahur adalah makan penuh berkah. Janganlah kalian meninggalkannya walau dengan seteguk air karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad)

“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.”  (QS. Ali Imran: 17)

“Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz Dzariyat: 18)

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah makan sahur.” (HR. Muslim)

Sholat isyroq atau sholat syuruq

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.”

Perkara sholat isyroq ini tidak banyak yang mengetahui besar pahalanya, yaitu setara pahala haji dan umroh. Jadi bagi mereka yang belum berkesempatan menunaikan ibadah haji atau umroh, atau pun yang sudah menunaikan sekali pun, dapat mengusahakan pahala yang sama persis dengan melakukan sholat isyroq ini. Sebenarnya sholat isyroq ini adalah termasuk sholat dhuha. Bedanya adalah dia dikerjakan di awal waktu dhuha, yaitu sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Cukup 2 rakaat saja.

Di tempat saya matahari terbit sekarang sekitar pukul 05.40, jadi sholat isyroq bisa dikerjakan mulai pukul 05.55. Tidak boleh mengerjakan sholat saat pas matahari terbit, karena merupakan waktu yang terlarang. Sholat isyroq ini terasa sangat berat, bila pahalanya ingin setara haji dan umroh, yaitu harus dikerjakan di masjid, setelah selesai selesai waktu sholat subuh sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas. Artinya ada waktu menunggu sekitar 1 jam lebih sedikit sejak masuk waktu subuh. Pahala ini semakin berlipat bila kita rutin mengerjakan sholat sunnah sebelum sholat subuh, yang derajatnya lebih baik dari pada dunia seisinya. Bayangkan betapa royalnya Allah kepada manusia dalam memberikan pahala. Sholat isyroq sebenarnya tidak hanya bisa dikerjakan di bulan Ramadhan saja. Dia berlaku di semua bulan. Namun spirit Ramadhan ini mestinya memberikan energi lebih, meski pun godaannya juga lebih banyak, sehabis makan sahur dan subuh biasanya rasa kantuk menyerang hebat. Ya wajarlah, makanya pahalanya setara haji dan umroh, hanya orang terpilih yang mau dan mampu. Karena dosa saya sendiri masih banyak sekali, jadi sayang banget kalau tidak mengambil momentum menunggu waktu sholat isyroq ini. Disela-sela menunggu setelah selesai mendengar ceramah pasca sholat Subuh, saya bisa membaca Al Quran dengan halaman yang cukup banyak dari pada waktu lainnya atau berdzikir memuji Allah dan meminta ampun atas dosa-dosa saya.

Berdoa sebanyak-banyaknya

Berdoa adalah salah satu bentuk pengakuan sebagai hamba kepada Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Pengabul Doa. Juga sebagai indikator ketidaksombongan kita, hanya mereka yang sombong yang malas berdoa kepada Sang Penciptanya.

Bulan Ramadhan ini dijanjikan melalui banyak dalil, yang pasti akan ditepati janji itu oleh Allah, sebagai salah satu momentum dan waktu terpanjang saat dikabulkannya doa. Berdoalah sebanyak-banyaknya penuh harap dan tanpa bosan, sehingga kita semakin sadar bahwa kita ini bukanlah siapa-siapa.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya do’a orang yang berpuasa ketika berbuka tidaklah tertolak.” (HR. Ibnu Majah)

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga do’a yang tidak tertolak: (1) do’a pemimpin yang adil, (2) do’a orang yang berpuasa sampai ia berbuka, (3) do’a orang yang terzholimi.” (HR. Tirmidzi)

Ramadhan ini sebagai sarana cuci dosa, revitalisasi, dan latihan untuk mempersiapkan energi pada bulan-bulan selanjutnya. Amat sangat sayang untuk dilewatkan dengan hanya sekadar menunaikan kewajiban menahan lapar dan haus saja.

Oh, Ramadhan, tak terasa sebentar lagi engkau akan meninggalkan kami. Atau sebenarnya kamilah yang akan meninggalkan engkau terlebih dahulu karena tidak bersabarnya kami menanti akhirmu. Karena bosan dan benci dengan produk-produkmu, atau karena kami tidak punya ilmu dan semangat untuk membelinya. Maka dari itu kepada Yang Menciptakanmu kami berdoa: Berikanlah kami kesempatan yang luas dan kemampuan untuk membeli produk-produk flash sale-mu. Karena kami ga yakin akan dapat menemui momen flash sale lagi di tahun depan… Berikanlah kepada kami ilmu dan kemudahan untuk meraup sebesar-sebesarnya pahala Ramadhan. Aamiin yaa Rabbal ‘aalaamiin…

Ramadhan ke-11, 16 Mei 2019

Diposkan pada agama, kontemplasi, manajemen, rumah sakit

Shalih vs Muslih


Jumat lalu terinspirasi dari sebuah khutbah saat mampir Jumatan di sebuah masjid besar di perempatan Kasihan Bantul. Sang khatib yang ceramahnya tidak membuat kantuk namun juga membuat jama’ah betah menyimak. Beliau menyitir sebuah ayat Al Quran tentang larangan menyembunyikan kebenaran. Beliau menekankan bahwa penting menjadi orang baik, namun jauh lebih penting menjadi orang yang mengajak kepada kebaikan, penting tidak berbuat keburukan, namun jauh lebih penting mencegah tersebarnya keburukan. Menurut beliau menjadi pemimpin yang adil, tidak takut menyuarakan kebenaran dan mencegah kemungkaran jauh lebih baik daripada orang yang hanya suka berdzikir di masjid. Apalagi kalau sudah tahu ada ketidakbenaran, dia diam saja, maka itu akan mendatangkan malapetaka dan kerusakan.

Fenomena mencolok akhir-akhir ini kita lihat tempat ibadah semakin penuh, secara kasat mata dapat dikatakan semakin banyak orang shalih, namun kita lihat ternyata bencana dan adzab tidak semakin berkurang. Kedzaliman dan kecurangan terus-menerus dan semakin banyak terjadi, hoax bertebaran tak terkendali.

Saya ingat seorang teman dokter yang galau ketika diminta untuk naik ke level manajemen, menjadi salah satu pimpinan di tempat kerjanya. Saya katakan kepada dia, meski pun itu sulit, tapi dia menyaksikan sendiri bagaimana kondisi tempat kerjanya yang tidak menyenangkan, budaya kerja yang tidak baik, manajemen yang tidak transparan. Saya katakan, itulah tantangannya yang membuahkan hasil yang lebih terhormat dan tinggi nilainya di sisi Sang Khalik. Kalau kita tidak senang melihat hal tersebut, tidak bisa kita hanya sekadar kasih usul atau bahkan cuma menggerutu. Jadilah agen perubahan. Jangan takut naik level, mendapatkan lebih banyak masalah, karena masalah itu justru akan semakin menguatkan kita.

Agen perubahan dalam terminologi Al Quran disebut sebagai muslih, adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk bisa menolak adzab dan kerusakan. Tak hanya kuat dari sisi nahi mungkar, melainkan juga teguh dalam amar ma’ruf.  Ketika seseorang itu menolak kedzaliman dan kerusakan, otomatis ia juga mendatangkan maslahat. Begitu juga sebaliknya, bila ia mendatangkan maslahat, secara otomatis juga ia menolak adanya mafsadat/kerusakan. Tujuan islah/perbaikan yang dilakukan seorang muslih tidak selamanya untuk menghilangkan maksiat dan kedzaliman, namun juga untuk mencegah turunnya adzab Allah yang bisa menimpa semua orang (baik yang shalih maupun yang berdosa).

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang dzalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara dzalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud : 116-117).

Muslih tidak mesti sempurna terlebih dahulu (dari segi amalan dan ilmunya), dalam hadits: “Serukanlah yang ma’ruf walaupun kalian tidak melakukannya secara sempurna, dan cegahlah kemungkaran walaupun kalian tidak berlepas darinya seluruhnya”. (HR Thabrani dan Baihaqi).

Keluarga muslih tidak mesti semuanya orang-orang shalih, sebab Nabi Nuh saja tidak bisa menshalihkan anak dan istrinya, Nabi Ibrahim tidak bisa menshalihkan ayahnya, dan Nabi Muhammad tidak bisa menshalihkan pamannya Abu Lahab, dan Abu Thalib. Dalam ayat: “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai” (QS al-Qashash: 56).

Apa ciri utama muslih: di awal dia bergerak musuhnya lebih banyak daripada temannya, berbeda sama orang shalih (baik): lebih banyak temannya daripada musuhnya, karena orang shalih tidak pernah mengutak-atik urusan orang lain, berbeda sama orang muslih yang senantiasa peduli dengan apa yang terjadi di orang lain dan lingkungannya. Dalam hal ini saya tidak setuju kalau ibadah itu hanya meliputi wilayah privat/pribadi, itu hanya ibadah ritual, seperti orang shalih yang hanya berdzikir saja di masjid, tidak mau berkubang sama masalah. Mungkin ada yang ingat mengenai level keimanan dalam sebuah hadits dari sisi mengatasi kedzaliman/kemungkaran, bahwa yang paling tinggi itu adalah level penggunaan kekuasaan, ini hanya bisa dilakukan oleh para pemimpin (istilahnya umara), para ustadz dan kyai mungkin cuma sampai pada level kedua yaitu menggunakan lisan/ucapannya, dan yang paling rendah justru malah bisa tersemat pada orang-orang shalih yang cukup cari aman saja, berdzikir saja di masjid, ternyata dapat dikategorikan sebagai selemah-lemahnya iman, yaitu hanya bisa mengutuki/menggerutu di dalam hati saja mengenai kerusakan yang terjadi.

Satu orang muslih lebih dicintai oleh Allah daripada seribu orang yang shalih, sebab dengan adanya muslih, Allah menjaga seluruh umat dari adzab (dunia), dan orang shalih hanya bisa menjaga dirinya sendiri, tanpa orang lain. So, marilah menjadi orang shalih, namun juga sekaligus muslih.

Referensi: dari berbagai sumber hasil searching di google

Difinalisasi sehabis rapat koordinasi manajemen RS UII di 02052019
Berusaha menulis minimal 1 tulisan dalam sepekan. Rencananya rilis setiap Senin, apa daya, waktu tak selamanya bisa digenggam. Baik pemirsa, silakan disimak blog ini ya, terimakasih 🙂

Diposkan pada dokter, kesehatan, manajemen, rumah sakit, yankes

Uncertainty & Unclearness


Mungkin teman-teman mengenal istilah PHP? Jauh sebelum istilah PHP yang merupakan bahasa gaul dari “Pemberi Harapan Palsu”, sudah dikenal terlebih dahulu singkatan rekursif (perulangan) yang merupakan sebuah bentuk lelucon dari sebuah bahasa pemrograman PHP, yaitu PHP Hypertext Preprocessor. Saya yakin tidak banyak yang paham dan bisa tertawa dengan lelucon rumit seperti ini… Malah tambah pusing kan? 😁 Kalau teman-teman lagi gabut (silakan searching sendiri arti gabut ini ya) silakan searching di mesin google istilah-istilah di atas ya… (tuh… ikut-ikutan rekursif kan sayanya) 😁

Saya sebenarnya mau berbicara tentang PHP yang merupakan singkatan dari “Pemberi Harapan Palsu”. Siapa pun, selama masih namanya manusia, pria atau wanita, mesti tidak suka di PHP kan? Ada istilah lain dalam bahasa Inggris yang saya kira dapat mewakili istilah gaul berbahasa Indonesia ini, yaitu Uncertainty dan Unclearness.

Dalam scope (cakupan) terbatas, mungkin juga teman-teman pernah mendengar isitilah BPIS? Saya yakin jarang sekali, mesti…. Beda sama BPJS, mesti udah paham semua kan 😊

Okey! BPIS adalah akronim (singkatan) dari “Bila Pasien Itu Saya”, “If the Patient Is Me”, sebuah istilah yang mulai gencar digaungkan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini. Dalam scope kerumahsakitan, istilah BPIS muncul dalam separuh lebih dari bab-bab standar akreditasi rumah sakit (RS). Dahulu sistem pelayanan kesehatan menganut pola “hospital centered care” atau pun “doctor centered care”. Sistem yang melihat posisi masyarakat yang menggunakan fasilitas layanan kesehatan sebagai objek yang tidak memiliki wewenang apa-apa dalam menentukan kesembuhan dirinya. Apa-apanya mesti manut kepada dokter atau RS. Zaman sudah berubah. Di era diseminasi/sebaran informasi yang sangat cepat melalui teknologi internet, menghendaki masyarakat (pasien) untuk memegang peranan sangat penting dalam menentukan kesembuhan dirinya, memegang peranan penting dalam memutuskan intervensi pengobatan dan tindakan medik terhadap dirinya. Selain dijamin oleh negara, secara kekuatan sosial, posisi tawar masyarakat sudah lebih baik terhadap layanan kesehatan. Seorang dokter yang memberikan pelayanan yang tidak memuaskan di mata seorang pasien, dapat tersebar dengan cepat dan akan berakibat tidak baik terhadap dokter itu sendiri.

Nah, teman-teman, salah satu unsur dari sekian banyak dimensi mutu dalam memberikan layanan publik, tak terkecuali layanan kesehatan adalah unsur kepastian (certainty) dan kejelasan (clearness). Bayangkan posisi kita sebagai pasien yang kepayahan dengan sakitnya, menunggu seorang dokter yang diinformasikan secara jelas oleh bagian administasi akan praktik pada jam sekian-sekian. Lalu kita (sebagai pasien) ternyata harus menunggu sampai lebih dari, katakanlah, lebih dari 1 jam (bahkan bisa ada yang sampai 7 jam!). Apakah dalam posisi tersebut, teman-teman akan mengalami lonjakan emosi yang sangat atau biasa saja? 🙄

Unsur certainty dan clearness sangat erat dalam menentukan apakah pasien akan puas atau tidak dengan layanan dokter/RS. Seorang dokter menolak dan marah ketika diingatkan bahwa dia akan praktik pada jam sekian-sekian oleh bagian administrasi, seolah-olah dia tidak akan lupa atau tidak akan ada masalah yang menyebabkan dia tidak akan jadi praktik pada hari/jam yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Di sini petugas administrasi telah menjalankan unsur certainty, memastikan bahwa dokter pasti (insyaAllah) akan praktik pada hari/jam yang telah ditentukan. Di lain waktu, seorang dokter marah ketika tidak diingatkan bahwa pada hari/jam tertentu dia akan praktik. Petugas administrasi tiba-tiba secara mendadak menginformasikan kepada dokter bahwa telah ada antrian pendaftaran pasien yang cukup banyak. Dia tidak siap karena petugas administrasi tidak memberitahukan/mengingatkan jauh-jauh dari waktu praktiknya. Dalam hal ini petugas administrasi telah lalai tidak menjalankan unsur certainty tadi. Dua kejadian ini ternyata mengakibatkan ketidakpuasan dari pihak dokter mau pun pasien. Ketidakpuasan biasanya akan melahirkan komplain, yang dapat bermanifestasi baik atau buruk, tergantung respon yang diberikan. Ketidakpuasan dan komplain lahir karena ada gap (kesenjangan, jurang pemisah) antara harapan (ekspektasi, idealita) dengan kenyataan (realita). Harapan dari pasien bahwa dokter bisa praktik tepat waktu, tapi kenyataan yang dihadapi oleh pasien tidak sesuai harapannya, maka kekecewaan akan muncul, tidak puas, dan tidak mustahil akan terjadi komplain. Bayangkan bila teman-teman berposisi sebagai pasien itu ya…

Pasien yang berhadapan dengan kenyataan yang tak pasti (uncertainty), pada level komplain terburuk akan menyebarkan ketakpuasan itu kepada teman-temannya dan seisi dunia (tidak bisa dikatakan lebay ya di zaman internet ini, karena sudah banyak buktinya), dan terparah akan mengajak orang lain untuk tidak menggunakan layanan kesehatan di RS atau tidak usah berobat ke dokter yang melakukan PHP tadi 😊 masih ingat ya istilah PHP yang saya maksud ini…

Ada ga sih cara mengurangi level ketidakpuasan dan komplain pasien ini? Ada. Yaitu memberikan penjelasan. Kejelasan (clearness), yaitu memberikan informasi secara responsif (cepat) dan up to date (terbaru), dalam waktu terukur (ada standar jelas, tertuang dalam dokumen prosedur baku), mengenai gap yang terjadi, dalam kasus di atas, mengapa dokter tidak bisa praktik tepat waktu. Tapi perlu sangat diperhatikan bahwa pemakluman masyarakat terhadap unsur clearness ini hanya pada hal-hal yang memang di luar kendali, yang secara manusiawi dapat diterima oleh akal sehat. Dan masyarakat juga akan melihat apakah unsur clearness ini hanya berupa bentuk cari-cari alasan atau memang harus dimaklumi. Pernah dong kita kalau ga puas sama seseorang, kita bisa jadi ga akan percaya lagi sama dia, karena itu-itu saja yang diulang klarifikasi/penjelasan yang diberikannya kepada kita kan… 😊 Sama dong, pasien juga akan seperti itulah…

Nah, coba kita bayangkan lagi, sudahlah tidak pasti (uncertainty) ditambah lagi tidak jelas kapan dokter akan datang, alasan telatnya apa saja, karena tidak dapat penjelasan (unclearness), apa yang akan terjadi? Kalau saya, mending cari dokter lain atau RS lain aja, ngapain mau di-PHP-in terus, ya ga? 😁

Artikel ini dicicil saat menunggu si Kakak yang ikut kelas Parenting Kids dari tim Pola Pertolongan Allah (PPA) di Hotel Syariah Grand Dafam Rohan Jogja hari Ahad kemarin, dilanjut menulis saat perjalanan ke RS UII, difinishing di ruangan kerja sambil menunggu sesi rapat tim marketing support Senin pagi ini. Terimakasih yang telah berkenan membaca. 😊

Diposkan pada manajemen, rumah sakit, yankes

Memulai Lebih Sulit Daripada Meneruskan?


Postingan pertama di tahun ini setelah sekian lama mengalami fase dorman yang sempat membekukan otak. Tepatnya adalah sisi otak yang memberikan stimulasi untuk menulis kembali. Semoga dengan memulai dengan tulisan yang ringan ini – menurut saya, dapat sedikit demi sedikit mencairkan sisi beku otak saya tersebut.

Memulai sebuah petualangan baru di sebuah institusi besar bernama Rumah Sakit Universitas Islam Indonesia, kebanyakan secara tak sadar saya telah mengalokasikan sumber daya tenaga dan pikiran yang besar, serta pengorbanan-pengorbanan lainnya yang mungkin itu sesuatu yang luar biasa, yang juga kebanyakan tidak saya sadari. Ya, kebanyakan tidak saya sadari setelah saya sering menerima komplain dari orang-orang terdekat terhadap berkurangnya porsi perhatian kepada mereka. Namun di sini saya tidak akan membahas hal itu. Saya fokus sesuai judul tulisan ini saja ya.

Sebuah istilah mengungkapkan hal tersebut: “Memulai Lebih Sulit Daripada Meneruskan”. Benarkah begitu? Ada sih istilah lainnya: “Memulai Lebih Mudah Daripada Mempertahankan” untuk yang ini saya setuju 100 persen Tapi saya juga tidak akan membahas istilah yang ini. Saya kembalikan saja untuk fokus ke istilah pertama ya…

Ya, untuk memulai menulis kembali di blog ini, saya rasakan juga tidak mudah, tetapi jauh terasa lebih mudah mencairkan kebekuan dengan sedikit pemanasan melalui tulisan ini, perlahan, saya yakin semakin lama akan cair secara total, dan akan mengalir lancar kembali, insyaAllah. Saya yakin mereka yang belum pernah menulis di blog, analog dengan sulitnya mencairkan ide di awal dulu saat saya memulai coretan di blog ini, mungkin waktu itu masih terlalu banyak pertimbangan dan mental block (ketidakpercayaan diri) yang menghalangi.

Saya berbicara dari pengalaman saya saja yang baru segelintir saja di umur, yang kata orang masih muda ini. Saya pernah merasakan menjadi direktur ke-4 di RS Islam Yogyakarta PDHI, ditambah dengan berkarir selama 5 tahun sebelum menjadi direktur di RS ini. Pengalaman selama 10 tahun ini, yang saya mulai dari level staf, lebih memudahkan saya merasakan dinamika organisasi. Ini menjadi bekal berharga ketika naik level ke pimpinan puncak. Namun, itu pun sebenarnya tidak mudah di tengah stigma-stigma pribadi dan institusi yang terlanjur melekat di mata pelanggan internal maupun eksternal. Perlu waktu yang panjang juga untuk membalikkan stigma-stigma negatif menjadi stigma-stigma positif agar tercapai budaya organisasi yang sehat dan pelayanan berkualitas. Perlu meyakinkan, dan itu sering saya lakukan berulang-ulang, tanpa bosan, meski kadang lelah mendera, mentransfer kekuatan spirit visi misi pribadi dan institusi ke segenap komponen organisasi, tentu saja turut langsung memberikan contoh bagaimana cara merealisasikan dalam tataran operasional. Saya tidak terbiasa hanya berkeluh-kesah, memerintah, memberi usul atau dorongan saja, tanpa terlibat langsung memberikan contoh, bahkan dari sisi teknis sekali pun, saya akan lakukan itu. Saya sering kali harus memaklumi bahwa ide-ide saya tidak begitu saja mudah dimengerti oleh teman-teman saya, untuk itulah saya harus selalu meyakinkan mereka dan membuat contoh-contoh kecil, agar mereka mampu melihat tahapan-tahapannya serta capaian keberhasilan kecil terlebih dahulu. Hal ini akan menimbulkan rasa kepercayaan yang semakin kuat serta potensial energi penggerak untuk melangkah menuju ke tahap kesuksesan yang lebih besar, dengan masalah yang lebih rumit tentu saja.

Sedikit deskripsi di atas semoga dapat memberikan gambaran bahwa berada dalam posisi “meneruskan” itu sebenarnya juga butuh energi yang besar juga.

Sekarang saya mencoba membandingkan dengan situasi saya sebagai direktur utama di institusi besar bernama RS Universitas Islam Indonesia, dalam posisi “memulai”. Kebanyakan teman saya bilang: “hebat sekali kamu, pasti jauh lebih sulit ya?” Tapi seorang mentor bilang ke saya: “engga, dia enjoy kok…”

Komentar saya: “kedua pertanyaan dan pernyataan itu benar buat saya” 😊

Yang tidak banyak terungkap adalah, kondisi saya di dua institusi tersebut, pada saat mengawali fase “meneruskan” dan kemudian pindah (move on) ke kondisi mengawali fase “memulai” itu sama-sama galau secara psikologis. Ya, karena sama-sama mengawali, mengawali untuk “meneruskan” dan mengawali untuk “memulai”. Paham ya. Jadi ini mungkin belum terlalu menjawab apakah “Memulai Lebih Sulit Daripada Meneruskan” untuk konteks diri saya ya 😁

Baiklah. Supaya mudah, enaknya di-poin-kan saja secara objektif dan subjektif apa yang saya temukan di dua institusi ini ya, nanti silakan bila berkenan berikan komentar, bila teman-teman pembaca yang menghadapi situasi ini, kira-kira apa yang akan dilakukan? Dan apakah bisa menjawab “Memulai Lebih Sulit Daripada Meneruskan”?

RS Islam Yogyakarta PDHI

  1. Merupakan RS tumbuh, bermula dari Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin sejak tahun 1997, resmi menjadi RS pada tahun 2005. Berkembang menjadi RS kelas C sejak tahun 2016. Dimiliki oleh Yayasan Persaudaraan Djama’ah Haji Indonesia.
  2. Terkenal sebagai RS sosial dengan segmen pasar menengah ke bawah. Sedang berproses memperkuat segmen pasar kelas atas.
  3. Sumber daya manusia (staf) mudah dibentuk meski pun harus dengan pembelajaran yang lama, budaya organisasi sudah terbentuk sejak lama. Di sisi lain ini menjadi hambatan untuk move on lebih cepat untuk meninggalkan status quo comfort zone, sehingga cukup memakan banyak korban bagi yang tidak dapat mengikuti perkembangan organisasi.
  4. Stakeholder kunci (shareholder) sedikit, sangat tergantung kepada beberapa orang saja, pola gerak termasuk kurang responsif dalam eksekusi untuk pertumbuhan, harus diimbangi kekuatan advokasi direksi dan pemahaman terus-menerus agar segenap komponen bersinergi dengan baik.
  5. Pola gerak pemasaran masih terkesan pasif, inisiatif belum terlalu baik, kreatifitas masih harus terus dikawal dan diasah agar tidak mengalami fase antiklimaks.
  6. Di kalangan dan wilayah terbatas posisi brand sudah baik, namun di luar itu masih perlu dicitrakan terus-menerus agar bisa lebih global melalui kancah regional dan nasional.
  7. Jaringan pre existing masih cukup homogen, perlu lebih heterogen untuk ekspansi jaringan.
  8. Power resources mesti lebih dikembangkan, mesti lebih kreatif dan lebih bebas di luar sekat-sekat yang sudah ada.
  9. Kegamangan citra tidak terlalu dirasakan, sehingga tidak terlalu menjadi beban, tetapi dapat menjadi hambatan dalam pertumbuhan, kecuali bila terus-menerus dipompa kesadaran spirit ilahiyah diiringi dengan perbaikan profesionalitas berorganisasi. Ini kombinasi power yang dahsyat.
  10. Tuntutan terhadap pertumbuhan organisasi dan pelayanan tidak terlalu besar.

RS Universitas Islam Indonesia

  1. Merupakan RS mapan (langsung jadi) dan super mewah, berbentuk badan usaha/perseroan yang dimiliki oleh Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia. Resmi beroperasional sejak Februari 2019 sebagai RS kelas C.
  2. Masih teridentikkan sebagai RS segmen menengah ke atas seperti RS milik Yayasan Badan Wakaf UII yang lebih dahulu ada. Padahal faktanya segmen pasarnya adalah untuk semua kalangan. Dengan tarif sangat kompetitif/terjangkau meski pun dengan fasilitas mewah dan pelayanan yang baik dan cukup responsif di awal beroperasi.
  3. Sumber daya manusia dengan latar belakang sangat beragam, sebagian besar berpengalaman meski pun cukup banyak pada level jabatan strategis belum banyak yang memahami bisnis perumahsakitan dan berinisiatif baik. Budaya organisasi sedang dibangun.
  4. Lebih banyak stakeholder (shareholder) yang mesti diberikan perhatian karena terdiri dari mereka yang sangat berpengalaman dalam bidang perumahsakitan agar tidak menjadi kontraproduktif dengan arah bisnis RS, sebaliknya dapat menjadi potensi tenaga yang bersinergi baik sehingga mendapatkan output yang luar biasa baik dan responsif.
  5. Pola gerak pemasaran dan pelayanan jauh lebih agresif namun perlu diimbangi dengan koordinasi yang intens, serta coaching ketat agar langkah-langkah tetap on the track, sesuai dengan keinginan pemilik.
  6. Posisi tawar brand sangat baik, sangat membantu dalam melakukan negosiasi, positioning, dan ekspansi.
  7. Jaringan pre existing jauh lebih menggurita, merupakan potensi dahsyat dalam ekspansi.
  8. Power resources lainnya jauh lebih kuat.
  9. Kegamangan pre existing image membuat rasa was-was dalam menyeimbangkan (memantaskan) gerak organisasi dan menjaga nama baik.
  10. Tuntutan besar terhadap percepatan pertumbuhan organisasi dan pelayanan.

Saya kira sementara cukup perbandingan 10 poin tersebut dahulu ya, meski bisa lebih banyak yang ada dalam pikiran saya. Nah, apakah sudah punya jawaban? Kalau saya sih sudah ada… 😊

Bila butuh jawaban saya, silakan kontak saya ya, terimakasih 😁

Tulisan ini dibuat saat menunggu proses boarding dan penerbangan dari Ternate menuju Jogjakarta, serta saat menunggu transit yang telat 3 jam dari jadwalnya (menunggu 6 jam) di Makassar.

Bonus: saya kasih pemandangan hasil jepretan saya saat di Ternate.

Danau Tolire di kaki Gunung Gamalama
Danau Tolire di kaki Gunung Gamalama
Pantai Sulamadaha, view Pulau Hiri
Pantai Sulamadaha, view Pulau Hiri
Pantai Sulamadaha, view Pulau Hiri, area snorkeling/diving
Pantai Sulamadaha, view Pulau Hiri, area snorkeling/diving
Pantai Sulamadaha
Pantai Sulamadaha
Pulau Hiri
Pulau Hiri
Diposkan pada curhat, deafness, gadget, hearing impairment, kontemplasi, menulis, tunarungu

Edukasi Koersif Untuk Anak, Perlukah?


Lama tidak berefleksi dalam tulisan. Judul tulisan ini pun melintas sekilas tapi masih membekas cukup kuat, memberikan daya kepada saya membuka aplikasi notepad di laptop tua yang sudah berkonversi menjadi desktop abal-abal karena LCD-nya telah pensiun, dan terlalu mahal hanya untuk menggantinya karena sudah langka di pasaran. Jadilah saya coba menulis kembali, sedikit saja dulu, buat pemanasan kembali.

Ceritanya, anak bungsu saya yang tuna rungu, maghrib ini tumben mengambil mukenanya dan pengen ikut sholat ke Masjid. Sregep begitu. Saya langsung ter-flashback ke satu hari lalu, manakala si adek mulai malas-malasan lagi buat sholat. Ibunya ikut uring-uringan susahnya sekarang diajak sholat. Sebagai anak tuna rungu, menguasai konsep pemahaman berbau abstrak itu sangat-sangat-sangat sulit bagi anak saya ini. Selama ini anak bungsu saya ini masih belajar kosa kata dan kalimat sederhana seputar kata benda, kata kerja, kata sifat. Dengan pengertian yang masih-masih sangat simpel. Tentu itu tidak dapat selalu memuaskan dia. Terbukti, bertubi-tubi sekarang Nadifa memberondong dengan kata tanya “apa” dan “mana”. Kita sendiri yang ikut pusing karena harus memikirkan dan mengucapkan dalam bahasa yang juga tidak gampang bisa dimengerti oleh anak berkebutuhan khusus seperti anak saya. Termasuk saya pikir dalam konsep sholat ini: mengapa dia perlu sholat. Dalam bentuk perluasan lain: mengapa dia perlu berdoa, mengapa dia perlu belajar, dan sebagainya. Sampai sekarang misalnya, ini ibunya yang omong ke saya: Nadifa di umur yang hampir 9 tahun, baru tahunya kalau uang di dompet ortunya sudah habis, tahunya dia ambil ke ATM. Dengan kombinasi bahasa isyarat dia minta ambil uang ke ATM. Walah nduk… nduk… uang itu perlu dicari melalui bekerja. Bukan minta ke ATM…. 😀

Kalau hanya konsep sehari-hari keduniawian lain seperti: mengapa harus cuci tangan, gosok gigi, mandi, mengapa harus tidur tidak kemalaman, mengapa harus makan, itu lebih gampang. Mandi supaya hilang bau badan dan tidak kotor. Cuci tangan sebelum makan supaya tidak kotor dan jadi sakit. Gosok gigi juga begitu. Dan ajaibnya anak bungsu saya ini, aslinya lebih fanatik terhadap suatu konsep dibanding kakaknya yang normal. Saklek banget begitu. Kotor dikit ga mau, bau dikit ga mau. Rajin sekali sikat gigi, sampai-sampai dokter gigi favorit langganan saya, tadi periksa Nadifa bilang: oke banget giginya, belum ada yang lobang. Selain itu, selalu memperhatikan simbol-simbol larangan di tempat-tempat umum dan suka perhatian bahkan marah sama ortunya kalau kasih toleransi dikit sama simbol-simbol larangan itu. Misal simbol dilarang membawa kamera, simbol dilarang membawa makanan minuman, dan sebagainya. Hitam putih begitu.

Jadilah saya manfaatkan juga pola pikir yang masih hitam putih ini untuk memberikan pemahaman kepada dia, mengapa harus sholat. Saya bukakan youtube dan cari kata kunci “tidak sholat neraka”. Muncul banyak video edukasi yang sedikit mengerikan bagi anak seumur dia. Tapi dia malah mendekat dan tertarik. Saya bukakan satu video yang menayangkan orang yang rajin sholat, lalu orang yang tidak sholat, dibakar pakai api di neraka, lalu ada tayangan ular neraka bernama Syuja’ul Aqra’ yang amat bengis kepada penghuni neraka yang semasa hidupnya malas atau jarang atau tidak sholat sama sekali. Ularnya mirip naga dinosaurus gitu. Sebagai maniak dinosaurus, Nadifa antusias dan kelihatan amat membekas. Habis lihat tayangan itu dia segera sholat. Dan maghrib tadi masih membekas, ikut bapaknya sholat ke masjid.

Mungkin banyak ortu yang tidak setuju cara mendidik anak seperti ini. Dengan cara komunikasi koersif, kekerasan, atau minimal menampilkan kekerasan? Entahlah. Tapi dalam agama mengajar itu bisa dengan lemah-lembut, tapi juga bisa dengan koersif, peringatan bahkan “kekerasan” atau lebih enak: ketegasan, bahasanya ya. Saya, alhamdulillah sudah ga pernah “main tangan dan kaki” lagi sekarang mengajarin anak-anak. Emosi sudah jauh lebih terkendali. Itu pun karena anak-anak saya yang justru jadi guru saya dalam belajar mengendalikan emosi. Syukur yaa Allah diberi amanah anak-anak hebat ini…

Saya semoga tidak banyak-banyak menggunakan cara komunikasi koersif ini untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak. PR masih amat banyak, pengendalian diri sendiri yang masih amat susah, apalagi memberi contoh, itu yang paling amat susah. Televisi sudah lama disingkirkan, dan saya juga ikut kena imbas tidak bisa nonton TV lagi. Gadget handphone, masih susah, masih sering dicerewetin sama istri, ya meski kadang juga saya ganti cerewetin hehe… . Mandi pun begitu, masih suka suruh-suruh anak mandi duluan, bapaknya sendiri masih belum mandi saat tulisan ini dibuat… Selain itu saya memang harus terus belajar membagi waktu dan menghimpun energi lebih besar, lebih banyak mencari modul-modul bagi anak-anak saya yang pembosan ini, sama dengan bapaknya, pengennya belajar yang baru terus.

Monjali, 9 Juli 2018. Pukul 21.30.

*Bersiap mandi 😀

Diposkan pada agama, rumah sakit, syariah

RS Syariah, Era Baru Perumahsakitan di Dunia


Kita mungkin sudah terbiasa mendengar label syariah pada institusi perbankan, pegadaian, asuransi dan perhotelan. Tapi label syariah pada institusi RS? saya yakin belum terlalu banyak yang mengetahui. Meski pun kalau kita cari di google telah banyak bertebaran artikel dan beritanya. Memang sampai tahun ini baru ada 2 RS syariah resmi yang ada di Indonesia, yaitu RS Islam Sultan Agung Semarang Jawa Tengah dan RS Nur Hidayah Bantul Yogyakarta. Saya sendiri baru terpapar istilah RS berprinsip syariah pada tahun 2015 pada waktu mengikuti The 32nd FIMA (Federation of Islamic Medical Association) Conference and the 8th Mukisi National Meeting di Grand Clarion Makassar. Mukisi (Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia) – http://www.mukisi.com/profile – ternyata telah melahirkan standar perumahsakitan syariah hasil kolaborasi dengan DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) yang juga telah menerbitkan fatwa mengenai RS syariah di tahun 2016. Dan luar biasanya, ini baru yang pertama di dunia.

Saya beserta rekan-rekan dan bersama beberapa RS lain dalam tahun ini melakukan intensifikasi menuju RS syariah melalui sertifikasi, maka percepatan pembelajaran pun dilakukan. Ternyata dampaknya memang luar biasa dari sisi internal dan eksternal RS. Kami berharap nanti pada ajang 1st International Islamic Healthcare Conference and Expo 2018 di Jakarta Convention Center yang insyaAllah akan berlangsung tanggal 10-12 April 2018 (https://www.persi.or.id/59-event-news/257-1st-international-islamic-healthcare-conference-and-expo-2018) dapat menerima sertifikat RS syariah. Aamiin.

RS sebagai institusi (katanya) terkompleks berimbas kepada sistem sertifikasi syariah yang pada akhirnya juga lebih mendalam dibanding institusi syariah lainnya. Manakala perbankan dan pegadaian syariah hanya berkutat kepada sistem keuangan syariah, serta perhotelan syariah berkutat kepada sistem akomodasi syariah, berbeda dengan RS syariah yang mencakup aspek lebih luas. Prinsip utama RS syariah yang diambil dari 5 lima tujuan dari syariah Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, menjadikan RS syariah menerapkan standar yang lebih komprehensif. Tentu ini merupakan suatu nilai tambah yang besar bagi RS yang telah mampu melewati proses akreditasi dari Komisi Akreditasi RS (KARS).

Proses sertifikasi RS syariah secara luar biasa telah mampu mengkondisikan aspek manajemen dan pelayanan RS agar semakin sesuai dengan prinsip syariah. Tentu ini juga menjadi keuntungan bagi masyarakat yang menggunakan layanan RS. Di tengah carut-marut image RS di dalam media berita nasional dan media sosial, ternyata hal ini dapat menjadi semacam obat penyembuh kepercayaan masyarakat kepada institusi RS. Sehingga sangat bagus bila terus digalakkan gaung RS syariah ini. Terlebih detail bila dikaitkan dengan tingkat kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada agama sehingga kecenderungan mencari layanan kesehatan yang bernilai universal, aman, bermutu, nyaman, dan tenang. Saya melihat tren masyarakat semakin memilih menggunakan pola medikasi/pengobatan yang halal. Ini terjawab dalam sertifikasi RS syariah yang menghendaki tersedianya sistem jaminan halal dari produk layanan RS. Meliputi kehalalan pengelolaan gizi, laundri, obat dan alat kesehatan RS.

Saya sendiri lebih suka melihat aspek ke dalam RS sendiri. Sumber daya manusia (SDM) RS. RS sebagai institusi yang core business-nya merupakan jasa pelayanan dari SDM medis dan non medis. Prinsip kesyariahan ternyata mampu menciptakan budaya yang lebih baik mencakup banyak hal di antaranya perbaikan dan penguatan niat/keikhlasan, peningkatan kapasitas dan kompetensi keagamaan, kinerja dan akhlak tolong-menolong, dan yang jarang dipikirkan adalah keberkahan dalam melayani, serta meminimalkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip syariah seperti berperilaku tidak jujur, tidak ramah, korupsi, dan individulistik.

Saya berdoa, semoga ke depannya semakin banyak lagi RS yang menerapkan prinsip syariah dengan standar yang telah ditetapkan oleh DSN MUI. Aamiin.

Diposkan pada android, internet, rumah sakit, teknologi, ubuntu

Rumahsakit Elektronik, Tulisan II


Lab DigitalSetelah 3 tahun lebih berlalu, sejak tulisan pertama saya mengenai RS Elektronik (klik di Rumahsakit Elektronik, Tulisan I), baru sempat sekarang atau kalau boleh dikata cukup PD (Percaya Diri) membuat edisi kedua dari tulisan di akhir tahun 2014 itu.

Selain karena sekarang waktu tidak saya prioritaskan menulis di blog ini, juga karena beban waktu offline yang cukup besar sekarang ini. Tak apalah, semoga saya bisa berbagi dan merekam milestone sejarah per-digital-an di RS kami.

Saya mulai dari cerita mengenai kiriman pesan pribadi seorang direktur sebuah RS besar milik salah satu ormas besar di Indonesia kepada saya, beliau ingin berkunjung ke RS kami bersama tim-nya untuk melihat implementasi sistem rekam medis elektronik (Electronic Medical Record – EMR/e-MR).

Sungguh, saya heran. Begitu juga ketika saya paparkan kepada teman-teman di tim IT (Informasi & Teknologi) kami, mereka dengan muka ragu mengungkapkan: “apa ga salah itu? mereka lebih canggih, SDM IT maupun sarana mereka, kita berguru sama mereka?”. Tapi ya ga mungkin kami menolak mereka, sehingga terwujudlah pertemuan itu. Karena saya juga masih penasaran, dengan rendah hati sambil tersenyum akhirnya saya tanyakan kepada beliau saat beliau dan tim berkunjung, dapat info dari mana dan mengapa memilih berkunjung ke tempat kami. Dapatlah jawaban itu, ternyata beliau dapat info dari sebuah grup dokter spesialis, ada yang memberitahu bahwa RS kami telah menerapkan sistem e-MR dan sukses alias berjalan dengan baik serta mampu mengkondisikan penggunanya. Saya ya masih penasaran dan mengulang pertanyaan dari tim saya, bukankah di sana juga sudah punya sistem itu dan lebih canggih, mahal, dan diampu oleh SDM berkualitas. Bisa kualat kami para murid ini. Beliau tertawa dan bilang: “tidak selamanya guru itu lebih pintar dari muridnya”. Semoga ini tidak membuat kepala saya dan tim semakin besar, bahaya nanti bisa pecah, hahaha… Karena sebelumnya saya juga sudah bilang ke tim saya: “Nah, itu! mestinya kepercayaan dari pihak lain membuat kita semakin percaya diri, giat, ulet dan semakin cepat inovasinya, meski dengan kekuatan terbatas, jangan buat mereka kecewa!”

Bisa ditebak selanjutnya, tim dari RS itu banyak bertanya mengenai beberapa hal penting terkait implementasi e-MR. Mereka awalnya memang pernah menerapkan e-MR namun sekarang berhenti dan para pengguna terutama dokter tidak banyak yang mendukung. Jadi antara lain yang saya ingat pertanyaannya:

1. Bagaimana supaya pengguna seperti dokter dan petugas RS lainnya mau menggunakan e-MR
2. Bagaimana perjalanan sistem e-MR di RS kami
3. Bagaimana cara membangun dan menjalankan sistemnya
4. Modal apa yang diperlukan
5. Bagaimana kaitannya dengan efisiensi dan efektifitas pelayanan
6. Apa saja kesulitan lain yang dialami selain faktor pengguna

Pertanyaan di atas terungkap secara eksplisit maupun implisit dalam forum diskusi di ruangan sebelum melihat langsung ke lapangan/area pelayanan. Saya dan tim banyak bicara dan dengan senang hati semua diungkapkan terkait pertanyaan-pertanyaan di atas. Supaya mudah saya tuliskan secara berurut jawabannya sesuai pertanyaan di atas:

1. Bagaimana supaya pengguna seperti dokter dan petugas RS lainnya mau menggunakan e-MR
Sederhananya implementasi e-MR ini dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: brainware, hardware, software. Kami menerangkan bahwa brainware adalah faktor terpenting baik meliputi top management/direktur, SDM IT, dan segenap SDM pendukung dan pengguna e-MR ini. Dan yang terpenting adalah dari para pengguna e-MR itu sendiri. Pertama, kami telah memetakan 3 kelompok pengguna e-MR ini, yaitu: 1. mendukung sepenuhnya e-MR dan sudah menggunakan e-MR, 2. mendukung penggunaan e-MR namun belum mampu menggunakannya (gagap teknologi), 3. menolak penggunaan e-MR. Kelompok ke-3 sebenarnya dapat dibagi menjadi 2 kelompok lagi yaitu: 1. tidak mau menggunakan e-MR karena merasa menyulitkan (gagap teknologi) dan memang merasa tidak perlu, 2. tidak mau menggunakan e-MR dengan alasan yang belum terungkap. Tim kami fokus kepada pengguna e-MR kelompok ke-1 dan ke-2 sehingga penyempurnaan sistem juga berjalan dengan baik dengan mengabaikan sementara pengguna kelompok ke-3. Sehingga akhirnya dalam waktu sekitar 1 tahun mencapai penggunaan 75%, tentu ini berasal dari kelompok ke-1 dan ke-2. Angka ini melahirkan dampak positif untuk mempengaruhi kelompok yang semakin minoritas apalagi ditambah oleh tekanan-tekanan dari luar sistem seperti sistem BPJS Kesehatan yang menghendaki efisiensi klaim pelayanan dan pembayaran melalui electronic claim (e-claim) menuju kepada virtual claim (v-claim). Sampai saat ini telah berhasil melewati angka lebih dari 80% pengguna e-MR di RS kami. Kami memang melakukan proses terus-menerus secara perlahan namun pasti dan konsisten agar tidak terjadi kondisi patah semangat dan tanpa bukti yang jelas, sehingga dapat berakibat terjadinya situasi set back/mundur, jalan di tempat atau bahkan berhenti menggunakan e-MR seperti terjadi RS yang berkunjung ke tempat kami itu. Kedua, kami menjadikan pengguna sebagai mitra karib dan pemberi masukan utama terhadap penyempurnaan sistem e-MR dan tim IT harus rela, rendah hati, serta terbuka menerima masukan yang muncul, karena e-MR ini memang akan dipakai oleh pengguna bukan oleh tim IT. Tim IT bahkan secara pro aktif intens mengkomukasikan dengan para pengguna dan responsif mengadakan perbaikan, sehingga update e-MR langung dapat diuji-cobakan dan semakin dirasakan kemudahannya oleh pengguna. Ketiga, membentuk tim digital yang terdiri dari komponen tim IT dan perwakilan setiap unit kerja yang memiliki posisi tawar tinggi di unitnya dan tentu saja berkemauan kuat menjadi contoh dan edukator di unitnya masing-masing. Tahun ini saya menaikkan posisi tawar tim IT dengan menjadikan mereka sebagai bagian tersendiri dan digabung dengan tim rekam medis, karena kaitan yang sangat erat dalam sistem digitalisasi RS untuk semakin memudahkan koordinasi dan implementasi lanjutan.

2. Bagaimana perjalanan sistem e-MR di RS kami
Pada dasarnya hampir sama dengan RS lain yang sudah lebih dulu melakukan implementasi, yaitu dimulai dari sistem yang dibuat untuk unit tertentu dan belum terintegrasi dengan semua unit. Sebagai sebuah RS yang sudah berjalan lebih dahulu tanpa melalui sistem elektronik di awal beroperasi, hal ini merupakan sebuah kewajaran, berbeda mungkin dengan RS baru yang langsung mengimplementasikan sistem elektroniknya secara mandatory (wajib) terintegrasi untuk semua unit dan menjadi syarat mutlak bagi SDM yang mendaftar ke RS tersebut sebagai pekerja.

3. Bagaimana cara membangun dan menjalankan sistemnya
Pertanyaan ini ada kaitan dengan jawaban pertanyaan pertama, kami memilih untuk mengembangkan SDM IT (brainware) kami melalui pembelajaran yang panjang sehingga melahirkan tim yang handal dan pantang menyerah dibanding berkutat kepada kemampuan membeli software outsourcing atau fokus kepada kecanggihan hardware. Tidak. Sebagai RS yang memiliki kemampuan finansial terbatas kami menyadari bahwa membeli aplikasi dari pihak ketiga hanya akan menjadi beban secara berkepanjangan bagi RS kami, seperti pengalaman masa lalu yang pernah kami lewati. Selain itu untuk memfasilitasi pembalajaran yang baik bagi tim dan pengguna, kami membangun sebuah lab IT yang menjadi pusat diskusi, pengembangan, analisis, uji coba, dan edukasi bagi tim dan pengguna. Juga, tim digital semakin lengkap formasinya dengan melakukan edukasi secara aktif dalam format on job training dan sistem troubleshoot/penyelesaian masalah yang reponsif. Tim IT sekarang sudah bekerja dan standby menjadi 3 shift, pagi, siang, malam, 24 jam.

4. Modal apa yang diperlukan
Utamanya (mungkin) modal nekat dan ngeyel yah… hahaha. Pengalaman kami beberapa kali dulu terjadi gesekan yang besar dengan berbagai komponen faktor yang ada. Tapi itu justru menjadi sebuah tantangan dengan kerangka berpikir shared vision untuk kemajuan RS dan mewujudkan pelayanan yang lebih baik. Kemajuan teknologi tidak akan terbendung, tinggal kita mau menyesuaikan dengan mengikuti iramanya bahkan berinovasi atau memilih tertinggal jauh. Itu hanya sebuah pilihan, namun dampaknya mesti harus disadari oleh segenap komponen yang ada di RS, sebelum terlambat. Ya, sebenarnya modalnya cuma itu, karena modal-modal lainnya insyaAllah akan mengikuti saja.

5. Bagaimana kaitannya dengan efisiensi dan efektifitas pelayanan
Yah, lagi-lagi ini terkait dengan jawaban pertanyaan nomor 1. Bagaimana sebanyak mungkin menghadirkan testimoni positif penggunaan e-MR, tanpa bosan kepada segenap komponben RS, paparkan segala hal yang positif, klarifikasi hal yang negatif, antisipasi kemungkinan hambatan seperti permasalahan hardware, software, serta virus. Jelas tidak dapat terbantahkan dari berbagai bukti di sektor lain dan sektor perumahsakitan sendiri, bahwa implementasi e-MR yang baik dapat sangat-sangat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada pasien dan berdampak baik kepada pengguna e-MR itu sendiri. Di lapangan RS yang berkunjung ke tempat kami dapat langsung melihat dua hal tersebut dan testimoni yang langsung mereka dapat lihat dan dengarkan dari para pengguna e-MR. Detail dua ini dapat dibaca lagi di tulisan pertama saya tentang RS Elektronik (klik di Rumahsakit Elektronik, Tulisan I)

6. Apa saja kesulitan lain yang dialami selain faktor pengguna
Telah saya singgung sekilas di poin-poin sebelumnya, yaitu isu hardware dan software. Ke depan kami memerlukan perbaikan kepada dua hal itu. Migrasi software juga sudah dilakukan bertahap untuk mengefisienkan biaya dan antisipasi serangan virus dan isu sekuritas lainnya. Perbaikan prosedur kerja meliputi dokumen-dokumen panduan, prosedur operasional baku, edukasi, dan antisipasi masalah. Dari sisi inti aplikasi, kita memilih ke arah opensource dan no dependency operating system, yaitu sistem web-based dikombinasikan dengan mobile system berbasis seperti android. Dari sisi hardware juga pengembangan untuk kemampuan yang lebih handal, rancangan ergonomik untuk meminimalkan penyakit akibat kerja menggunakan sistem elektronik yang berkepanjangan, serta sistem cadangan (back up) yang lebih baik. Di luar itu ada dukungan hardware berupa sistem kelistrikan dan jaringan intra dan internet yang diharapkan semakin baik.

Pada akhirnya, e-MR ini hanyalah merupakan sebuah komponen dari banyak komponen lain yang sebaiknya tergabung di dalam sebuah sistem RS elektronik. Biasanya disebut juga SIM RS, Sistem Imformasi Manajemen Rumah Sakit atau dalam versi luar negeri disebut HIS, Hospital Information System. Dan di RS kami, memang kami bukan menyebutnya e-MR, tapi SIM RS, dengan visi yang jauh ke depan untuk menjadi sebuah Smart Cyber Hospital.

Sementara ini yang dapat saya paparkan mengenai perkembangan e-MR di RS kami. Semoga dengan sharing yang singkat ini dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan sistem e-MR di RS lain. Salam.

Diposkan pada blogging, menulis

 Mengapa Blogging Itu Perlu?




Sejak tahun 2005 saya telah mempunyai weblog (biasa disebut/disingkat blog saja). Weblog terdiri dari 2 suku kata: “web” dan “log”. Web itu jaring untuk istilah internet atau online (terhubung secara global/mendunia), sedang “log” artinya catatan atau diari. Zaman dahulu sebelum ada internet sebagian orang suka melakukan dokumentasi kehidupan kesehariannya melalui catatan harian yang disebut diari. Diari pada umumnya berwujud buku tulis berpenampilan bagus bahkan wangi baunya. Tapi saya sendiri tidak pernah membuat diari konvensional seperti itu karena kesannya diari zaman itu hanya untuk cewek. Sedangkan saya cowok macho waktu itu. Jadi blog, bahasa lainnya adalah buku diari online.

Saya lupa awalnya mengapa saya bisa terjerumus membuat diari online. Mungkin pada waktu itu saya sudah memasuki dunia kerja, dunia kerja saya waktu itu berhubungan dengan riset dan pengembangan di sebuah instansi pendidikan bonafit. Mungkin juga saya ketularan teman-teman pada waktu itu. Lupa persisnya. Namun yang saya ingat waktu itu sudah ada semacam media sosial online, namanya “Frindster”. Saya aktif di friendster dan mendapatkan banyak teman di dunia maya, bahkan beberapa kali kopi darat dengan teman-teman online itu, ada juga yang saya ajak serta menjadi surveior pada sebuah penelitian yang kami buat.

O, iya sepertinya saya ingat, sepertinya supervisor saya mendorong saya belajar banyak menulis. Beliau pernah bilang ke saya: “untuk belajar menulis secara benar saja apalagi tulisan riset (academic writing), saya melakukan kursus tersendiri di Amerika sana.” Ya, saya sih belum pernah ke Amerika, semoga bisa suatu saat nanti. Awalnya memang tidak jelas motivasinya, mungkin memang karena dipaksa itu.

Saya ingat juga setelah zaman Friendster itu, booming media sosial yang mengkombinasikan kegiatan blogging dan marketing/selling yaitu Multiply, disingkat MP/eMPe. Meski pun pada waktu itu sudah muncul juga Blogspot dan WordPress. Namun platform Multiply jauh lebih menarik sepertinya karena sesama MPers saling memotivasi melalui interaksi super masif di kolom komentar, bahkan tak jarang komentarnya melenceng jauh dari tulisan yang dibuat, apalagi bila sudah akrab dan pernah kopi darat (kopdar). Tidak jarang juga waktu itu ajang perjodohan banyak terjadi dan lahirnya pasangan suami istri dari kegiatan di Multiply tersebut. Alhamdulillah saya sudah menikah waktu saya aktif di Multiply. Aktifitas di MP, sangat membuat membernya selalu bersemangat untuk menulis karena selalu ada motivasi melalui interkasi online dan offline/kopdar, challenge/tantangan seperti lomba, dan sebagainya. Saya waktu itu pun sempat memenangkan lomba penulisan dan mendapatkan hadiah sebuah flashdisk MP3 player (https://goo.gl/zrwWx3). Pernah juga mendapat kiriman kaos dan cinderamata tanda persahabatan dari teman online yang belum pernah kopdar sama sekali. Yang paling luar biasa waktu itu, ketika saya mengadakan penggalangan dana untuk kegiatan bakti sosial pertolongan korban banjir di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Baca di https://goo.gl/2jP7ca Saya menggalang dana untuk menambah paket bantuan dari tim yang kami bentuk waktu itu. Cukup banyak waktu itu sumbangannya, dan luar biasanya ada dari luar negeri juga yang memberikan sumbangannya, dari Jepang, Australia, Singapura, Inggris, dan para TKI di Hongkong.

Aktifitas blogging di awal itu sebenarnya emang sedikit aneh dan mungkin memalukan, karena kita bingung tidak tahu apa yang mau kita tuliskan atau apa yang pantas dituliskan. Menurut pengalaman saya: abaikan saja semua perasaan-perasaan itu, mulai dari yang mudah dan terlintas dalam pikiran kita, meski itu kontroversial. Itu cara belajar kita. Mungkin akan banyak protes dari orang-orang, terutama orang-orang dekat kita atau teman dari teman dekat kita. Itu wajar, itu bentuk ujian. Dari sini kita bisa melakukan evaluasi sejauh mana daya tarik dan peningkatan kemampuan menulis kita. InsyaAllah semakin sering kita menulis, kita akan semakin mampu beradaptasi dan semakin cepat berpikir dan menuangkan ide kita ke dalam tulisan.

Sepertinya paparan di atas sedikti memberikan gambaran mengapa blogging itu penting. Jadi di awal saya butuh blogging itu untuk meningkatkan kemampuan menulis dan kreatifitas berpikir dan aktifitas keseharian saya sendiri. Dan momentum untuk kembali semangat menulis diari online/blog ini setelah dibukanya grup Whatsapp oleh seorang teman, saya dijadikan admin grup itu juga akhirnya. Silakan yang berkenan bergabung untuk belajar, berbagi, dan saling memotivasi di https://goo.gl/PaBrZt

Saya lanjutkan mengenai manfaat blogging yang saya coba ringkaskan sebagai berikut:

  1. Menuangkan ide, berbagi ide
  2. Mengasah otak agar rajin berpikir, mencegah penyakit pikun
  3. Menjadi pengingat di kala lupa, sarana dokumentasi
  4. Cermin diri, saya suka melihat tulisan lampau saya, saya bandingkan semangat muda saya dahulu dengan semangat yang lebih dewasa sekarang ini. Juga dapat sebagai sarana evaluasi tulisan untuk perbaikan
  5. Berlatih menulis, dari yang sederhana, populis, sampai yang rumit akademik
  6. Menyebarkan ilmu, ada unsur amal jariyah
  7. Mencari uang, donasi, menjual produk atau jasa
  8. Sarana publikasi dan komunikasi
  9. Berlatih desain grafis dan pemrograman
  10. Memperbanyak teman
  11. Dsb, silakan ditambahkan, terutama bagi yang telah merasakan manfaat blogging

Menulis di diari online/blog sangat berbeda dengan bila kita menulis di sosial media seperti facebook dan twitter. Sangat berbeda pula jika kita hanya rajin menulis di media offline seperti diari, media massa/koran, dan sebagainya. Memang agak mirip fungsinya bila kita menulis di media massa online seperti kompasiana. Mirip yang saya maksudkan di sini adalah bahwa menulis di blog, saya dapat membantu otak saya mengingat hal-hal penting, dan melakukan sharing/berbagi informasi yang sering berulang, sehingga saya terbantu bila ada sesuatu hal atau momentum yang saya lupa, saya tinggal ingat kata kuncinya, lalu saya masukkan ke mesin pencari dan nama blog saya, maka semuanya akan jauh lebih mudah. Berbagi informasi yang sering saya gunakan misalnya mengenai tema tulisan tertentu, maka saya ga perlu menulis ulang atau berbicara ulang, cukup saya bagikan tulisan yang ada di blog saya, sehingga hemat waktu dan energi.

Kelebihan blog yang lain seperti hal-nya media sosial, jenis reader/audiensnya juga bisa di-set. Bagi yang butuh menulis curahan hati (curhat) untuk stress release atau mengingat momentum tertentu yang tidak perlu dipublish secara umum, maka bisa di-set sebagai tulisan privat. Kelebihan blog dibanding sosial media adalah tulisan di blog sifatnya eternal/abadi tidak seperti menulis di status media sosial yang bersifat volatile/menguap karena berbasiskan lini-masa (timeline), meski pun sekarang media sosial juga sudah melengkapkan dengan sistem posting jurnal untuk akomodasi tulisan panjang dan dapat diberikan label/tanda pagar (tagar) tertentu, sehingga juga mudah dicari bila dibutuhkan.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Semoga berguna.

Sumber gambar: dari sini

Diposkan pada manajemen, rumah sakit

Hospital Management Class: Enam Topi Berpikir


Beberapa bulan terakhir pasca kelulusan akreditasi RS kami, saya dan teman-teman berusaha kembali menghadirkan suasana pembelajaran di tengah suasana kerja pelayanan yang padat. Agar kompetensi manajerial senantiasa terasah, otak mampu terus berpikir di tengah permasalahan yang semakin rumit. Tidak cukup hanya membangun motivasi dan spirit, namun juga dibutuhkan penguasaan terhadap perangkat-perangkat manajemen handal untuk mengefisienkan dan mengefektifkan kerja. Dalam konteks ilmu Balanced Scorecard (BSC), elemen pertumbuhan dan pembelajaran komponen organisasi menjadi sangat penting agar senantiasa dapat melahirkan proses pelayanan yang kreatif dan inovatif serta minimal konflik. Dalam lingkup ke-RS-an, dengan komposisi padat karya yang dibangun dari berbagai level personal dengan variasi profesi berbeda, sangat tidak mudah memfasilitasi suatu nilai-nilai kebersamaan yang bersinergi dalam mencapai tujuan jangka pendek dan panjang organisasi. Namun dalam situasi positif, ini adalah sebuah tantangan, bukan pelemahan, bahkan kata seorang konsultan ini merupakan lorong-lorong transendental sebagai proses-proses ujian untuk kenaikan level personal maupun organisasi.

Syukurlah hasil-hasil pembelajaran selama ini mulai bisa ditularkan kembali kepada sebanyak mungkin komponen organisasi agar semakin paham dalam berpikir dan melangkah. Salah satunya menerapkan kelas manajerial rutin bagi para pejabat struktur organisasi. Ini baru sebatas diseminasi keilmuan, belum lagi nanti harus memperbanyak proses-proses magang untuk memastikan apa yang telah diterima, memang benar dikuasai dengan baik. Kali ini saya berkesempatan meneruskan kuliah manajerial dalam sebuah rapat rutin pejabat struktur. Kali ini kita belajar dan melatihkan secara awal penggunaan perangkat perencanaan dan pengambilan keputusan dengan metode “6 Topi Berpikir”, dalam bahasa aslinya, “Six Thinking Hats” yang digagas oleh seorang pemikir pengembangan fungsi otak, Edward de Bono.

Kata orang, mengumpulkan dan berhadapan dengan berbagai “isi kepala” yang variatif itu sangat memusingkan dan menyebabkan sebuah langkah pengambilan keputusan dapat mengalami set back/kemunduran atau minimal hanya jalan ditempat. Dengan metode planning, berpikir dengan gagasan 6 topi ini, maka segala permasalahan yang ditemui, akan lebih mudah diselesaikan dengan baik. Dalam perangkat 6 topi berpikir ini, setiap personal yang terlibat diberikan kesempatan yang sama dalam waktu yang ditentukan untuk mengenakan “topi berpikir” yang disimbolkan dengan warna tertentu ketika menilai suatu permasalahan. Kelebihan metode ini akan membuat keteraturan dan pola berpikir serta komprehensif karena melibatkan tinjauan dari semua aspek berpikir yang lahir dari sisi pribadi manusia itu sendiri, yaitu sisi objektifitas/netralitas, intuisi/emosional, positifitas, negatifitas, kreatifitas, dan pengendalian. “Enam topi berpikir” juga mempunyai kelebihan lain yaitu, membuat seseorang yang terbiasa berpikir melompat-lompat dapat berpikir lebih sistematis dan mengalir, ini untuk menghindarkan hal-hal penting yang dapat terlewatkan dan menyebabkan suatu keputusan tidak dapat dieksekusi dengan baik. Di sisi lain juga berguna bagi mereka yang terbiasa pasif dan susah mengemukakan pendapat, 6 topi berpikir dapat “memaksa” agar seseorang lebih terlatih mengeluarkan ide-ide saat menggunakan topi-topi itu apalagi didampingi oleh fasilitator yang baik.

Baiklah. Terlebih dahulu saya definisikan makna dari setiap topi. Topi Putih adalah sisi objektifitas, yang berbicara dari sisi data, informasi, dan fakta yang tersedia. Topi Putih memerlukan persiapan, membutuhkan sedikit usaha dan waktu sehingga sebaiknya sebelum sesi latihan/pertemuan menggunakan 6 topi berpikir ini, telah ditentukan terlebih dahulu permasalahan yang akan dibahas sehingga data-datanya juga sudah dipersiapkan. Berikutnya, Topi Merah adalah sisi emosional, dimana setiap individu pada saat yang sama dipersilakan mengeluarkan pernyataan emosionalnya yang tidak dipengaruhi oleh logika, jadi gunakan subjektifitas dalam menilai suatu isu/masalah. Curah pendapat ketika Topi Merah dipakai akan memberikan suatu kepuasan bagi pribadi-pribadi untuk berusaha melepaskan segala unek-uneknya dalam rangka memperkecil ego. Selanjutnya, Topi Kuning adalah melambangkan cara berpikir positif optimistik dan visioner (melihat jauh ke depan). Terkadang tidak jarang banyak ide-ide gila yang muncul saat Topi Kuning dipakai, meski masih dalam tataran konsep, namun logika positifnya dapat tetap dipertanggungjawabkan. Berikan sebanyak mungkin konsep-konsep yang membangun/konstruktif ketika Topi Kuning sedang dipakai. Lalu, Topi Hitam, sesuai namanya adalah memposisikan diri dalam situasi kritis negatif, memaparkan sikap pesimistik dan selalu memandang skeptis serta memaparkan dampak-dampak buruk yang mungkin akan timbul dari suatu masalah yang sedang dibahas. Topi Hitam merupakan penyeimbang yang kuat terhadap pola berpikir Topi Kuning agar senantiasa siap dengan situasi-situasi akan datang yang telah diprediksi sehingga selalu ada rencana cadangan dan antisipasinya. Sebagaimana pola berpikir Topi Merah, menggunakan Topi Hitam sedikit lebih mudah bagi sebagian orang yang telah mengemukakan pendapatnya ketika memakai Topi Merah, karena Topi Hitam tinggal ditambahkan logika berpikir yang negatif. Selanjutnya, dipersilakan mengenakan Topi Hijau, saat dimana semua berpikir tentang solusi yang kreatif, tidak jarang merupakan hasil pengembangan berpikir ketika memakai Topi Kuning. Meski pun tampaknya beberapa individu yang dominan mengemukakan pendapatnya ketika mengenakan topi warna lain, terutama Topi Merah dan Topi Hitam, tidak cukup mudah ketika harus mengemukakan pendapat ketika mengenakan Topi Hijau. Menjadi individu yang kreatif, berpikir solutif memerlukan sesi pembelajaran tersendiri. Terakhir, Topi Biru, merupakan pengendali proses dari segala hal yang muncul dari semua topi berpikir tadi. Topi Biru memegang peranan kunci di awal dalam menentukan permasalahan yang akan dibahas, batas waktu pembahasan, dan aturan main pembahasan lainnya. Di akhir sesi pelatihan/pertemuan, Topi Biru merefleksikan semua proses yang telah dilalui dan menyepakati keputusan-keputusan yang akan diambil dan langkah-langkah berikutnya yang akan dilakukan. Meski pun umumnya Topi Biru ini diperankan oleh fasilitator atau pemimpin pelatihan/pertemuan, namun setiap orang yang terlibat dapat belajar menggunakan Topi Biru terutama dalam melakukan pengendalian dan oto-refleksi terhadap peran-peran yang telah dilakukan ketika mengenakan berbagai warna topi yang berbeda.

Di sinilah hebatnya teknik 6 topi berpikir ini, seseorang dari hasil akhir perannya dapat melihat suatu masalah secara global, lebih sederhana, komprehensif, dan menepis egonya. Untuk memperlancar penggunaan perangkat 6 topi berpikir ini, diharapkan setiap pejabat struktur dapat membiasakan menggunakannya di dalam rapat-rapat pembahasan terhadap suatu permasalahan yang dianggap rumit. Berbagai contoh kasus dalam penerapan 6 topi berpikir ini dapat dieksplorasi lebih lanjut dari sekian banyak referensi yang ada. Semoga bermanfaat.

Diposkan pada kesehatan, kontemplasi, olahraga, penyakit

Sehat & Bugar itu di-Perjuangkan


Lama tidak mengisi blog ini, ga boleh kalah sama anak saya yang sekarang aktif menulis blog, monggo yang berkenan baca blog anak saya yang masih umur 8 tahun ini: http://fathinaas.blogspot.com/. Selain malu sama anak saya yang badannya sudah mulai singset karena rutin ikut taekwondo (mungkin loh ya, selain malas makan juga), juga malu sama diri sendiri yang kurang kuat melakukan self motivation dalam memperbaiki kesehatan dan kebugaran badan, akibatnya beberapa waktu lalu sempat dihampiri oleh berbagai macam jenis penyakit. Alhamdulillah kondisi sekarang lebih lumayan sehat dan fit. Dulu banget waktu masih mahasiswa, bugar dan sehat saya lakukan melalui klub-klub yang saya ikuti, jadi termotivasi oleh orang lain. Setelah nikah? Ya, mungkin itu problem banyak orang, rasanya lebih nyaman di kasur dan tempat makan, sampai kita merasakan akibat kenyamanan itu membuat akumulasi akibat yang tidak baik. Benar ungkapan sebuah kalimat: Kenyamanan Itu Mematikan!

So, mengambil kembali momentum-momentum yang ada untuk berjuang memotivasi diri sendiri dalam usia yang masih bisa dibilang mudalah. Investasi bugar & sehat sangat penting bagi produktifitas kita sendiri. Meski dalam tahap-tahap awal ini serasa tersiksa luar biasa, godaannya serasa lebih besar. Tapi bagaimana pun harus yakin: Saya, dan Kita bisa!

Komitmen & Realisasi:
– Jogging tiap hari
– Minum air putih + jeruk nipis peras sebanyak mungkin
– Tidur cukup
– Makan yang cukup (banyak, ini yang agak susah…)

*Momentum Persiapan Festival Night Run 5K