Diposkan pada curhat, deafness, gadget, hearing impairment, kontemplasi, menulis, tunarungu

Edukasi Koersif Untuk Anak, Perlukah?


Lama tidak berefleksi dalam tulisan. Judul tulisan ini pun melintas sekilas tapi masih membekas cukup kuat, memberikan daya kepada saya membuka aplikasi notepad di laptop tua yang sudah berkonversi menjadi desktop abal-abal karena LCD-nya telah pensiun, dan terlalu mahal hanya untuk menggantinya karena sudah langka di pasaran. Jadilah saya coba menulis kembali, sedikit saja dulu, buat pemanasan kembali.

Ceritanya, anak bungsu saya yang tuna rungu, maghrib ini tumben mengambil mukenanya dan pengen ikut sholat ke Masjid. Sregep begitu. Saya langsung ter-flashback ke satu hari lalu, manakala si adek mulai malas-malasan lagi buat sholat. Ibunya ikut uring-uringan susahnya sekarang diajak sholat. Sebagai anak tuna rungu, menguasai konsep pemahaman berbau abstrak itu sangat-sangat-sangat sulit bagi anak saya ini. Selama ini anak bungsu saya ini masih belajar kosa kata dan kalimat sederhana seputar kata benda, kata kerja, kata sifat. Dengan pengertian yang masih-masih sangat simpel. Tentu itu tidak dapat selalu memuaskan dia. Terbukti, bertubi-tubi sekarang Nadifa memberondong dengan kata tanya “apa” dan “mana”. Kita sendiri yang ikut pusing karena harus memikirkan dan mengucapkan dalam bahasa yang juga tidak gampang bisa dimengerti oleh anak berkebutuhan khusus seperti anak saya. Termasuk saya pikir dalam konsep sholat ini: mengapa dia perlu sholat. Dalam bentuk perluasan lain: mengapa dia perlu berdoa, mengapa dia perlu belajar, dan sebagainya. Sampai sekarang misalnya, ini ibunya yang omong ke saya: Nadifa di umur yang hampir 9 tahun, baru tahunya kalau uang di dompet ortunya sudah habis, tahunya dia ambil ke ATM. Dengan kombinasi bahasa isyarat dia minta ambil uang ke ATM. Walah nduk… nduk… uang itu perlu dicari melalui bekerja. Bukan minta ke ATM…. 😀

Kalau hanya konsep sehari-hari keduniawian lain seperti: mengapa harus cuci tangan, gosok gigi, mandi, mengapa harus tidur tidak kemalaman, mengapa harus makan, itu lebih gampang. Mandi supaya hilang bau badan dan tidak kotor. Cuci tangan sebelum makan supaya tidak kotor dan jadi sakit. Gosok gigi juga begitu. Dan ajaibnya anak bungsu saya ini, aslinya lebih fanatik terhadap suatu konsep dibanding kakaknya yang normal. Saklek banget begitu. Kotor dikit ga mau, bau dikit ga mau. Rajin sekali sikat gigi, sampai-sampai dokter gigi favorit langganan saya, tadi periksa Nadifa bilang: oke banget giginya, belum ada yang lobang. Selain itu, selalu memperhatikan simbol-simbol larangan di tempat-tempat umum dan suka perhatian bahkan marah sama ortunya kalau kasih toleransi dikit sama simbol-simbol larangan itu. Misal simbol dilarang membawa kamera, simbol dilarang membawa makanan minuman, dan sebagainya. Hitam putih begitu.

Jadilah saya manfaatkan juga pola pikir yang masih hitam putih ini untuk memberikan pemahaman kepada dia, mengapa harus sholat. Saya bukakan youtube dan cari kata kunci “tidak sholat neraka”. Muncul banyak video edukasi yang sedikit mengerikan bagi anak seumur dia. Tapi dia malah mendekat dan tertarik. Saya bukakan satu video yang menayangkan orang yang rajin sholat, lalu orang yang tidak sholat, dibakar pakai api di neraka, lalu ada tayangan ular neraka bernama Syuja’ul Aqra’ yang amat bengis kepada penghuni neraka yang semasa hidupnya malas atau jarang atau tidak sholat sama sekali. Ularnya mirip naga dinosaurus gitu. Sebagai maniak dinosaurus, Nadifa antusias dan kelihatan amat membekas. Habis lihat tayangan itu dia segera sholat. Dan maghrib tadi masih membekas, ikut bapaknya sholat ke masjid.

Mungkin banyak ortu yang tidak setuju cara mendidik anak seperti ini. Dengan cara komunikasi koersif, kekerasan, atau minimal menampilkan kekerasan? Entahlah. Tapi dalam agama mengajar itu bisa dengan lemah-lembut, tapi juga bisa dengan koersif, peringatan bahkan “kekerasan” atau lebih enak: ketegasan, bahasanya ya. Saya, alhamdulillah sudah ga pernah “main tangan dan kaki” lagi sekarang mengajarin anak-anak. Emosi sudah jauh lebih terkendali. Itu pun karena anak-anak saya yang justru jadi guru saya dalam belajar mengendalikan emosi. Syukur yaa Allah diberi amanah anak-anak hebat ini…

Saya semoga tidak banyak-banyak menggunakan cara komunikasi koersif ini untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak. PR masih amat banyak, pengendalian diri sendiri yang masih amat susah, apalagi memberi contoh, itu yang paling amat susah. Televisi sudah lama disingkirkan, dan saya juga ikut kena imbas tidak bisa nonton TV lagi. Gadget handphone, masih susah, masih sering dicerewetin sama istri, ya meski kadang juga saya ganti cerewetin hehe… . Mandi pun begitu, masih suka suruh-suruh anak mandi duluan, bapaknya sendiri masih belum mandi saat tulisan ini dibuat… Selain itu saya memang harus terus belajar membagi waktu dan menghimpun energi lebih besar, lebih banyak mencari modul-modul bagi anak-anak saya yang pembosan ini, sama dengan bapaknya, pengennya belajar yang baru terus.

Monjali, 9 Juli 2018. Pukul 21.30.

*Bersiap mandi 😀

Diposkan pada android, gadget, tunarungu

Menyiasati screen time yang berlebihan pada anak


mac

Keberadaan gadget elektronik yang memiliki fitur layar di era moderen membuat anak lebih malas untuk beraktifitas secara fisik. Orang tua sering tidak menyadari keberadaan gadget memberikan dampak yang serius bagi anak. Memang tidak semua gadget berfitur layar membuat anak malas beraktifitas secara fisik karena ada juga gadget yang justru memberikan anak semacam edukasi tertentu. Biasanya gadget jenis ini ada di sentra permainan anak di pusat perbelanjaan atau tempat wisata.

Kami pun merasa begitu, gadget merupakan ancaman tersendiri bagi kami, yang memiliki anak berkebutuhan khusus/ABK (tuna rungu). Anak ABK memerlukan kondisi bermain dan belajar yang harusnya lebih terkondisikan agar mampu menerima input yang sesuai diharapkan. Dan yang lebih penting lagi menghindari ketergantungan yang parah terhadap permainan-permainan di gadget. Anak sekarang selain sulit dicegah, mereka juga justru lebih kreatif mencari celah untuk mendapatkan keinginan mereka. Dalam kasus Nadifa (dan juga kakaknya), meski pun gadget sudah diberi proteksi password sekali pun, ternyata mereka bisa membongkarnya. Calon hacker juga ternyata, haha…

Untuk televisi lebih gampang di saat ini, karena sudah bisa lebih diatur kapan boleh nonton TV, apalagi sejak kami tidak lagi berlangganan TV satelit, dan kami sendiri juga sudah jarang menonton TV. Sedang untuk small gadget seperti android handset, itu jauh lebih sulit. Apalagi biasanya gadget jenis ini terkoneksi terus ke internet. Sehingga sangat banyak hal yang bisa dieksplorasi oleh anak. Mereka sudah terbiasa membuka google play store untuk mendownload sendiri game kegemaran mereka, atau pun tahan memelototi berjam-jam channel youtube favorit mereka. Dahulu kalau dilarang mengakibatkan mereka marah-marah dan justru sulit diajak belajar alias waktu ngambeknya sangat panjang. Untunglah sejalan waktu ada hal-hal yang bisa dimodifikasi agar screen time lebih bisa dikendalikan.

1. Membiasakan anak beraktifitas outdoor/luar ruangan. Bagaimana pun ini butuh energi besar bagi orang tua untuk memfasilitasi anak agar anak bisa beraktifitas di luar rumah. Sangat susah di situasi dunia perkotaan dengan lahan/halaman yang sempit. Sampai saat ini pun aktifitas di luar masih seperti yang dulu, les renang. Kadang main pasir di tanah tetangga, kadang main air, menyiram tanaman, senam, main petak umpet, hula hop, dan sebagainya. Sebenarnya banyak sekali referensi mengenai aktifitas outdoor. Syaratnya cuma satu: kemampuan orang tua untuk meluangkan waktunya menemani anak bermain. Ini yang susah. Padahal di zaman orang tua kecil dulu, banyak sekali aktifitas outdoor yang bisa dilakukan.

2. Mengurangi waktu koneksi ke internet. Ini jelas susah dilakukan bila gadget terkoneksi full internet. Kami menyiasatinya dengan menggunakan modem berjenis wifi mini router, sehingga lebih cepat digunakan saat dibutuhkan, dimatikan bila tidak diperlukan. Bila anak sudah memegang gadget dan terlihat siap membuka youtube atau google play store, modemnya tinggal dimatikan. Tentu saja orang tua juga tidak bisa koneksi ke internet. Memang itu konsekuensi, tidak mengapa. Yang sulit adalah ketika orang tua sedang butuh koneksi internet seperti untuk membalas email, dan sebagainya. Ini bisa disiasati, misalnya dengan menggunakan dua jenis modem, tapi ini justru menambah biaya. Cara lain yang lebih praktis dan tidak keluar biaya tambahan, yaitu dengan melakukan filtering. Ini memerlukan pengaturan di aplikasi modemnya sendiri. Saya biasanya menggunakan filtering berdasarkan MAC address dari gadget yang digunakan atau berdasarkan alamat website tertentu. Filtering menggunakan MAC address akan memblokir penggunaan internet di gadget yang kita inginkan. Jadi orang tua tetap bisa melakukan koneksi melalui gadget lain, misal laptop, ketika harus melakukan koneksi ke internet. Dengan sistem seperti ini sampai sekarang anak tidak melakukan protes, karena bisa kita lakukan dengan diam-diam.

3. Melakukan kompensasi dengan memeberikan fasilitasi mainan yang interaktif dan memerlukan aktifasi motorik yang lebih banyak. Bila mempunyai budget/anggaran khusus buat membeli mainan, tentu ini dapat menggantikan permainan-permainan virtual di gadget, sehingga memungkinkan anak mengembangkan motorik, berkonsentrasi, dan belajar secara lebih baik. Syukur kalau orang tua lebih kreatif membuat mainan-mainan biaya murah bahkan tanpa biaya sebagaimana pengamalam mereka sewaktu kecil dulu.

4. Dan lain sebagainya, silakan orang tua atau teman-teman yang mempunyai pengalaman, dapat menambahkan tip-tipsnya. Terimakasih.

Diposkan pada alat bantu dengar, deafness, hearing impairment, istri, pernik, tunarungu

Recharge…


Kiri: Nadifa, Kanan: Ifa
Kiri: Nadifa, Kanan: Ifa

Sekian bulan lamanya saya tidak menulis di blog ini. Bahkan setelah melewati tahun pun belum terisi lagi blog ini. Jelas ada banyak rasa yang hilang. Kalau dibilang tidak sempat rasanya tidak juga, mungkin hanya rasa malas dan semakin banyaknya distraksi, hal-hal lain yang simpel, menarik, seperti aktifitas chat di grup-grup smartphone. Rasanya menulis di blog bukan menjadi sebuah kenikmatan dan bukan menjadi bentuk refreshing lagi. Mesti ini harus didobrak dengan segenap usaha. Salah satunya dengan mengisi lagi dengan tulisan ini. Saya tidak ingin otak penuh dengan ide-ide yang dibiarkan membusuk saja.

Kalau berbicara ide, tentu banyak sekali yang terlintas, meski pun gadget sudah super canggih, namun tak berdaya juga untuk menuangkannya dalam blog ini. Semoga kali ini berhasil 😀

Sebenarnya, banyak sekali hal menarik yang saya temui ketika saya vakum dalam kegiatan menulis di blog beberapa bulan ini. Selain fokus terbesar ada di tempat kerja, saya bersama istri juga masih intens berkutat dengan anak-anak. Dan itu penuh dengan cerita-cerita yang amat layak dibagi di blog ini. Bagaimana pun blog ini lebih abadi bagi saya dibanding dengan grup-grup media sosial dan di smartphone yang gampang hilang begitu saja.

Baiklah, mengawali lagi, saya ingin cerita saja tentang perkembangan dalam kehidupan keseharian saya dan keluarga. Tidak usahlah dulu membahas masalah kerjaan yang sudah cukup rumit dan memakan waktu, tenaga, pikiran, dan sebagainya. Sudah cukup pusing. Maka, saya akan kembalikan dulu blog ini sebagai awalan untuk memotivasi diri kembali untuk menulis sebagai wadah refreshing dan memory reminding.

Ceritanya, anak-anak saya sekarang sudah mulai memasuki masa-masa akhir balita. Eh tidak…, malah yang pertama, sudah lewat masa balita dan sebentar lagi sudah mau sekolah di SD, sudah diterima di sebuah SD. Tinggal menghitung bulan wisudanya di TK. Waktu terasa cepat saja berlalu, terbukti juga anak kedua, tahu-tahu sudah jadi pretty little girl yang semakin memerlukan perhatian lebih. Sampai kita rembukan lama, istri saya bertekad mengajukan cuti di luar tanggungan negara untuk mendampingi anak kedua yang spesial ini. Saya dukung penuh dan berharap bisa berjalan lancar permohonannya. I love you full, Yang…

O, ya, kedua anak saya ini sekarang sudah pintar berenang. Ya, karena memang kita kursuskan renang. Putri pertama yang ceriwis awalnya kursus privat sebelum akhirnya masuk klub renang, dan sudah sempat mendapatkan penghargaan dari sebuah lomba renang. We proud of you, girl! Putri kedua sudah bisa berenang gaya marinir melalui privat dengan 2 guru sekaligus, atau lebih tepatnya gaya anjing, hahaha… iya, gaya renang dengan kepala yang tidak menyelup ke air dan kedua tangan mengayuh di bawah permukaan air. Dan itu sudah berani dia lakukan di tempat dalam. Salut kepada para pelatihnya yang penuhdengan inovasi.

Kedua putri saya ini juga sudah tidak mengompol lagi ketika tidur di malam hari. Ibunya pintar membuat strategi bagaimana bisa berhasil tidak mengompol lagi. Jelas, biaya diaper semakin tertekan, termasuk biaya susu yang awalnya luar biasa besar, sekarang sudah jauh berkurang. Biaya terberat sekarang adalah biaya pendidikan, terapi, dan perlengkapan bantu mendengar untuk putri saya yang kedua. Di kedua telinganya sekarang masih bergantung alat bantu dengar yang harganya melebihi anting-anting dan harga motor. Tapi saya senang dengan perkembangan kemauan belajar, konsentrasi dan daya juang anak kedua saya ini. Sehingga, khusus dia, sudah lama saya buatkan akun facebook. Tempat mendokumentasikan dan berbagi. Padahal saya sendiri malas bermain facebook, karena memang sudah saya matikan lama sekali facebook saya itu.

Nah, gara-gara anak saya yang kedua ini saya juga akhirnya terpaksa terjun ke dunia facebook kembali dan bergabung di dalam grup-grup yang berhubungan dengan ke-spesial-an anak kedua saya ini. Takdir pun membawa ke dunia pergaulan baru, dunia difabel, saya terlibat secara online dan offline dengan komunitas difabel. Senang sekali rasanya bertemu dengan komunitas baru ini. Ada peningkatan rasa empati, kemanusiaan, sensitifitas dalam diri, di samping rasa “sensi” yang semakin meningkat juga. Iya, sensi bila ada orang yang masih merendahkan kaum difabel.

Demikian saja yang bisa saya tulis di siang hari ini sebelum menyantap ransum di tempat kerja. Saya berdoa untuk diri saya agar tetap terjaga motivasinya, buat mengisi blog ini. Aamiin.

Diposkan pada alat bantu dengar, deafness, hearing impairment, tunarungu

Stetosklip Alternatif


Kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar turut berimbas pada kebutuhan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran. Ditambah lagi dengan situasi sulitnya mendapatkan asesoris pelengkap bagi alat bantu dengar mereka. Cukup banyak orang tua yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan perangkat pendukung tersebut. Salah satunya stetosklip yang berfungsi untuk memeriksa hearing aids/alat bantu dengar/ABD anaknya secara rutin.

Buat para orang tua yang kesulitan mendapatkan stetosklip untuk memeriksa hearing aids anaknya, bisa mencoba alternatif dengan menggunakan stetoskop murah yang bisa dibeli di toko-toko penjual peralatan medis. Kisaran harga stetoskop murah ini 20 ribu-50 ribu. Saya sendiri sudah mencoba dengan stetosklip dengan harga 35 ribu. Hasil yang di dapat lebih bagus dari stetosklip yang harganya lebih mahal dari harga stetosklip modifikasi ini. Bahkan stetosklip modifikasi ini masih bisa digunakan untuk melakukan pemeriksaan secara mandiri kepada anak-anak kita ketika mengalami sakit yang memerlukan pemeriksaan secara mandiri oleh orang tua sebelum dibawa ke dokter.

Untuk dapat menggunakan stetoskop sebagai stetosklip alternatif, caranya:
– Lepaskan chest piece (nomor 1) dari tubing stestoskop (nomor 2).
– Lepaskan earmold dari tubing hearing aids (nomor 3). Bisa juga earmold tidak dilepaskan, namun ujung earlmold tidak pas dengan ukuran lubang tubing stetoskop.
– Untuk mulai mendengarkan dan memeriksa fungsi hearing aids, masukkan tubing hearing aids pada lubang tubing stetoskop (nomor 4), pasang kedua ear pieces stetoskop di telinga untuk mendengarkan.
– Bila suara hearing aids yang didengar melalui stetoskop ini masih terlalu keras bagi telinga orang tua, dapat ditambahkan peredam berupa kasa atau kapas yang ditutupkan pada kedua ear pieces stetoskop.

 

klik gambar untuk memperbesar

Diposkan pada curhat, tunarungu

Menaklukkan Nadifa, si picky eater


Sebenarnya ya, takluknya cuma sesaat, banyak ga takluknya sih. Berbeda dengan kakaknya, Nadifa adalah seorang batita yang super picky eater. Ortunya lumayan stres menghadapi putri kemayu ning gratilan bin petakilan ini, apalagi Ibunya tuh yang paling stres… Ingat ga Bu, dulu waktu masih di Jakarta, ada tetangga depan yang ibunya hobi ngeplakin anaknya yang susah makan, jadi sambil makan gitu sambil menempeleng, jadilah si anak makan sambil nangis, anaknya sih sudah lewat balita klo ga salah ingat. Si ibu ngomong, seingat saya: “kamu itu, makan sulitnya minta ampun, bersyukur kamu masih bisa makan, lihat tuh banyak orang yang ga bisa makan!”
Lah, tapi sama Nadifa, masa mau diterapkan seperti itu? yang ada dia cuek aja, lah ga dengar gitu, hahaha…
Berbagai cara kita coba dan cari inovasi-inovasi sesuai referensi juga sih. Dulu Ifa, kakaknya jadi gemuk karena terlalu sering dicekoki susu sama pembantu, dan memang lebih banyak makannya, tapi ya ga se-picky Nadifa. Buktinya sekarang hobi utamanya ya makan dan ngemil sampe udah bisa kasih jawaban konsisten ketika ditanya sama orang, “Wah, kamu kok gemuk ya?” Dijawab: “Karena banyak makan, karena banyak minum susu…” hahaha… Di episode pamer keperkakasan, eh…keperkasaan kemarin bisa lihat sendiri buktinya deh…
Nah, Nadifa ini betul, butuh ekstra banget, sangat tidak konsisten untuk masalah makan. Sempat lama juga dia makan pake makanan yang diblender, habis klo makan padat dikit dilepeh terus, selalu begitu, daripada ga masuk asupan gizi, akhirnya dibuat cair atau semi cair, pokoknya nasi dan lauk pauk diblender gitu, dibantu sama pembantu, diajak kelililing kampung, sambil makan, tapi tetap aja sulit habisnya. Di sekolah ya sama aja, awalnya saja ketika ada perubahan suasana, lahap makannya, setelah itu ya kembali ke selera asal, hahaha.
Nah, ga ada pembantu sekarang ini jauh lebih repot. Hari ini ibunya laporan ga mau makan juga tuh anak. Udah dikeluarin segala macam jenis makanan dan lauk, termasuk sereal energen yang sempat jadi favoritnya, sama aja. Yang belum bosan tuh ya, susu sama jus-jus gitu deh seperti jus jeruk dan jambu.
Beberapa minggu lalu ibunya beli abon, eh si Nadifa ternyata suka, jadilah lebih kurang 2-3 hari, makannya lahap cuma pake nasi+abon, kadang tambah kuah dikit, diselingi dengan jus jeruk. Namuuun, itu cuma bertahan sebentar, habis itu ga mau lagi, cuma banyak minum jusnya aja.
Nadifa juga suka sayur lodeh/bersantan gitu, sekali waktu lahap, sekali waktu ya mandeg, ya sama aja, ga bisa juga bisa dibilang sukalah, hahaha….
Klo makan di luar sih kadang mau makan, itu pun klo ketemu jodoh makanan yang tepat, seperti mie ayam, tumben waktu itu lahap makan mie ayam di Indogrosir dan minum jus jeruk dan jambu biji habis banyak sampe beol deh, parah….
Akhirnya ibunya bikin lagi mie telur, tapi sekali lagi cuma bertahan sebentar. Lalu tiba-tiba Nadifa suka makan pake kentang goreng saja, lalu mandeg, lalu tiba-tiba senang dengan nuget ayam, lalu mandeg lagi, begitu seterusnya. Bahkan terakhir kemarin pagi dan sore makan pake sup mie Promina, sebelumnya sih udah sempat bosan, tapi kemarin itu maunya karena apa coba…? karena wadahnya berbeda, pake ini nih wadah makannya…
Pusing kan… jadinya setiap malam sudah mulai lagi dicekoki susu campur ekstra protein kedele beli dari apotek. Klo beli langsung borong, murah sih 4 ribuan gitu per sachet. Plus ditambah vitamin berwujud sirup gitu setiap harinya.
Tolong dong, klo masih ada ide yang sudah pengalaman dengan anak yang picky eater. Rencana sih ya nanti makanan-makanan yang disukai itu diputar aja alias diulang secara periodik, trus wadahnya digonta-ganti gitu, sama suasana makannya juga diubah-ubah deh… yang terakhir ini yang sulit, ga telaten.
Diposkan pada tunarungu

[Tuna Rungu] Perkembangan yang menggembirakan


Pose saat mau berangkat sekolah pagi
Senang sekali Nadifa sudah paham beberapa bahasa reseptif. Seperti misalnya dia sudah bisa menunjukkan mana gambar ikan, ketika diucapkan kata “mana ikan”. Menunjuk mata ikan ketika diucapkan kata “mana mata ikan”. Dengan ini saya semakin yakin sepenuhnya bahwa ABD (alat bantu dengar)-nya berfungsi.
Selain itu fungsi motoriknya sudah banyak percepatan, sudah bisa melepas dan memakai celana sendiri, sudah bisa naik ke motor tanpa bantuan, dan kebiasaan-kebiasaan repetitif/berulang yang diduga gejala autisnya sudah jauh berkurang seperti suka berputar-putar sendiri, suka mendelik-delik matanya.
Memang, sudah beberapa minggu ini Nadifa juga kami pindahkan ke sekolah inklusi alias sekolah umum playgroup, yaitu sekolah yang sama dengan kakaknya. Namun, sekolah siangnya di SLB tetap kami pertahankan sebagai wahana pembanding dan melatih konsentrasinya. Sepertinya Nadifa lebih senang di sekolah inklusi tersebut, terbukti suatu waktu ketika saya jemput dari sana untuk diantar ke sekolah siangnya, dia menolak, meski akhirnya mau juga, meski kelihatan bete gitu mukanya, hehe…
Kami akui kami masih sangat kurang untuk menjalankan metode AVT (auditory verbal therapy) mandiri di rumah, selain belum bisa membuat iklim yang kondusif, sarana yang masih kurang, dan manajemen bapak dan ibunya dalam membagi waktu untuk belajar 🙂
Kami berharap bisa segera menata hal tersebut untuk percepatan belajar Nadifa.
Diposkan pada livinginjogja, sekolah, tunarungu

Malam Amal SLB Karnnamanohara – Langkah Kecil Meraih Asa


Akhirnya, saya jadi juga membeli tiket untuk acara Malam Amal SLB (B) Karnnamanohara, tempat anak saya, Nadifa, bersekolah. Saya beli satu saja tiketnya. Sebenarnya hari Ahad, 26 Pebruari besok saya ada jadwal dinas, tapi saya pikir ini acara penting untuk saya melihat kemampuan anak-anak tuna rungu menunjukkan kemampuan mereka. Memang, kelas anak saya belum dilibatkan karena mereka masih kecil-kecil banget, masih latihan pula.

Mudah-mudahan besok saya bisa mendokumentasikan acar ini dengan baik supaya bisa di-share di empe

O, ya, sepertinya tiket untuk acara masih banyak, bagi yang berada di Jogja dan sekitarnya dan mau ikut nonton silakan beli tiketnya (kalo ga salah 20 ribu rupiah saja) di SLB B Karnnamanohara, Jln. Pandean 2 (Gg. Wulung Deresan Condong Catur Depok, Sleman), Yogyakarta.

Diposkan pada deafness, tunarungu

(Kisah Anak Tuna Rungu) Pasca habilitasi mau kemana?



Alhamdulillah, sungguh dengan ABD ini kami menyaksikan perkembangan daya perhatian Nadifa, dan sudah mulai senang berbunyi mulutnya dan bergerak-gerak, meski belum ada arti.

Minggu kemarin merupakan minggu terakhir anak saya yang kedua, Nadifa, mendapatkan terapi habilitasi gratis di toko alat bantu dengarnya. Saya dan istri sepakat untuk mengintesifkan waktu pemakaian alat bantu dengarnya (ABD) dengan cara menyekolahkan Nadifa pada pagi harinya. Mengapa? karena secara waktu kami sendiri sangat kesulitan mengawasi secara penuh. Di rumah cuma sama pembantu yang tidak bisa kami harapkan terlalu bnayak bantuannya.
Kalau saya atau istri lagi banyak waktu di rumah, diusahakan untuk mengawal Nadifa belajar sambil mengawasi ABD yang dipakainya. Walau pun sekarang sudah jauh lebih mudah dipakaikan ABD-nya, namun Nadifa masih menganggap ABD itu hanya perlu dipakai pada saat-saat tertentu saja seperti saat belajar, saat nonton, saat bermain. Sehingga kami masih harus berusaha keras agar Nadifa lebih paham bahwa alat itu harus dia gunakan sepanjang dia tidak tidur.
Sekarang Nadifa masih ada kesalahan persepsi kapan menggunakan ABD itu. Saya sudah diajarkan triknya supaya Nadifa mau mengubah persepsinya itu. Misal, dulu dia pakai ABD kalau hanya ketika belajar di kelas. Sekolahnya sekarang cuma belajar dari pukul 13.00-15.00. Nah, saat pulang, Nadifa otomatis akan mencopot ABD-nya. Lalu saya dan istri memberi kode agar Nadifa tetap menggunakan ABD-nya. Nadifa memang sudah paham bahasa larangan yang masih kode gelengan kepala, larangan dengan lambaian tangan dengan disertai suara. Ini sudah jauh lebih mending. Dulu Nadifa masih harus menangis karena dipaksa dengan bahasa yang agak kasar dengan kode tepukan pada tangannya . Tepukan loh ya, bukan pukulan…
Persepsi salah lainnya adalah saat Nadifa mau minum susu botol, dia pasti akan melakukan gerakan akan mencopot ABD dari telinganya. Saya kebetulan kemarin bisa seharian ngawasi Nadifa. Saya menangkap respon yang salah itu. Lalu saya larang dia. Dan dia menurut. Tapi lucunya, Nadifa malah ga mau dibaringkan sambil minum susu meski ABD-nya telah saya off-kan. Entahlah, apa dia masih ga nyaman dengan ABD terpasang sambil berbaring. Akhirnya dia nyedot botol itu sambil duduk dan sambil angguk ke atas untuk menenggak susunya dan ke depan untuk nonton TV .
Rencana ke depan setelah sesi habilitasi gratis, ya kami harus habilitasi sendiri dulu di rumah. Dan Nadifa juga sepakat akan kami sekolahkan juga di pagi hari agar selalu ABD-nya terpasang. Kasihan juga sebenarnya pagi sekolah, siang harus sekolah lagi. Sambil kami akan selingi dengan terapi wicara di RS.
Semangat terus ya Nak….

Diposkan pada tunarungu

Pentingnya dukungan pada ortu anak tuna rungu (ATR)


Sebenarnya tidak hanya dukungan atau support pada orang tua (ortu) anak tuna rungu (ATR) saja, namun juga kepada semua ortu yang memiliki anak yang diberikan keistimewaan Namun, kali ini saya berfokus pada ATR karena saya juga ortu ATR itu. Dan biasanya dukungan ini diberikan oleh ortu yang memang mempunyai kondisi sama atau orang lain yang sudah mengerti dan mampu berempati secara benar.

Hari ini saya mendapatkan SMS curhatan dari seorang ibu ATR tentang kendala-kendala yang ada ketika hendak membelikan alat bantu dengar (ABD) untuk anaknya yang juga masih balita. Kendala-kendala klasik yang sebenarnya juga dihadapi oleh hampir sebagian besar ortu ATR seperti kendala waktu yang tidak pas karena kondisi bekerja, kondisi anak yang tidak mendukung untuk dilakukan observasi mau pun fitting alat, antrian yang panjang, pembatalan observasi, pembiasaan anak dalam memakai ABD, harga yang mahal, dan lain sebagainya. Mengapa saya mengatakan itu kendala klasik, ya karena saya dan istri juga mengalaminya, dan begitu juga ortu-ortu sebelum kami, hampir semuanya mengalami. Saya sekarang sudah jauh bisa lebih tenang karena sudah banyak mendapatkan dukungan langsung mau pun tidak langsung dari para ortu ATR lainnya yang sudah lebih dahulu memeriksakan dan menerapi anaknya. Salah satunya dari para ortu ATR di MP ini . Untuk itulah pengalaman saya dan ortu ATR lainnya saya beberkan juga kepada ibu tersebut untuk memberikan dukungan. Saya beritahukan hal-hal yang nyata yang juga saya dan para ortu ATR lainnya hadapi. Apalagi sentra ABD masih sangat terbatas, sehingga tidak jarang banyak ATR dan ortunya yang jauh dari luar kota. Semuanya menuju ke Jogja (dan syukur saya tinggal di Jogja dan toko itu cuma berjarak 5 km/5-10 menit perjalanan dari rumah), ada yang dari Purwokerto, Semarang, Magelang, Klaten, Purworejo, dsb. Namun mereka adalah ortu-ortu yang luar biasa. Dengan niat dan semangat untuk kemajuan anak-anak mereka, mereka rela berkorban sepenuh hati. Syukurlah, ibu tersebut merasa terbantu, dan kembali bersemangat.

Mari kita saling mendukung!

Diposkan pada deafness, kesehatan, tunarungu

Anak kedua saya tuna rungu?


Ya, dari hasil pertama deteksi peralatan medis bernama BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry), menyimpulkan begitu, anak kedua saya, Nadifa Kamilia (Nadif, yang menjadi headshot MP saya), mengalami gangguan pendengaran yang bisa dikatagorikan parah, bahasa medisnya: profound, distal neural hearing loss, dengan tingkat gangguan pendengaran mencapai 105 desibel. Saya dan istri sampai saat ini mempercepat mendalami referensi tentang deafness/ketulian ini, survei berbagai jenis pemeriksaan lain, jenis terapi, lembaga pendidikan, bahkan berbagai website dan blog para tuna rungu dan ortu mereka, termasuk di MP ini. Alhamdulillah, ternyata banyak juga MPer yang tuna rungu atau anaknya yang tuna rungu.

Doakan kami semangat untuk mengajar dan mendidik anak kami….