Diposkan pada curhat, deafness, gadget, hearing impairment, kontemplasi, menulis, tunarungu

Edukasi Koersif Untuk Anak, Perlukah?


Lama tidak berefleksi dalam tulisan. Judul tulisan ini pun melintas sekilas tapi masih membekas cukup kuat, memberikan daya kepada saya membuka aplikasi notepad di laptop tua yang sudah berkonversi menjadi desktop abal-abal karena LCD-nya telah pensiun, dan terlalu mahal hanya untuk menggantinya karena sudah langka di pasaran. Jadilah saya coba menulis kembali, sedikit saja dulu, buat pemanasan kembali.

Ceritanya, anak bungsu saya yang tuna rungu, maghrib ini tumben mengambil mukenanya dan pengen ikut sholat ke Masjid. Sregep begitu. Saya langsung ter-flashback ke satu hari lalu, manakala si adek mulai malas-malasan lagi buat sholat. Ibunya ikut uring-uringan susahnya sekarang diajak sholat. Sebagai anak tuna rungu, menguasai konsep pemahaman berbau abstrak itu sangat-sangat-sangat sulit bagi anak saya ini. Selama ini anak bungsu saya ini masih belajar kosa kata dan kalimat sederhana seputar kata benda, kata kerja, kata sifat. Dengan pengertian yang masih-masih sangat simpel. Tentu itu tidak dapat selalu memuaskan dia. Terbukti, bertubi-tubi sekarang Nadifa memberondong dengan kata tanya “apa” dan “mana”. Kita sendiri yang ikut pusing karena harus memikirkan dan mengucapkan dalam bahasa yang juga tidak gampang bisa dimengerti oleh anak berkebutuhan khusus seperti anak saya. Termasuk saya pikir dalam konsep sholat ini: mengapa dia perlu sholat. Dalam bentuk perluasan lain: mengapa dia perlu berdoa, mengapa dia perlu belajar, dan sebagainya. Sampai sekarang misalnya, ini ibunya yang omong ke saya: Nadifa di umur yang hampir 9 tahun, baru tahunya kalau uang di dompet ortunya sudah habis, tahunya dia ambil ke ATM. Dengan kombinasi bahasa isyarat dia minta ambil uang ke ATM. Walah nduk… nduk… uang itu perlu dicari melalui bekerja. Bukan minta ke ATM…. 😀

Kalau hanya konsep sehari-hari keduniawian lain seperti: mengapa harus cuci tangan, gosok gigi, mandi, mengapa harus tidur tidak kemalaman, mengapa harus makan, itu lebih gampang. Mandi supaya hilang bau badan dan tidak kotor. Cuci tangan sebelum makan supaya tidak kotor dan jadi sakit. Gosok gigi juga begitu. Dan ajaibnya anak bungsu saya ini, aslinya lebih fanatik terhadap suatu konsep dibanding kakaknya yang normal. Saklek banget begitu. Kotor dikit ga mau, bau dikit ga mau. Rajin sekali sikat gigi, sampai-sampai dokter gigi favorit langganan saya, tadi periksa Nadifa bilang: oke banget giginya, belum ada yang lobang. Selain itu, selalu memperhatikan simbol-simbol larangan di tempat-tempat umum dan suka perhatian bahkan marah sama ortunya kalau kasih toleransi dikit sama simbol-simbol larangan itu. Misal simbol dilarang membawa kamera, simbol dilarang membawa makanan minuman, dan sebagainya. Hitam putih begitu.

Jadilah saya manfaatkan juga pola pikir yang masih hitam putih ini untuk memberikan pemahaman kepada dia, mengapa harus sholat. Saya bukakan youtube dan cari kata kunci “tidak sholat neraka”. Muncul banyak video edukasi yang sedikit mengerikan bagi anak seumur dia. Tapi dia malah mendekat dan tertarik. Saya bukakan satu video yang menayangkan orang yang rajin sholat, lalu orang yang tidak sholat, dibakar pakai api di neraka, lalu ada tayangan ular neraka bernama Syuja’ul Aqra’ yang amat bengis kepada penghuni neraka yang semasa hidupnya malas atau jarang atau tidak sholat sama sekali. Ularnya mirip naga dinosaurus gitu. Sebagai maniak dinosaurus, Nadifa antusias dan kelihatan amat membekas. Habis lihat tayangan itu dia segera sholat. Dan maghrib tadi masih membekas, ikut bapaknya sholat ke masjid.

Mungkin banyak ortu yang tidak setuju cara mendidik anak seperti ini. Dengan cara komunikasi koersif, kekerasan, atau minimal menampilkan kekerasan? Entahlah. Tapi dalam agama mengajar itu bisa dengan lemah-lembut, tapi juga bisa dengan koersif, peringatan bahkan “kekerasan” atau lebih enak: ketegasan, bahasanya ya. Saya, alhamdulillah sudah ga pernah “main tangan dan kaki” lagi sekarang mengajarin anak-anak. Emosi sudah jauh lebih terkendali. Itu pun karena anak-anak saya yang justru jadi guru saya dalam belajar mengendalikan emosi. Syukur yaa Allah diberi amanah anak-anak hebat ini…

Saya semoga tidak banyak-banyak menggunakan cara komunikasi koersif ini untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak. PR masih amat banyak, pengendalian diri sendiri yang masih amat susah, apalagi memberi contoh, itu yang paling amat susah. Televisi sudah lama disingkirkan, dan saya juga ikut kena imbas tidak bisa nonton TV lagi. Gadget handphone, masih susah, masih sering dicerewetin sama istri, ya meski kadang juga saya ganti cerewetin hehe… . Mandi pun begitu, masih suka suruh-suruh anak mandi duluan, bapaknya sendiri masih belum mandi saat tulisan ini dibuat… Selain itu saya memang harus terus belajar membagi waktu dan menghimpun energi lebih besar, lebih banyak mencari modul-modul bagi anak-anak saya yang pembosan ini, sama dengan bapaknya, pengennya belajar yang baru terus.

Monjali, 9 Juli 2018. Pukul 21.30.

*Bersiap mandi 😀

Diposkan pada alat bantu dengar, deafness, hearing impairment, istri, pernik, tunarungu

Recharge…


Kiri: Nadifa, Kanan: Ifa
Kiri: Nadifa, Kanan: Ifa

Sekian bulan lamanya saya tidak menulis di blog ini. Bahkan setelah melewati tahun pun belum terisi lagi blog ini. Jelas ada banyak rasa yang hilang. Kalau dibilang tidak sempat rasanya tidak juga, mungkin hanya rasa malas dan semakin banyaknya distraksi, hal-hal lain yang simpel, menarik, seperti aktifitas chat di grup-grup smartphone. Rasanya menulis di blog bukan menjadi sebuah kenikmatan dan bukan menjadi bentuk refreshing lagi. Mesti ini harus didobrak dengan segenap usaha. Salah satunya dengan mengisi lagi dengan tulisan ini. Saya tidak ingin otak penuh dengan ide-ide yang dibiarkan membusuk saja.

Kalau berbicara ide, tentu banyak sekali yang terlintas, meski pun gadget sudah super canggih, namun tak berdaya juga untuk menuangkannya dalam blog ini. Semoga kali ini berhasil 😀

Sebenarnya, banyak sekali hal menarik yang saya temui ketika saya vakum dalam kegiatan menulis di blog beberapa bulan ini. Selain fokus terbesar ada di tempat kerja, saya bersama istri juga masih intens berkutat dengan anak-anak. Dan itu penuh dengan cerita-cerita yang amat layak dibagi di blog ini. Bagaimana pun blog ini lebih abadi bagi saya dibanding dengan grup-grup media sosial dan di smartphone yang gampang hilang begitu saja.

Baiklah, mengawali lagi, saya ingin cerita saja tentang perkembangan dalam kehidupan keseharian saya dan keluarga. Tidak usahlah dulu membahas masalah kerjaan yang sudah cukup rumit dan memakan waktu, tenaga, pikiran, dan sebagainya. Sudah cukup pusing. Maka, saya akan kembalikan dulu blog ini sebagai awalan untuk memotivasi diri kembali untuk menulis sebagai wadah refreshing dan memory reminding.

Ceritanya, anak-anak saya sekarang sudah mulai memasuki masa-masa akhir balita. Eh tidak…, malah yang pertama, sudah lewat masa balita dan sebentar lagi sudah mau sekolah di SD, sudah diterima di sebuah SD. Tinggal menghitung bulan wisudanya di TK. Waktu terasa cepat saja berlalu, terbukti juga anak kedua, tahu-tahu sudah jadi pretty little girl yang semakin memerlukan perhatian lebih. Sampai kita rembukan lama, istri saya bertekad mengajukan cuti di luar tanggungan negara untuk mendampingi anak kedua yang spesial ini. Saya dukung penuh dan berharap bisa berjalan lancar permohonannya. I love you full, Yang…

O, ya, kedua anak saya ini sekarang sudah pintar berenang. Ya, karena memang kita kursuskan renang. Putri pertama yang ceriwis awalnya kursus privat sebelum akhirnya masuk klub renang, dan sudah sempat mendapatkan penghargaan dari sebuah lomba renang. We proud of you, girl! Putri kedua sudah bisa berenang gaya marinir melalui privat dengan 2 guru sekaligus, atau lebih tepatnya gaya anjing, hahaha… iya, gaya renang dengan kepala yang tidak menyelup ke air dan kedua tangan mengayuh di bawah permukaan air. Dan itu sudah berani dia lakukan di tempat dalam. Salut kepada para pelatihnya yang penuhdengan inovasi.

Kedua putri saya ini juga sudah tidak mengompol lagi ketika tidur di malam hari. Ibunya pintar membuat strategi bagaimana bisa berhasil tidak mengompol lagi. Jelas, biaya diaper semakin tertekan, termasuk biaya susu yang awalnya luar biasa besar, sekarang sudah jauh berkurang. Biaya terberat sekarang adalah biaya pendidikan, terapi, dan perlengkapan bantu mendengar untuk putri saya yang kedua. Di kedua telinganya sekarang masih bergantung alat bantu dengar yang harganya melebihi anting-anting dan harga motor. Tapi saya senang dengan perkembangan kemauan belajar, konsentrasi dan daya juang anak kedua saya ini. Sehingga, khusus dia, sudah lama saya buatkan akun facebook. Tempat mendokumentasikan dan berbagi. Padahal saya sendiri malas bermain facebook, karena memang sudah saya matikan lama sekali facebook saya itu.

Nah, gara-gara anak saya yang kedua ini saya juga akhirnya terpaksa terjun ke dunia facebook kembali dan bergabung di dalam grup-grup yang berhubungan dengan ke-spesial-an anak kedua saya ini. Takdir pun membawa ke dunia pergaulan baru, dunia difabel, saya terlibat secara online dan offline dengan komunitas difabel. Senang sekali rasanya bertemu dengan komunitas baru ini. Ada peningkatan rasa empati, kemanusiaan, sensitifitas dalam diri, di samping rasa “sensi” yang semakin meningkat juga. Iya, sensi bila ada orang yang masih merendahkan kaum difabel.

Demikian saja yang bisa saya tulis di siang hari ini sebelum menyantap ransum di tempat kerja. Saya berdoa untuk diri saya agar tetap terjaga motivasinya, buat mengisi blog ini. Aamiin.

Diposkan pada alat bantu dengar, deafness, hearing impairment, tunarungu

Stetosklip Alternatif


Kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar turut berimbas pada kebutuhan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran. Ditambah lagi dengan situasi sulitnya mendapatkan asesoris pelengkap bagi alat bantu dengar mereka. Cukup banyak orang tua yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan perangkat pendukung tersebut. Salah satunya stetosklip yang berfungsi untuk memeriksa hearing aids/alat bantu dengar/ABD anaknya secara rutin.

Buat para orang tua yang kesulitan mendapatkan stetosklip untuk memeriksa hearing aids anaknya, bisa mencoba alternatif dengan menggunakan stetoskop murah yang bisa dibeli di toko-toko penjual peralatan medis. Kisaran harga stetoskop murah ini 20 ribu-50 ribu. Saya sendiri sudah mencoba dengan stetosklip dengan harga 35 ribu. Hasil yang di dapat lebih bagus dari stetosklip yang harganya lebih mahal dari harga stetosklip modifikasi ini. Bahkan stetosklip modifikasi ini masih bisa digunakan untuk melakukan pemeriksaan secara mandiri kepada anak-anak kita ketika mengalami sakit yang memerlukan pemeriksaan secara mandiri oleh orang tua sebelum dibawa ke dokter.

Untuk dapat menggunakan stetoskop sebagai stetosklip alternatif, caranya:
– Lepaskan chest piece (nomor 1) dari tubing stestoskop (nomor 2).
– Lepaskan earmold dari tubing hearing aids (nomor 3). Bisa juga earmold tidak dilepaskan, namun ujung earlmold tidak pas dengan ukuran lubang tubing stetoskop.
– Untuk mulai mendengarkan dan memeriksa fungsi hearing aids, masukkan tubing hearing aids pada lubang tubing stetoskop (nomor 4), pasang kedua ear pieces stetoskop di telinga untuk mendengarkan.
– Bila suara hearing aids yang didengar melalui stetoskop ini masih terlalu keras bagi telinga orang tua, dapat ditambahkan peredam berupa kasa atau kapas yang ditutupkan pada kedua ear pieces stetoskop.

 

klik gambar untuk memperbesar

Diposkan pada deafness, tunarungu

(Kisah Anak Tuna Rungu) Pasca habilitasi mau kemana?



Alhamdulillah, sungguh dengan ABD ini kami menyaksikan perkembangan daya perhatian Nadifa, dan sudah mulai senang berbunyi mulutnya dan bergerak-gerak, meski belum ada arti.

Minggu kemarin merupakan minggu terakhir anak saya yang kedua, Nadifa, mendapatkan terapi habilitasi gratis di toko alat bantu dengarnya. Saya dan istri sepakat untuk mengintesifkan waktu pemakaian alat bantu dengarnya (ABD) dengan cara menyekolahkan Nadifa pada pagi harinya. Mengapa? karena secara waktu kami sendiri sangat kesulitan mengawasi secara penuh. Di rumah cuma sama pembantu yang tidak bisa kami harapkan terlalu bnayak bantuannya.
Kalau saya atau istri lagi banyak waktu di rumah, diusahakan untuk mengawal Nadifa belajar sambil mengawasi ABD yang dipakainya. Walau pun sekarang sudah jauh lebih mudah dipakaikan ABD-nya, namun Nadifa masih menganggap ABD itu hanya perlu dipakai pada saat-saat tertentu saja seperti saat belajar, saat nonton, saat bermain. Sehingga kami masih harus berusaha keras agar Nadifa lebih paham bahwa alat itu harus dia gunakan sepanjang dia tidak tidur.
Sekarang Nadifa masih ada kesalahan persepsi kapan menggunakan ABD itu. Saya sudah diajarkan triknya supaya Nadifa mau mengubah persepsinya itu. Misal, dulu dia pakai ABD kalau hanya ketika belajar di kelas. Sekolahnya sekarang cuma belajar dari pukul 13.00-15.00. Nah, saat pulang, Nadifa otomatis akan mencopot ABD-nya. Lalu saya dan istri memberi kode agar Nadifa tetap menggunakan ABD-nya. Nadifa memang sudah paham bahasa larangan yang masih kode gelengan kepala, larangan dengan lambaian tangan dengan disertai suara. Ini sudah jauh lebih mending. Dulu Nadifa masih harus menangis karena dipaksa dengan bahasa yang agak kasar dengan kode tepukan pada tangannya . Tepukan loh ya, bukan pukulan…
Persepsi salah lainnya adalah saat Nadifa mau minum susu botol, dia pasti akan melakukan gerakan akan mencopot ABD dari telinganya. Saya kebetulan kemarin bisa seharian ngawasi Nadifa. Saya menangkap respon yang salah itu. Lalu saya larang dia. Dan dia menurut. Tapi lucunya, Nadifa malah ga mau dibaringkan sambil minum susu meski ABD-nya telah saya off-kan. Entahlah, apa dia masih ga nyaman dengan ABD terpasang sambil berbaring. Akhirnya dia nyedot botol itu sambil duduk dan sambil angguk ke atas untuk menenggak susunya dan ke depan untuk nonton TV .
Rencana ke depan setelah sesi habilitasi gratis, ya kami harus habilitasi sendiri dulu di rumah. Dan Nadifa juga sepakat akan kami sekolahkan juga di pagi hari agar selalu ABD-nya terpasang. Kasihan juga sebenarnya pagi sekolah, siang harus sekolah lagi. Sambil kami akan selingi dengan terapi wicara di RS.
Semangat terus ya Nak….

Diposkan pada deafness, kesehatan, tunarungu

Anak kedua saya tuna rungu?


Ya, dari hasil pertama deteksi peralatan medis bernama BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry), menyimpulkan begitu, anak kedua saya, Nadifa Kamilia (Nadif, yang menjadi headshot MP saya), mengalami gangguan pendengaran yang bisa dikatagorikan parah, bahasa medisnya: profound, distal neural hearing loss, dengan tingkat gangguan pendengaran mencapai 105 desibel. Saya dan istri sampai saat ini mempercepat mendalami referensi tentang deafness/ketulian ini, survei berbagai jenis pemeriksaan lain, jenis terapi, lembaga pendidikan, bahkan berbagai website dan blog para tuna rungu dan ortu mereka, termasuk di MP ini. Alhamdulillah, ternyata banyak juga MPer yang tuna rungu atau anaknya yang tuna rungu.

Doakan kami semangat untuk mengajar dan mendidik anak kami….