Puasa di Bulan Ramadhan ibarat mengikuti lomba lari maraton berjarak 42 kilometer lebih itu. Ya, kita mengetahui bahwa lari maraton merupakan jenis lomba lari dengan jarak terjauh. Diperlukan latihan, semangat, bahkan ilmu untuk mengikuti maraton itu. Biasanya lari maraton, apalagi yang sifatnya massal, memiliki banyak peserta. Bila kita mengambil contoh maraton massal, maka ada beragam individu pula dengan berbagai karakter ilmu, kemampuan fisik, dan semangat yang mengikutinya.
Orang yang kuat secara fisik jelas lebih berpotensi memenangkan lomba maraton itu, meskipun orang berfisik kuat saja tidak cukup namun fisik kuat yang terlatih sebelum lomba maraton berlangsung jelas akan lebih unggul. Lalu peserta maraton yang berilmu biasanya juga lebih mampu untuk menyelesaikan lomba maraton tersebut, mungkin fisik bisa jadi tidak terlalu kuat, tapi dia tahu bahwa maraton memakan waktu yang lama sehingga diperlukan kesabaran dan irama yang baik dalam mengatur langkahnya. Berlari cepat (sprint) di awal waktu hanya akan cepat menguras energinya sehingga dia lebih memilih untuk berlari secara teratur, ajeg (konsisten, sedikit atau pelan-pelan lebih baik namun berkelanjutan), mengatur napas, sampai fisiknya beradaptasi dengan lingkungan maraton tersebut. Berilmu juga mengetahui bahwa gerakan aerobik akan lebih bertahan lama karena tidak menyebabkan asam laktat bertumpuk yang lebih cepat menyebabkan kelelahan. Lalu peserta maraton yang bersemangat biasanya memilki motivasi tertentu sehingga dia mau mengikuti lomba yang melelahkan itu.
Memang semua karakter itu mesti bersinergi untuk melahirkan seorang pelari maraton yang unggul , yang tidak hanya mencapai garis finish, tapi juga mampu mendapatkan predikat juara maraton. Tapi tidak mengapalah, karena masing-masing peserta bisa memilih ingin menjadi apa dia dan apa tujuannya untuk mengikuti lomba maraton itu. Yang jelas begitu pula dengan puasa di bulan Ramadhan yang penuh perjuangan itu. Kalau hanya puasanya saja sih mudah kali ya, namun yang berat itu adalah mempertahankan ibadah-ibadah pengiring puasa itu yang akan menentukan kita bisa mencapai target sebagai orang yang bertakwa atau tidak. Kalau sekadar puasa saja, seperti apa yang telah menjadi ketentuan: bisa jadi cuma mendapat rasa haus dan lapar saja.
Ada contoh menarik yang diberikan, ketika dihadapkan pilihan beberapa lembar kertas uang berbeda nominal kepada seorang anak TK dan anak SD, ternyata anak TK mengambil uang berwarna merah (Rp 10.000) dan anak SD mengambil uang biru (Rp. 50.000). Dari uji kasus singkat itu jelas memberikan informasi kepada kita bahwa persepsi ilmu setiap anak ketika dihadapkan kepada uang kertas tersebut akan mempengaruhi pilihannya. Begitu pula halnya dengan puasa di bulan Ramadhan. Bagi manusia yang mengerti ilmunya tentang besarnya manfaaat bulan Ramadhan (tidak hanya puasanya saja) maka tentu secara logika orang sehat dia akan memilih nilai tertinggi sesuai persepsi yang dia dapatkan dari ilmunya. Bisa dikatakan sangat naif bila anak SD yang telah mengetahui arti nilai uang Rp 50.000, lebih memilih uang kertas senilai Rp 10.000. Sesuai fitrah (hukum alam), manusia tentunya tidak hanya mau berhenti sampai di level TK saja, bukan? Coba tanyakan kepada anak-anak TK, sebagian besar tentu saja ingin melanjutkan ke SD, dan seterusnya ke level pendidikan yang lebih tinggi.
Tapi itulah sifat manusia, ada juga yang malas, dan mungkin berbagai faktor lain yang mengganggu berjalannya fitrah. Bulan Ramadhan ya sama saja, di awal, di garis start, luar biasa pesertanya: masjid penuh dengan jama’ah sholat tarawih meski kadang tarawihnya lebih semangat daripada sholat subuh berjama’ahnya karena sudah keburu mengantuk terbuai alam mimpi karena kekenyangan dan terlalu dini makan sahurnya. Seiring berjalannya waktu mendekati akhir Ramadhan, sudah dapat dipastikan akan kembali seperti “normal” lagi, para peserta lari maraton sudah pada kelelahan, berguguran di jalan. Iming-iming bayangan persiapan hari raya lebih terasa di angannya daripada untuk mengintensifkan ibadah melalui i’tikaf di akhir Ramadhan. Ini sebenarnya juga godaan terkuat bagi saya, yaitu adanya prosesi mudik yang bisa sangat mempengaruhi untuk meluluhlantakkan target garis finish kita, dan biasanya akan terpengaruh. Saya berdo’a semoga saya dan teman-teman sekalian bisa bertahan untuk mencapai garis finish dan mendapatkan predikat juara… aamiin…
Tulisan yg bagus, pak. Ijin share, bolehkah?
Tentu boleh dok, saya terinspirasi dari sebuah ceramah tarawih…
Terimakasih atas sedekah pemikirannya……..