Jumat lalu terinspirasi dari sebuah khutbah saat mampir Jumatan di sebuah masjid besar di perempatan Kasihan Bantul. Sang khatib yang ceramahnya tidak membuat kantuk namun juga membuat jama’ah betah menyimak. Beliau menyitir sebuah ayat Al Quran tentang larangan menyembunyikan kebenaran. Beliau menekankan bahwa penting menjadi orang baik, namun jauh lebih penting menjadi orang yang mengajak kepada kebaikan, penting tidak berbuat keburukan, namun jauh lebih penting mencegah tersebarnya keburukan. Menurut beliau menjadi pemimpin yang adil, tidak takut menyuarakan kebenaran dan mencegah kemungkaran jauh lebih baik daripada orang yang hanya suka berdzikir di masjid. Apalagi kalau sudah tahu ada ketidakbenaran, dia diam saja, maka itu akan mendatangkan malapetaka dan kerusakan.
Fenomena mencolok akhir-akhir ini kita lihat tempat ibadah semakin penuh, secara kasat mata dapat dikatakan semakin banyak orang shalih, namun kita lihat ternyata bencana dan adzab tidak semakin berkurang. Kedzaliman dan kecurangan terus-menerus dan semakin banyak terjadi, hoax bertebaran tak terkendali.
Saya ingat seorang teman dokter yang galau ketika diminta untuk naik ke level manajemen, menjadi salah satu pimpinan di tempat kerjanya. Saya katakan kepada dia, meski pun itu sulit, tapi dia menyaksikan sendiri bagaimana kondisi tempat kerjanya yang tidak menyenangkan, budaya kerja yang tidak baik, manajemen yang tidak transparan. Saya katakan, itulah tantangannya yang membuahkan hasil yang lebih terhormat dan tinggi nilainya di sisi Sang Khalik. Kalau kita tidak senang melihat hal tersebut, tidak bisa kita hanya sekadar kasih usul atau bahkan cuma menggerutu. Jadilah agen perubahan. Jangan takut naik level, mendapatkan lebih banyak masalah, karena masalah itu justru akan semakin menguatkan kita.
Agen perubahan dalam terminologi Al Quran disebut sebagai muslih, adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk bisa menolak adzab dan kerusakan. Tak hanya kuat dari sisi nahi mungkar, melainkan juga teguh dalam amar ma’ruf. Ketika seseorang itu menolak kedzaliman dan kerusakan, otomatis ia juga mendatangkan maslahat. Begitu juga sebaliknya, bila ia mendatangkan maslahat, secara otomatis juga ia menolak adanya mafsadat/kerusakan. Tujuan islah/perbaikan yang dilakukan seorang muslih tidak selamanya untuk menghilangkan maksiat dan kedzaliman, namun juga untuk mencegah turunnya adzab Allah yang bisa menimpa semua orang (baik yang shalih maupun yang berdosa).
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang dzalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara dzalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud : 116-117).
Muslih tidak mesti sempurna terlebih dahulu (dari segi amalan dan ilmunya), dalam hadits: “Serukanlah yang ma’ruf walaupun kalian tidak melakukannya secara sempurna, dan cegahlah kemungkaran walaupun kalian tidak berlepas darinya seluruhnya”. (HR Thabrani dan Baihaqi).
Keluarga muslih tidak mesti semuanya orang-orang shalih, sebab Nabi Nuh saja tidak bisa menshalihkan anak dan istrinya, Nabi Ibrahim tidak bisa menshalihkan ayahnya, dan Nabi Muhammad tidak bisa menshalihkan pamannya Abu Lahab, dan Abu Thalib. Dalam ayat: “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai” (QS al-Qashash: 56).
Apa ciri utama muslih: di awal dia bergerak musuhnya lebih banyak daripada temannya, berbeda sama orang shalih (baik): lebih banyak temannya daripada musuhnya, karena orang shalih tidak pernah mengutak-atik urusan orang lain, berbeda sama orang muslih yang senantiasa peduli dengan apa yang terjadi di orang lain dan lingkungannya. Dalam hal ini saya tidak setuju kalau ibadah itu hanya meliputi wilayah privat/pribadi, itu hanya ibadah ritual, seperti orang shalih yang hanya berdzikir saja di masjid, tidak mau berkubang sama masalah. Mungkin ada yang ingat mengenai level keimanan dalam sebuah hadits dari sisi mengatasi kedzaliman/kemungkaran, bahwa yang paling tinggi itu adalah level penggunaan kekuasaan, ini hanya bisa dilakukan oleh para pemimpin (istilahnya umara), para ustadz dan kyai mungkin cuma sampai pada level kedua yaitu menggunakan lisan/ucapannya, dan yang paling rendah justru malah bisa tersemat pada orang-orang shalih yang cukup cari aman saja, berdzikir saja di masjid, ternyata dapat dikategorikan sebagai selemah-lemahnya iman, yaitu hanya bisa mengutuki/menggerutu di dalam hati saja mengenai kerusakan yang terjadi.
Satu orang muslih lebih dicintai oleh Allah daripada seribu orang yang shalih, sebab dengan adanya muslih, Allah menjaga seluruh umat dari adzab (dunia), dan orang shalih hanya bisa menjaga dirinya sendiri, tanpa orang lain. So, marilah menjadi orang shalih, namun juga sekaligus muslih.
Referensi: dari berbagai sumber hasil searching di google
Difinalisasi sehabis rapat koordinasi manajemen RS UII di 02052019
Berusaha menulis minimal 1 tulisan dalam sepekan. Rencananya rilis setiap Senin, apa daya, waktu tak selamanya bisa digenggam. Baik pemirsa, silakan disimak blog ini ya, terimakasih 🙂