Masih banyak calon pengantin dan pasangan suami istri yang tidak begitu peduli dengan profil kesehatan (fisik) mereka, bahkan tidak terkecuali dengan mereka yang notabene berprofesi sebagai tenaga kesehatan, contohnya saya. Tapi itu bukan hal yang patut ditiru. Karena akhirnya saya dan istri pun “kena batu”-nya karena ketidakpedulian itu. Bukan bermaksud untuk mengungkit peristiwa lampau yang cukup mengharukan bagi kehidupan kami yang dikarunia anak spesial dari Sang Pencipta – tentu saja ini merupakan amanah yang sangat besar dan menjadi lahan bagi kami untuk menjadi orang tua yang hebat karena diberikan guru yang hebat pula, yaitu anak kami sendiri – melainkan untuk menjadi pelajaran bagi kami sendiri dan kita semua agar sesuatu hal yang mestinya bisa dicegah, diantisipasi, dikelola sedini mungkin dapat dilakukan secepatnya. Yah, sebagai bentuk kepedulian kita kepada generasi penerus kehidupan di masa depan dan sebagai orang tua yang menjadi pendidik yang baik bagi anak-anak kita.
Sekadar mengulangi saja, bahwa anak kedua kami, Nadifa Kamilia, yang biasa kami panggil “adek” merupakan anak tuna rungu alias difable (different ability people) klasifikasi gangguan pendengaran (hearing impairment) kategori Profound Sensori Neural Hearing Loss (Hilangnya Pendengaran Persyarafan Yang Sangat Berat). Sempat terlintas penyesalan beberapa saat lamanya, mengapa saya, yang notabene sebagai dokter pun kurang aware/peduli terhadap proses pra kehamilan, selama kehamilan, dan pasca kehamilan istri.
Nadifa sendiri baru terdeteksi di rahim istri ketika sudah berusia 4 bulan, meski pun kami sudah “tes pek” selama 2 kali sejak bulan-bulan awal telatnya menstruasi, namun mungkin sudah takdirnya belum terdeteksi dengan model kadar kualitatif hormon kehamilan itu. Istri akhirnya di bulan keempat pasca telat haid merasa ada benjolan keras bulat di perutnya. Langsung curiga hamil dan periksa USG dan benar hamil, dan sempat di”gerutui” sama dokter kandungannya.
Mulailah agak teratur periksa kehamilan, dan di trimester akhir terdeteksi jumlah cairan ketuban (liquor amnion) kurang dari normal. Cuma satu dokter yang bilang normal. Yah, cuma sampai di situ saja, belum terpikir mau tes-tes lain, yah terus terang itulah bentuk “ketololan” saya sebagai dokter. Maka jangan sampai terulang, termasuk bagi teman-teman yang awam sekali pun.
Lalu sampailah saat kelahiran, tepat di malam lebaran idul fitri, melahirkan dengan mudah secara normal karena berat Nadifa cuma 2,4 kilogram, sempat masuk inkubator/warmer selama sehari karena napas dan saluran napasnya tidak adekuat alias mengkis-mengkis alias kembang kempis dan berlendir banyak ketika pindah ke bangsal yang memakai AC. Secara fisik memang Nadifa terlihat lemah. Bulan-bulan selanjutnya di awal kehidupan terlihat Nadifa kurang aktif, perkembangan fisik seperti menegakkan kepala tidak secepat kakaknya. Menurut ibunya di bulan awal, Nadifa masih respon dengan beberapa suara, tapi entahlah, karena kami belum tes secara benar pada waktu itu. Istri juga ingat sekali tidak ada hal yang aneh atau penyakit yang tampak dialami istri selama hamil seperti beberapa tanda yang jelas adanya penyakit yang menggangu janin pada beberapa ibu hamil lainnya. Mungkin inilah salah satu sebab kewaspadaan kami begitu kurang.
Kecurigaan gangguan pendengaran mulai ada sekitar umur 4 bulan, tapi itu pun tidak yakin sekali karena Nadifa masih respon (terkejut) ketika mendengar beberapa suara, ya saya juga kadang menyaksikan responnya. Tapi ya itu tadi, kok ya tidak tergerak untuk tes secara lebih lanjut.
O, iya, sebenarnya kami juga pernah ke dokter anak di tempat kerja saya, dan Nadifa didiagnosis dengan gangguan perkembangan global (global delayed development) dan ukuran kepala lebih kecil dari normal (mikrosepali). Sayang benar kenapa kami tidak “mencecar” apa saja penyebab/kemungkinan kondisi itu dan dokter anak juga kurang memberikan informasi secara aktif, cuma disarankan USG kepala. Kami bawa Nadifa USG kepala di Cirendeu, Tangerang atas rujukan dokter anak RS Fatmawati yang tentu saja atas rekomendasi dokter anak saya yang di Jogja dan ketemunya “cuma” perbesaran ruang 4 pada tulang tengkorak (ventrikulomegali), itu pun “cuma” dianggap normal dan tidak signifikan atau tidak terlalu sesuai dengan diagnosis dokter anak dan dikatakan perlu dievaluasi. Sayang juga, kami tidak segera kontrol ke dokter anak atau mencari second opinion.
Akhirnya setelah istri mutasi ke Jogja, barulah kami “agresif” dan mulai merasa “ngeh”. Saya berinisiatif membawa Nadifa periksa ke dokter THT, lagi-lagi di tempat kerja saya. Yah, seperti kecurigaan kami, Nadifa memang mengalami gangguan pendengaran. Dan itu baru kami periksa ketika Nadifa berumur 18 bulan, lalu dirujuk untuk tes yang lebih canggih di RSUP Sardjito dengan BERA, dan muncul diagnosis profound sensori neural hearing loss (SNHL) untuk kedua telinga tadi. Syukurlah kami tidak sampai harus tangis-tangisan, tapi yang jelas galau sekali dengan kondisi dan situasi waktu itu. Keluarga besar ikut galau juga dan ada yang tidak percaya. Tetangga pun masih menganggap normal anak usia segitu belum bisa bicara.
Entahlah, kebingungan kami seperti di jawab langsung sama Allah, habis kontrol THT untuk dapat penjelasan mengenai hasil BERA, sewaktu pulang, di depan lift RS kami bertemu seorang ibu dan anaknya yang sepertinya juga gangguan dengar. Saya ga sempat tanya identitas ibu itu, dia menyarankan kami ke sebuah hearing center yang cukup terkenal di Jogja. Panjang sebenarnya kisah pencarian informasi ini, singkat cerita akhirnya Nadifa bisa pakai Alat Bantu Dengar.
Lalu belum lama ini kami “iseng” ingin tahu dugaan kami mengapa Nadifa bisa mengalami gangguan pendengaran sejak lahir. Lalu kami melakukan CT Scan kepala dan tes laboratorium untuk deteksi TORCH (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus/CMV, Herpes). Benar dugaan kami, Nadifa ada riwayat terinfeksi Rubella, CMV, dan Herpes.
Penyesalan tidak ada gunanya, namun yang penting mengambil pelajaran, bahwa perlu melakukan deteksi dini gangguan pendengaran kepada anak kita, karena mendengar merupakan faktor penting untuk berbahasa dan menjalani kehidupan. Lalu apa tes yang perlu dilakukan kepada anak kita untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran? Kalau tidak mau menduga-duga langsung saja begitu anak kita lahir, kita minta dilakukan tes deteksi dini dengan alat bernama OAE (oto acoustic emission), sebuah alat berbasis komputer yang mampu mendeteksi kerusakan pada bagian rumah siput/koklea terutama fungsi rambut halus penerima getaran suara pada rumah siput itu. Tes ini sangat sederhana, cepat, tidak menyakitkan, dan murah harganya. Memang baru rumahsakit dan toko pusat alat bantu dengar tertentu saja yang memilikinya. Bisa kita tanyakan sama dokter THT dimana kita bisa memperoleh anak kita melakukan tes tersebut. Kebetulan juga di RS tempat saya bekerja juga bisa melakukan tes tersebut karena sudah bekerjasama dengan sebuah pusat alat bantu dari Jakarta. Bagi mereka yang tetap sulit mencari tempat tes ini, lakukan saja seperti orang tua zaman dahulu menguji pendengaran anaknya. Bisa dengan memberikan suara secara tiba-tiba seperti gebrakan meja, bagaimana reaksi anak ketika mendengar suara petir dan suara-suara lain di sekitarnya. Diperlukan sedikit kepedulian dan ketelitian terhadap ini, atau kalau masih ragu, datangi saja dokter THT (sebenarnya dokter umum juga bisa melakukan) yang biasanya akan melakukan tes secara sederhana juga menggunakan garpu tala dan tepukan tangan. Kita pun sebagai orang tua juga bisa kok kalau cuma pakai cara tepuk tangan di samping atau belakang anak yang mau kita tes.
Nah, bila sudah yakin anak kita ada gangguan pendengaran dengan sedini mungkin maka selanjutnya diperlukan upaya penanganan yang sedini mungkin pula. Memang harus ditentukan pula sebab pastinya karena bisa jadi si anak proses penyebab gangguan pendengarannya masih berlangsung seperti pada kasus infeksi bakteri pada telinga sehingga perlu dilakukan pengobatan medis untuk penyebab gangguan. Namun untuk bayi dengan gangguan pendengaran yang sudah terdeteksi di awal-awal kelahirannya, lebih banyak disebabkan faktor kehamilan ibunya. Meski pada beberapa kasus proses itu masih berlangsung ketika bayi lahir.
OK. Rumit kalau saya memaparkan semuanya. Intinya perlu dilakukan deteksi seawal mungkin agar penanganan yang tepat juga bisa diberikan seawal mungkin dan tentu kita berharap keberhasilan anak kita lebih besar untuk sembuh dari gangguan pendengarannya, atau proses gangguan itu tidak berlanjut dan semakin parah merusak sistem pendengarannya. Dan anak kita lebih mudah untuk belajar sedini mungkin agar sisa pendengarannya bisa terasah dengan harapan akhirnya dia bisa berbicara, berbahasa, dan memahami kehidupan seperti anak-anak lainnya.
terimakasih sharingnya, pak. Soalnya saya punya pasien IgM CMV positif, baru melahirkan lk 1 bulan yang lalu. Kalau kontrol pas 40 hari nanti mau saya coba tes bayinya. Semoga saja taa. Salam buat Nadifa. Saya percaya bahwa ia bakal berprestasi kelak. Aamiin
terimakasih juga atas kunjungan dr. Prita, sudah lama ga “ketemu” dok, kabar baik kan?
Makasih doanya Dok…
Betul sekali Dr.
Kebetulan sekali kami juga mengalami hal yg hampir sama. Klo bisa kami minta alamat email Dr atau no kontak yg bisa kami hub, mau minta referensi u/ pemeriksaan lanjutan. Kebetulan kami rencana kontrol ulang/berobat ke jogya dlm waktu dekat.
Email saya widodowirawan@gmail.com
Ijin share ya, pak Widodo.
Informasi ini patut untuk dibagi sebelum mereka terlambat mengetahuinya.
oiya, Nadifa sudah tidak rewel lagi memakai ABD khan, pak? semoga demikian.
silakan Pak dan terimakasih….
Jauh lebih mendingan sekarang Pak, sudah lebih kooperatif Nadifa 😀 Alhamdulillah…
Kisah yang inspiratif, dokter Widodo… Salam kenal ya
Louis & Elfia
Rumah Terapi
Citra Garden 7, A 2 no 8.
Layanan Terapi Bagi Anak Pemakai ABD dan CI.
0812 678 09 681
Salam kenal kembali Pak Louis… 🙂
Salam dari Pusat Alat Bantu Dengar Jakarta Hearing Center. Izin di share ya Pak di FB Page kami sbg info yg berguna dan menambah wawasan bagi yg membacanya 🙂 Terimakasih Pak. Salam juga untuk Nadifa dan keluarga.
Silakan… terimakasih…
Bayi saya sekarang usia 2,5 bln Dok…
Kalau saya mainkan mainan yg bersuara,tidak merespon dan mencari asal suara tersebut…apakah di usia segitu sudah termasuk kelainan?
Itu suatu tanda bu, silakan cek saja ke dokter untuk lebih objektif/pasti.
Maaf dok mau tanya anak saya umur 2thn 3bln awal tumbuh kembang baik2 saja malah lebih cepat dari yg lain tapi sudah umur tersebut sampai saat ini belum bisa bicara apa tidak apa2 atau harus diperiksa lebih lanjut?