Alhamdulillah, sungguh dengan ABD ini kami menyaksikan perkembangan daya perhatian Nadifa, dan sudah mulai senang berbunyi mulutnya dan bergerak-gerak, meski belum ada arti.
Minggu kemarin merupakan minggu terakhir anak saya yang kedua, Nadifa, mendapatkan terapi habilitasi gratis di toko alat bantu dengarnya. Saya dan istri sepakat untuk mengintesifkan waktu pemakaian alat bantu dengarnya (ABD) dengan cara menyekolahkan Nadifa pada pagi harinya. Mengapa? karena secara waktu kami sendiri sangat kesulitan mengawasi secara penuh. Di rumah cuma sama pembantu yang tidak bisa kami harapkan terlalu bnayak bantuannya.
Kalau saya atau istri lagi banyak waktu di rumah, diusahakan untuk mengawal Nadifa belajar sambil mengawasi ABD yang dipakainya. Walau pun sekarang sudah jauh lebih mudah dipakaikan ABD-nya, namun Nadifa masih menganggap ABD itu hanya perlu dipakai pada saat-saat tertentu saja seperti saat belajar, saat nonton, saat bermain. Sehingga kami masih harus berusaha keras agar Nadifa lebih paham bahwa alat itu harus dia gunakan sepanjang dia tidak tidur.
Sekarang Nadifa masih ada kesalahan persepsi kapan menggunakan ABD itu. Saya sudah diajarkan triknya supaya Nadifa mau mengubah persepsinya itu. Misal, dulu dia pakai ABD kalau hanya ketika belajar di kelas. Sekolahnya sekarang cuma belajar dari pukul 13.00-15.00. Nah, saat pulang, Nadifa otomatis akan mencopot ABD-nya. Lalu saya dan istri memberi kode agar Nadifa tetap menggunakan ABD-nya. Nadifa memang sudah paham bahasa larangan yang masih kode gelengan kepala, larangan dengan lambaian tangan dengan disertai suara. Ini sudah jauh lebih mending. Dulu Nadifa masih harus menangis karena dipaksa dengan bahasa yang agak kasar dengan kode tepukan pada tangannya
. Tepukan loh ya, bukan pukulan…

Persepsi salah lainnya adalah saat Nadifa mau minum susu botol, dia pasti akan melakukan gerakan akan mencopot ABD dari telinganya. Saya kebetulan kemarin bisa seharian ngawasi Nadifa. Saya menangkap respon yang salah itu. Lalu saya larang dia. Dan dia menurut. Tapi lucunya, Nadifa malah ga mau dibaringkan sambil minum susu meski ABD-nya telah saya off-kan. Entahlah, apa dia masih ga nyaman dengan ABD terpasang sambil berbaring. Akhirnya dia nyedot botol itu sambil duduk dan sambil angguk ke atas untuk menenggak susunya dan ke depan untuk nonton TV
.

Rencana ke depan setelah sesi habilitasi gratis, ya kami harus habilitasi sendiri dulu di rumah. Dan Nadifa juga sepakat akan kami sekolahkan juga di pagi hari agar selalu ABD-nya terpasang. Kasihan juga sebenarnya pagi sekolah, siang harus sekolah lagi. Sambil kami akan selingi dengan terapi wicara di RS.
Semangat terus ya Nak….
semangat nadifa… tante nita aja bisa…. kamu insya Allah lebih bisa ya nak..
semangat om dokter….
Nita sebenarnya bukan tuna rungu dan memang tidak termasuk definisi tuna rungu tapi cuma gangguan pendengaran… 🙂
Tapi inspirasi dari seorang Nita sangat perlu dicontoh dan menjadikan motivasi bagi kami 😀
Makasih Mba….
dirimuwuh juga akan menjadi orang tua yang menginspirasi dok… insya ALLAH.
gak banyak yang berlapang dada dengan tantangan ini
punya persepsi yg mirip tentang kaca mata, hanya perlu dipakai saat belajar hhee…
nadhifa umur berapa??? hebat mau sekolah mpe 2x
Buat baca-baca bagi yang mau tahu apa itu habilitasi: http://akrab.or.id/?p=238
aaamiiin… 😀
sangat memotivasi
Iya. Namun kacamata tidak perlu proses habilitasi. Sekali pake langsung bisa lihat jelas. Sedang alat bantu dengar perlu proses panjang paling cepat 1-2 tahun….
Umur Nadifa sekarang 2 tahun 2 bulan
Ya, dipaksa harus sekolah, karena keadaan. Justru dengan pagi bersekolah dia bisa lebih banyak belajar dan bersosialisasi. Dan sebelum berangkat ke sekolah siangnya, kami harap dia bisa tidur dahulu. Nah, masalah tidur yang ga bisa dipastikan ini yang menjadi dia kadang sering absen di sekolah siangnya. Atau saat ngantuk-ngantuk-nya dia bisa tertidur di kursi belajarnya, hahaha… Nah, sekolah pagi itu kami harap dia bisa lebih teratur jam tidurnya.
Sudah ada kemajuan berarti dong ya? Tunggu sebentar lagi, disabari aja pak, pasti lama-lama dia terbiasa juga.
gayanya kalem begini
senangnya nadifa sudah mau pakai alat. Pas minum susu sayang kalau dioffkan, padahal bisa diajak ngobrol bisa tentang susu yang diminum maupun hal yang lain
belum terlalu brarti Bu, tapi dari penterapis bilang jelas ada kemajuan 🙂
gayanya aja sih, pas aja fotonya diem, yang ini baru sedikit reseh, ada lagi sih… ga ketangkep kamera, hehe…
Baru bisanya begitu Bu, hehe… maksud saya klo dia mau tiduran ya ga papa karena udah capek bermain. Biar ga bersuit-suitan ABD-nya (ada ga sih merek yang ga bunyi?) tapi malah ga mau tiduran. Dan memang akhirnya ya di-on-kan lagi. Memang masih harus diawasi terus, klo cuma diawasi sama pembantu ga bertahan lama itu ABD-nya. Jam minum susu ini memang yang masih agak sulit, lengah sedikit, ABD pasti udah copot…
kami seperti mulai dari nol lagi Bu pembiasaannya, dulu udah sempat mulai terbiasa, lalu sakit flu 2 minggu, dan ngambek benar ga mau pake, karena mungkin sakit kali ya (kata Mas Arnold begitu, memang sakit, dan ga usah dipaksakan…)
kata roza memang gak nyaman pakai ABD kalau sedang flu. Repotnya ya gitu, mesti mulai dari awal lagi buat pembiasaan pake. Alatnya roza selama earmould pas, gak bunyi pas tiduran.
nadifa bongsor ya mas dodo, terlihat lebih besar dari usianya…*Oot..
brarti benar ya, ga nyaman…
Sebenarnya alatnya sudah diseting sangat minimal feedbacknya, apalagi pake earmold yang baru ini, meski kurang slim kata Mas Arnold. Pake tangan pun klo saya mau tes harus ndekatin kuping apa udah on atau belum…. memang belum dicoba on waktu tiduran. Lah, memang belum mau tiduran klo pake pake ABD…hehe. Tapi klo naik motor pake helm ya di off-kan, karena saya pun ga bisa dengar feedbacknya, tapi klo cuma pake tutup jaket di kepalanya sih, ga dimatikan, dan ga feedback. Kelihatan sekali Nadifa bereaksi klo dengar suara kendaraan…
Iya, Mba
bongsor, bentar lagi kakaknya kalah tinggi deh…
yak, yang semangat ya sayang.. Nadifa bisa :)) mak sama babenya juga pasti akan seribu kali lipat lebih semangat pastinya 😀
Semangaaat!
Eh.. Nadifa sama besar sama kakak Ifa ya.. 🙂
aamiin, makasih Mba Lies 😀
Iya, Mba…
Ifa tumbuhnya horizontal alias menggemuk, klo Nadifa tumbuhnya vertikal alias melangsing, haha…
sik mas, saya belum sempet baca2 tentang habilitasi niy
jadi nanya aja di sini, sebenarnya itu proses untuk membiasakan anak untuk menggunakan alat bantu dengar bukan mas ? indikasinya apa ya mas untuk mengetahui bahwa ABD-nya berfungsi dengan baik ?
unyuu… anaknya pak dokter imut juga ternyata :3
semangat dhifa… dhifa pasti bisa 😀
saya coba menjawab dari referensi yang ada, nanti bisa dikoreksi sama para ortu di sini…
Habilitasi pendengaran (memberikan fungsi pendengaran yang seharusnya dimiliki seseorang) ditujukan utk bayi/anak yang belum memiliki kemampuan/pengalaman mendengar sebelumnya.
Dilakukan bila sudah dipastikan mengalami ketulian. Program ini berupa (1) amplifikasi (memperkeras input suara) misalnya melalui berbagai pilihan alat bantu dengar (hearing aid) bila tidak berhasil perlu dipertimbangkan implantasi koklea (memasukkan kabel elektroda ke dalam rumah siput/koklea, melalui operasi). (2) Auditory training (latihan mendengar) dan (3) Latihan Wicara (pilihan: Speech therapy, Auditory Verbal Therapy, Sensory Integration).
Hasil habilitasi tentu bisa dilihat dari perkembangan bahasa anak. Untuk setiap jenis tahapan berbahasanya. Saya pake sebuah referensi ahli, Myklebust membagi tahap perkembangan bahasa berdasarkan komponen ekspresif dan reseptif sebagai berikut:
Lahir – 9 bulan : anak mulai mendengar dan mengerti, kemudian berkembanglah pengertian konseptual yang sebagian besar nonverbal.
Sampai 12 bulan : anak berbahasa reseptif auditorik, belajar mengerti apa yang dikatakan, pada umur 9 bulan belajar meniru kata-kata spesifik misalnya dada, muh, kemudian menjadi mama, papa.
Sampai 7 tahun : anak berbahasa ekspresif auditorik termasuk persepsi auditorik kata-kata dan menirukan suara. Pada masa ini terjadi perkembangan bicara dan penguasaan pasif kosa kata sekitar 3000 buah.
Umur 6 tahun dan seterusnya : anak berbahasa reseptif visual (membaca). Pada saat masuk sekolah ia belajar membandingkan bentuk tulisan dan bunyi perkataan.
Umur 6 tahun dan seterusnya : anak berbahasa ekspresif visual (mengeja dan menulis).
Tapi untuk diketahui, di atas adalah tahapan perkembangan bahasa untuk anak yang normal pendengarannya dari lahir. Sedangkan anak tuna rungu prosesnya dimulai dari saat dia mulai konsisten memakai alat bantu dengar dan mengikuti sesi terapi habilitasi.
terimakasih motivasinya Mas 🙂
pakdok, adik saya sekolah di don bosco wonosobo. lumayan dia bisa mandiri dan komunikasinya bagus ( tanpa bahasa isyarat ) dia bisa komunikasi dengan membaca bibir lawan bicara..
untuk yang perempuan namanya Dena Upakara. sayangnya, sekolahnya katolik..
hiks
tapi, sepertinya nadifa masih bisa dibantu dengan ABD, kalo adik saya memang sudah total, hanya bisa merasakan getaran suara, jadi kalo pake AbD katanya tidak dengar apa2..
Iya, tapi kan jauh, di Jogja juga ada kok, dan Nadifa sudah sekolah di situ 🙂 namanya: http://karnnamanohara.wordpress.com/
terus gak bisa denger adzan gitu ?
Pasti jadi lebih cepat pintar dibanding Kakak Menur dulu, ya 😉
Semangat terus ya, Dik 🙂
Kok earmoldnya kelihatan longgar ya? Nggak feedback, kan?
Semangat ya. Semoga mas Wid senantiasa diberikan kesabaran…
*keselek biji rambutan*
kalo memang kidal, bisa ya dok, dialihkan dengan jalan membiasakan pake tangan kanan?
Nadifa pasti memiliki kelebihan tinggal bersabar dalam menggalinya.
semangat pak dok. Semoga punya lebih banyak waktu luang buat nadifa, biar proses belajarx lebih mudah buat dia.
tuna rungu ya harus pake ABD untuk dengar azan, itu pun masih harus lama untuk pembiasaan, kapan bisa mengerti itu suara azan atau bukan….
Ga feedback kok, memang itu sedikit kesalahan Bu, kurang slim, tapi lebih mudah memasangkannya karena lebih soft dan bagian yang masuk ke dalam telinga lebih panjang, jadi cukup coma menekan ringan bagian yang bawah aja, udah ga feedback.
Makasih Mas 🙂
katra gurunya bisa, saya kira juga bisalah, hehe….
iya Pak, hehe…
saya sangat berharap saya lebih bisa punya waktu, namun yah…beggitulah… 😦
ah, anak yg luar biasa. orang tuanya tentu juga sangat luar biasa..
semangat ya nak, semoga semangatmu menginspirasi kami2 semua. 🙂
Ah, tapi kasian kalo emang kidal…
Gak papa ah kalau kidal 🙂 di Amrik banyak yg kidal dan tetap sukses kok 🙂
Well since kita di timur, ya mungkin kalau salaman atau mengambil/menerima sesuatu musti diajarin tangan kanan sih. Pelan2 dikasi taunya…
Smangat yaaaa
Mas Widodo, saya sharing tentang perjuangan orangtua yang mempunyai anak profoundly deaf hingga mampu menembus keterbatasan, disini:
http://fightforfreedom.multiply.com/journal/item/74/Melawan_Belenggu_Keterbatasan_3_Duniaku_Tidak_Lagi_Sunyi
Semoga menginspirasi.
is ok nanti terbiasa.juga bisa tumbuh normal.adek bungsuku tuli total.sekarang juga bisa kerja,jualan baju, jahit baju.juga kemana mana sendiri.
telat nih silaturahimnya, gpp ya, hehehe
sy pny murid yg kidal, gpp kok. Utk kegiatan menulis, menggambar, atau apapun biarkan sj, justru melatih dua tangannya bekerja. kalo utk salaman dan makan, bru diajarin/dibilangin pelan2. Dan rata2 anak kidal cerdas lo!
Salam sun utk dek Nadifa 😉
Saya menyimak detail proses habilitasi-nya Nadifa. Benar-benar dibutuhkan pendampingan dg sentuhan yg baik tentunya, plus kesabaran yg luar biasa dari orang tuanya.
Semoga berhasil dg baik, mas Widodo.
salam kenal pak Widodo, semoga habilitasi Nadifa makin menunjukkan kemajuan
mau urun saran soal kidal vs kadil (bahasa saya utk yg nganan)
saya pernah baca artikel, kalau anak kidal sebaiknya tidak dialihkan menjadi anak kanan.
anak kedua saya kidal, menulis, menggambar, main bulutangkis, pegang ipad.
dan kecuali makan pakai kanan dan basuh buang air pakai kiri.
Terimakasih Mas Agus, semoga kami bisa… 🙂
ya ga papa sih…
kami sangat berharap begitu Mba Tika… makasih udah support… 🙂
Iya Mba suklma, sekarang udah seimbnag kiri dan kanan….
kami masih mencari guru private yang tepat Pak…. trimakasih dukungannya…
ini memang agak sulit, kami dan guru-guru memang masih sering bertentangan….
replika bapak nya ini wajah si cah ayu…..
ya masa' replika wajah tetangga 😀
emang kalo kidal nggak boleh ya di sekolah ?
Hikz anak keduaku jg kidal, saya dan bapaknya sih gak masalah, begitu jg di sekolah sini.
Kalo di jogja gimana ya ? nggak tau jg reaksi sodara dan lingkungan sekitar nantinya.
Harus banyak ngasih pengertian kayaknya ya
ya ga masalah sih klo di sekolah, gurunya aja yang reseh, hehe…
Jogja juga ya?