Diposkan pada hobby, jalan jalan, kucing, livinginjogja, makanan, wisata

Kafe Kucing di Jogja


P60206-202134Akhirnya Jogja mempunyai kafe kucing juga. Mungkin pemiliknya terinspirasi dari kafe kucing yang sebelumnya telah ada di Jakarta dan Bandung serta negara lain seperti Jepang dan Amerika. Bagi penggemar kucing seperti saya, dan anak-anak saya, ini merupakan hiburan tersendiri, di tengah kesulitan untuk mengadopsi kucing di rumah sendiri. Selain ibu anak-anak tidak menyukai hewan berbulu ini, juga merasa kasihan karena di rumah suka tidak ada orang. Pernah kejadian anak kucing yang sempat diadopsi sama anak saya yang pertama, “melarikan” diri karena merasa mungkin ga diasuh dengan baik, meski pun makanan dan minuman dipenuhi, namun kebutuhan kucing tidak itu saja, dia butuh bermanja-manja dengan pemiliknya.

Saya beserta adik-adik saya dan ortu penggemar kucing. Pernah mempunyai 17 ekor kucing dalam waktu bersamaan. Karena punya induk 3, sekali lahiran berbarengan. Masih ingat tingkah mereka kalau lonceng makan tiba, pada balapan lari ke lokasi tempat makan disediakan. Sepertinya ini sudah menjadi kegemaran turun-temurun ya, mbah dan nenek saya pun suka memelihara banyak kucing. Nah, kafe kucing ini saya sendiri mengapresiasi karena kucingnya juga terawat dengan baik, pengunjungnya juga merasa nyaman dan tidak takut akan tertular penyakit.

Saya ingat sudah sekitar 5 kali berkunjung ke kedua kafe kucing ini. Di sini selain kita bisa berinteraksi dengan berbagai jenis kucing yang lucu-lucu dan menggemaskan, juga bisa menikmati sajian yang disediakan, terdiri dari makanan seperti sosis bakar, roti bakar, es krim, jus, kopi, susu kocok, makaroni, pisang, kue durian, dsb. Harganya lebih mahal sedikit dari jajanan di warung biasa, ya wajarlah saya kira karena butuh biaya mahal juga untuk melakukan perawatan pada kucing-kucing tersebut.

Pertama tahu ada kafe kucing karena anak saya yang pertama dapat info dari teman sekolahnya tentang kafe ini, lalu hasil browsing di internet, ketemulah alamatnya, yaitu di Miaw Shake Cat Coffee, Jalan Masjid Kuncen (area sebelah utara Pasar Klitikan), No. 25, Jogja. Bukanya dari pukul 16.00 sampai 22.00. Pertama kali ke sini memang kesannya kurang nyaman, keluar bau pesing dari kotoran kucing, AC dan lampu suka mati karena sepertinya daya listriknya ga kuat, kali berikutnya datang sudah tidak mencium bau-bau aneh, tapi listrik ya masih suka mati. Yah, maklumlah mungkin pemiliknya belum punya modal lebih untuk mencari lokasi yang lebih representatif. Satu lagi kafe kucing, berada di antara Komplek UGM dan UNY, tepatnya Jl. Bougenville (Selokan Mataram), nama kafenya Cats and Coffee. Kesannya kafe ini lebih bagus dan bersih, meski pun tempatnya juga sempit, namun variasi jenis kucingnya lebih banyak mulai dari kucing berkaki pendek yang sangat interaktif berjenis langka seperti Munchkin, kucing raksasa jenis Maine Coon, kucing tanpa bulu (benarnya ada bulu tapi tipis banget kayak karpet) yaitu jenis Sphinx, dan sisanya yang terbanyak ras Persia.

Anak-anak akan senang sekali berada di kafe ini karena juga disediakan tools untuk bermain dengan kucing. Meski pun kucing-kucing ini boleh dielus-elus, namun sangat tidak dianjurkan untuk mengangkat, meneriaki, menarik ekor, mengambil foto memakai lampu kilat, memberi makan (kalau saya kadang ngasih makan juga sih dari makanan yang dibeli, hehehe, karena kok kelihatannya ada yang masih lapar….)

Demikian saja tulisan sekilas tentang kafe kucing di Jogja. Silakan yang tertarik ke sana. Tipsnya kalau ga punya cukup uang, dari rumah sudah makan dulu yang kenyang, jadi pesan makanan dan minuman minimalis saja sebagai basa-basi. Meski pun untuk kafe di daerah Kuncen wajib memesan menu makan/minuman sejumlah orang yang masuk ke dalam kafe tersebut. Dan satu lagi, jangan lupa untuk mengabadikan momen-momen yang tak terlupakan di kafe-kafe itu ya…

Salam.

Diposkan pada jalan jalan, livinginjogja, wisata

Serial Wisata – Pantai (Mistis) Ngobaran, Gunung Kidul



Indah sangat toh….

Sudah lama ga berwisata rame-rame ke pantai. Alhamdulillah, pada akhir tahun ini saya bisa 2 kali ke wilayah paling selatan dari Kabupaten Gunung Kidul untuk kembali menjelajahi wisata pantainya. Salah satunya Pantai Ngobaran ini. Menurut cerita dari mulut ke mulut, asal kata “Ngobaran” adalah dari Terbakar, yaitu peristiwa membakar diri seorang raja Majapahit.
Cerita lebih lanjut mengenai Pantai Ngobaran nan indah ini bisa baca di:
Diposkan pada jalan jalan, kesehatan, kontemplasi, livinginjogja

Belanja cerdas dan sehat, perlukah?


Kurang dari seminggu yang lalu, anak pertama nginap di rumahku. Di suatu hari aku ajak dia main ke Indogrosir yang cuma 1 kiloan meter dari rumah. Yah, sekadar ngajak jalan-jalan nyoba arena bermain anak yang masih baru dan rencana beli-beli baju dan makanan buat dia. Ternyata Ifa, anakku itu, benar-benar sudah didoktrin baik sekali oleh mbah dan budenya, supaya jadi anak yang manis, ga royal klo diajak jalan-jalan. Alhasil ketika belanja makanan dia cuma milih (itu pun ditawarin) nata de coco dan semacam roti kenyal mini mirip permen berbentuk pizza. Habisnya klo ga salah cuma 4 ribuan rupiah.

Bukan itu yang mau aku bicarakan. Tapi adalah hal yang membuat aku rada senewen  bin heran karena mengantri cukup lama di kasir, gara-gara di depan kami sudah ngetem seorang ibu dengan belanjaan seabrek-abrek. Ga masalah sih sebenarnya klo mau belanja sebanyak apa pun yang dia mau. Cuma yang menarik perhatianku, itu ibu belanjanya cuma snack-snack instan model chitato dan sebangsanya. Beberapa kali sebenarnya aku amati cukup banyak konsumen di swalayan besar yang belanjaannya model begitu.

Tapi yang ini aku perhatikan, lumayan luar bisa. 2 kerangang dorong (troli) penuh dengan berbagai macam snack seperti itu saja. Aku kira dia pedagang, tapi aku ga yakin secara klo pedagang kan belinya kardusan dan hanya beberapa jenis saja. Tapi ini…? mungkin puluhan jenis merek dengan beberapa bungkus saja per item mereknya… Mungkin itu cemilan buat 1/2 tahun kali yah, atau mungkin cuma 1 minggu saja, entahlah…

Yang aku heran, mengapa dia hanya memilih makanan seperti itu yang sebenarnya tidak sehat kalau dikonsumsi dalam jumlah berlebih, ya dasar orang kaya, ga mikir dampaknya yang penting enaknya aja kali… Mana aku perhatikan secara fisik ibu itu juga hancur-hancuran, memang sih rada menor tapi malah hancur gitu penampilannya, kulit udah jelek, muka udah keliatan jauh lebih tua, apa kebanyakan makannya cuma kayak-kayak gitu aja kali ya…

Tahu ga berapa habisnya duit buat 2 troli snack-snack itu? hampir 800 ribu rupiah!!

Pic dari sini

Diposkan pada jalan jalan

Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta


Waktu ke Jakarta kemarin saat mau melihat dan merawat anakku yang sakit, ga terlalu terlihat kecanggihan terminal 3 ini. Tapiii, pas mau pulang ke Jogja, baru deh kerasa suasana OK-nya. Desain minimalis, futuristik, serasa bukan di Indonesia :-b

Katanya terminal ini bisa menampung 20 juta penumpang!

Diresmikan 28 April 2009 oleh Presiden SBY.

Sampai saat ini baru ditempati oleh Low Cost Carrier yaitu Air Asia dan Mandala. Harusnya segera penerbangan lain pindah ke terminal ini, biar lebih nyaman 🙂

T3 dibangun di atas lahan seluas 30.000 meter persegi dan menelan biaya Rp285 miliar.

Rencananya terminal ini terdiri atas satu bangunan utama dan lima sub-terminal (pier), masing-masing sub-terminal dapat menampung kurang lebih 4 juta penumpang per tahun. Tiap pier dikembangkan sebagai modern village bernuansa mal dengan meeting point dimana penumpang yang sudah check-in dan belum naik ke pesawat masih dapat berkumpul dengan pengantarnya.

Referensi:
http://www.jalanjajanhemat.com/2010/10/terminal-3-soekarno-hatta/
http://anjari.blogdetik.com/2010/05/06/terminal-3-yang-modern-dan-ramah-lingkungan/
http://www.adhi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=182:terminal-3-of-soekarno-hatta-airport-&catid=115:featured-project&Itemid=69&lang=ind

Diposkan pada jalan jalan, travelling

Pulang kampung setelah 5 tahun ga pulang, bagian I


Lebih dari 2 bulan yang lalu kami sudah merencanakan untuk pulang kampung besar-besaran sekeluarga ke Pekanbaru, Riau. Tepatnya kampung halamanku. Masalah yang ada tidak sesederhana yang diduga. Setelah pesan tiket pesawat PP, ternyata bulan November ini Gunung Merapi meletus. Namun itu tidak memadamkan tekad yang sudah bulat. 5 tahun aku belum pulang kampung sejak menikah dan sejak anak-anak lahir. Belum tentu juga tahun depan akan bisa menyediakan waktu dan uang buat pulang.

Dengan sistem relasi sekarang, dipisahkan dari 3 tempat yang berbeda. Anak pertama di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Aku di Sleman, Yogyakarta, dan istri serta anak kedua di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jadi keberangkatan dilakukan secara estafet. Pertama, anak pertama (Ifa) diantar oleh iparku ke Jogja. Lalu, dari Jogja aku membawa Ifa ke Jakarta naik kereta api yang aku pesan mendadak, dan alhamdulillah masih dapat gerbong cadangan eksekutif satu-satunya yang harga tiketnya hampir menyamai tiket pesawat. Bandara Adi Sucipto masih ditutup dan tiket sudah di-refund, namun tetap harus mengurus di Cengkareng saat check-in di sana.

Sampai di Cengkareng, ketemu dengan istri dan anak kedua (Nadifa) yang sudah menunggu untuk check-in. Stresor untuk ketiga kalinya terjadi di sana setelah sebelumnya sempat stres dengan antrian panjang di Adi Sucipto dan Stasiun Tugu. Untunglah pesawatnya telat…hhhh…baru sekali ini agak senang kalau pesawat telat.

Alhamdulillah, Ahad siang, 7 November sekitar pukul 14 lewat kami sampai di Bandara Sultan Syarif Qasim II, Pekanbaru, Riau. Masih was-was juga, karena katanya taksi Pekanbaru termahal di Indonesia, jarak 3 km saja bisa bayar 30 ribu. Ternyata engga (mungkin sudah diperbaiki oleh pemda). Sampai rumah kena 70 ribu yang berjarak kira-kira 15 km dari bandara.

Karena kami memang merencanakan pulang kampung ini sebagai kejutan tanpa memberi tahu siapapun selain keluarga di Gombong, maka pertemuannya menjadi heboh sekali dan penuh keheranan, hehehe. Kami di sambut oleh adik-adikku yang ternyata lengkap ada di rumah dengan anak-anaknya, serta bapak dan mamaku…senangnya membuat mereka terkejut dan gembira….

Di Pekanbaru kami stay selama 1 minggu, tidak banyak tempat yang kami bisa kunjungi (entar aku buatin jurnal buat lokasi jalan-jalannya) karena fokus silaturahim, ngobrol ngalor-ngidul, dan ngurus anak yang mendadak menjadi sangat manja alias rewel, mungkin situasi baru, tapi mereka cepat akrab kok sama siapa saja 😉

Nah, Hari Ahad berikutnya, tanggal 14 siang kami cabut kembali ke Jakarta, dan tiket ke Jogja juga sudah di-refund karena ternyata bandara masih tutup. Sampai di Jakarta langsung cabut ke Gambir naik Damri. Wah, ternyata di Gambir sudah penuh antrian tiket. Parah benar situasinya dan kami sangat stres di sana, karena selain menjaga anak, kami sendiri energinya terkuras karena belum makan. Antrian selama 3 jam belum dibuka-buka dengan alasan menunggu kepastian penambahan gerbong cadangan serta perbaikan dan pemeriksaan kereta api di Manggarai.

Mendekati jam 21, kami memutuskan untuk memesan tiket untuk besok pagi saja. Ternyata yang langsung ke Jogja juga sudah habis, bahkan yang malamnya juga sudah habis, tinggal sebuah kereta eksekutif yang mahalnya minta ampun, 300 ribu per orang, padahal kami butuh 4 kursi. Aku stres sendiri sambil menggendong Ifa yang beratnya, minta ampun, hehehe, mana dia minta susu dan kecapean, jadi ngaso dan tidur sebentar nggelosor di lantai. 15 menit aku ngantri lagi dan tanya ke petugas kereta apa aja yang kosong untuk besok malam. Alhamdulillah masih ada Sawunggalih Utama, meskipun cuma sampai Gombong (perhentian terakhir sampai Kutoarjo). Tanya yang eksekutif ternyata cuma tinggal 3 kursi, akhirnya pesan yang bisnis saja. Dan akhirnya bisa lega dapat tiket meski harus telat 1 hari. Selanjutnya kami transit dulu di kontrakan istri di bilangan Ragunan, mengumpulkan tenaga untuk keberangkatan Senin malam. Jadilah hari Senin kami jadikan untuk menyortir ulang bawaan, dijadikan 1 koper saja, menyuci pakaian, dan main ke Kebun Binatang Ragunan….

Syukurlah akhirnya kami bisa sampai ke Gombong, dan Selasa siang aku cabut ke Jogja naik bis, sendirian saja karena cuti istri masih 1 minggu lagi, dan lebih baik di Gombong saja mengingat situasi di Jogja belum pasti dan kasihan kalau ditinggal-tinggal nantinya.