Diposkan pada jalan jalan, travelling

Pulang kampung setelah 5 tahun ga pulang, bagian I


Lebih dari 2 bulan yang lalu kami sudah merencanakan untuk pulang kampung besar-besaran sekeluarga ke Pekanbaru, Riau. Tepatnya kampung halamanku. Masalah yang ada tidak sesederhana yang diduga. Setelah pesan tiket pesawat PP, ternyata bulan November ini Gunung Merapi meletus. Namun itu tidak memadamkan tekad yang sudah bulat. 5 tahun aku belum pulang kampung sejak menikah dan sejak anak-anak lahir. Belum tentu juga tahun depan akan bisa menyediakan waktu dan uang buat pulang.

Dengan sistem relasi sekarang, dipisahkan dari 3 tempat yang berbeda. Anak pertama di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Aku di Sleman, Yogyakarta, dan istri serta anak kedua di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jadi keberangkatan dilakukan secara estafet. Pertama, anak pertama (Ifa) diantar oleh iparku ke Jogja. Lalu, dari Jogja aku membawa Ifa ke Jakarta naik kereta api yang aku pesan mendadak, dan alhamdulillah masih dapat gerbong cadangan eksekutif satu-satunya yang harga tiketnya hampir menyamai tiket pesawat. Bandara Adi Sucipto masih ditutup dan tiket sudah di-refund, namun tetap harus mengurus di Cengkareng saat check-in di sana.

Sampai di Cengkareng, ketemu dengan istri dan anak kedua (Nadifa) yang sudah menunggu untuk check-in. Stresor untuk ketiga kalinya terjadi di sana setelah sebelumnya sempat stres dengan antrian panjang di Adi Sucipto dan Stasiun Tugu. Untunglah pesawatnya telat…hhhh…baru sekali ini agak senang kalau pesawat telat.

Alhamdulillah, Ahad siang, 7 November sekitar pukul 14 lewat kami sampai di Bandara Sultan Syarif Qasim II, Pekanbaru, Riau. Masih was-was juga, karena katanya taksi Pekanbaru termahal di Indonesia, jarak 3 km saja bisa bayar 30 ribu. Ternyata engga (mungkin sudah diperbaiki oleh pemda). Sampai rumah kena 70 ribu yang berjarak kira-kira 15 km dari bandara.

Karena kami memang merencanakan pulang kampung ini sebagai kejutan tanpa memberi tahu siapapun selain keluarga di Gombong, maka pertemuannya menjadi heboh sekali dan penuh keheranan, hehehe. Kami di sambut oleh adik-adikku yang ternyata lengkap ada di rumah dengan anak-anaknya, serta bapak dan mamaku…senangnya membuat mereka terkejut dan gembira….

Di Pekanbaru kami stay selama 1 minggu, tidak banyak tempat yang kami bisa kunjungi (entar aku buatin jurnal buat lokasi jalan-jalannya) karena fokus silaturahim, ngobrol ngalor-ngidul, dan ngurus anak yang mendadak menjadi sangat manja alias rewel, mungkin situasi baru, tapi mereka cepat akrab kok sama siapa saja 😉

Nah, Hari Ahad berikutnya, tanggal 14 siang kami cabut kembali ke Jakarta, dan tiket ke Jogja juga sudah di-refund karena ternyata bandara masih tutup. Sampai di Jakarta langsung cabut ke Gambir naik Damri. Wah, ternyata di Gambir sudah penuh antrian tiket. Parah benar situasinya dan kami sangat stres di sana, karena selain menjaga anak, kami sendiri energinya terkuras karena belum makan. Antrian selama 3 jam belum dibuka-buka dengan alasan menunggu kepastian penambahan gerbong cadangan serta perbaikan dan pemeriksaan kereta api di Manggarai.

Mendekati jam 21, kami memutuskan untuk memesan tiket untuk besok pagi saja. Ternyata yang langsung ke Jogja juga sudah habis, bahkan yang malamnya juga sudah habis, tinggal sebuah kereta eksekutif yang mahalnya minta ampun, 300 ribu per orang, padahal kami butuh 4 kursi. Aku stres sendiri sambil menggendong Ifa yang beratnya, minta ampun, hehehe, mana dia minta susu dan kecapean, jadi ngaso dan tidur sebentar nggelosor di lantai. 15 menit aku ngantri lagi dan tanya ke petugas kereta apa aja yang kosong untuk besok malam. Alhamdulillah masih ada Sawunggalih Utama, meskipun cuma sampai Gombong (perhentian terakhir sampai Kutoarjo). Tanya yang eksekutif ternyata cuma tinggal 3 kursi, akhirnya pesan yang bisnis saja. Dan akhirnya bisa lega dapat tiket meski harus telat 1 hari. Selanjutnya kami transit dulu di kontrakan istri di bilangan Ragunan, mengumpulkan tenaga untuk keberangkatan Senin malam. Jadilah hari Senin kami jadikan untuk menyortir ulang bawaan, dijadikan 1 koper saja, menyuci pakaian, dan main ke Kebun Binatang Ragunan….

Syukurlah akhirnya kami bisa sampai ke Gombong, dan Selasa siang aku cabut ke Jogja naik bis, sendirian saja karena cuti istri masih 1 minggu lagi, dan lebih baik di Gombong saja mengingat situasi di Jogja belum pasti dan kasihan kalau ditinggal-tinggal nantinya.

67 tanggapan untuk “Pulang kampung setelah 5 tahun ga pulang, bagian I

  1. kacamatamuuu itu lho ifaaa.. Keren bgt. Xixixi Adekny jg gaya rambutny lucu, kyk dedi kobusyer.. Alhamdulillah bs berjumpa dg kluarga, meskipun sebentar n penuh perjuangan..

    *menanti lanjutan*

  2. iya, kesana harus bawa oleh-oleh Jogja, nyangui obat dan konsultasi, nyangui macem-macemlah, biasalah, hehe…pulang juga begitu, bawa banyak oleh-oleh Pekanbaru juga tapi kok ya ga cukup juga 😦

  3. ada tiga sebenarnya kacamatanya, ga tahu kok dia suka yang itu…hehe…

    adiknya Ifa memang rada ajaib rambutnya, pusaran rambutnya aja di depan loh, kata mamaku: nanti udah besar punya kelebihan tertentu, ah masa sih…hehe….

  4. paling lucu klo dia pake buat liatin anak-anak lain, pada dipelototin, tapi dia nyante aja dibalik kacamata itu, haha…. itu pas mau pergi keluar aja, dia udah ngerti klo diluar sinar mataharinya ganas, jadi harus pake yang agak gelap….

  5. wkt di Indo jg aku cuman matrasnya, dipan di lepas. Di Sydney jg begitu, meski lantai kami karpet tebal, msh pake matrass doang, krn tidurnya suka sambil ngeluarin jurus KUNGFU

  6. ngantrinya ngalahin rebutan tiket mudik lebaran ya mas ?
    nggemesin banget deh liat pelayanan KAI
    yg kemaren ada KA anjlog di indramayu aja, banyak penumpang KA lain tertahan di tengah sawah, perjalanan 28jam jkt-jogja
    dan gak ada kompensasi apa2 dari KAI, gimana siy ?

  7. sepertinya mba, soale kan dadakan semua, ketiban dari bandara. KAI itu memang banyak pelayanannya bukan hanya kereta api saja dan mungkin anggaran ga mencukupi, entahlah, maklum…lagi-lagi maklum….

  8. Mas Dodo, maaf ini saya mbak Julie juga cuma datang dari rumah yang lain.

    Iya saya tahu Gombong karena saya dulu suka ke Purbowangi ngantar-jemput yang momong anak-anak mbakyu saya. Tapi dulu di tahun 70-an.

    Jangan-jangan tetanggaan dengan mas Dodo hehwehe…………

  9. Wah, Bu, klo pake headshot MP yang ini saya udah familiar deh 🙂

    Iya, RS Purbowangi memang di Gombong ke arah sebelum Tambak, Banyumas.

    Mertua saya di Jl. Karangbolong, arah daerah wisata Karangbolong….

  10. Oh mas Dodo mengenali wajah si biyung bundel kalo lagi kelayapan dari senthonge tha? Waduh lha iya jadi malu.

    Kampung nenek moyang saya sih di sekitar Pantai Petanahan. Salam persahabatan buat jeng Dodo ya.

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.