

Sudah bukan rahasia lagi bahwa dokter yang menjalankan praktiknya (karena ada juga dokter yang ga praktik) selalu berurusan dengan obat. Nah, obat-obat ini (apalagi di Indonesia) banyak banget jenisnya, istilah kerennya sediaan spesialistisnya bejibun. Untuk obat dengan komposisi Parasetamol saja (penurun panas) ada ratusan merek dagang. Tentu saja dengan variasi harga yang berbeda. Aku memang tidak membantah kalau ada yang mengatakan, secara praktis ternyata sediaan spesilistis ini berbeda khasiatnya dibanding generik, walaupun di iklan TV dulu digembargemborkan mengenai khasiat obat generik sama aja dengan obat bermerek.
Tapi bukan masalah khasiat yang akan aku bicarakan tetapi lebih kepada strategi promosi dan penjualan obat-obat spesialistis (non-generik) tersebut.
Menurutku dokter memang sulit terlepas sebagai target promosi oleh medical representative (MedRep, mirip dengan SPG-lah = sales promotion girl). Karena dokter (maupun apoteker) merupakan ujung tombak penjualan obat dari pabrik pembuatnya. Namun, yang amat disayangkan ialah, persaingan kuat antar pabrik obat membuat para MedRep cukup dibuat pusing, mereka diberi target oleh perusahaan untuk “mengumpulkan” tandatangan para dokter. Nah, yang paling susah, ketika sang MedRep ga “kuat” alias ga sabaran ketika bertemu dokter yang idealis atau sangat susah ditemui karena sibuk, padahal deadline pengumpulan daftar tandatangan sudah di depan mata. Jadilah sering ada tandatangan dokter yang dipalsukan. Selain itu, para MedRep ini juga terkadang (tidak semua), terutama MedRep perempuan, memberikan bonus berupa dirinya, mulai dari senyum manisnya bahkan bisa sampai seperti yang dilakukan oleh lady escort (pada tahu kan…??)
Aku tidak menyalahkan apa yang MedRep lakukan. Semuanya berpulang ke pada si dokter sendiri, kalau dia kuat iman tidak akan tergoda dengan berbagai cara yang sudah di luar batas itu.
Beberapa waktu lalu aku sempat dicurhati adik kelas yang masih koas (mahasiswa profesi dokter), tentang seorang guru kami, staf sebuah RS terkenal, yang dengan santainya mengatakan: “Kalau tidak karena obat-obat itu (atau kalau tidak karena MedRep dan pabriknya), mana mungkin saya dan keluarga bisa jalan-jalan ke luar negeri? So, jangan anggap remeh obat obat itu!”
Dulu pun ketika aku masih koas, banyak sekali “guyonan” tentang gimmick (baca: strategi/muslihat bonus) oleh pabrik obat ini. Ada staf pengajar ditempatku yang ngomong sambil tertawa: “Dik, tahu ga..klakson mobil saya itu bunyinya C**do..C**do” (bukan tin..tin atau tet..tet..). Yang di maksud itu ialah nama sebuah pabrik obat yang memberikan bonus mobil karena si dokter dianggap mampu mencapai target peresepan obat. Yah, target peresepan!, kuncinya di sini. Sehingga menurutku tidak masalah ketika MedRep tidak memberi target peresepan tertentu kepada sang dokter ketika mempromosikan obatnya, misalnya begini: Dok, kalau dokter bisa meresepkan obat kami yang ini, sejumlah batas minimal 100 tablet per minggu, maka nanti dokter dapat bonus kunci mobil…langsung di depan” (maksudnya sih sudah bisa langsung dipake mobilnya). Selain itu aku juga melihat langsung (waktu masih koas juga) pasien yang ditawari sebuah alat kesehatan untuk mengeluarkan cairan dari rongga dadanya. Setelah aku usut, ternyata alat itu dijual oleh seorang dokter bedah senior.
Dari teori yang pernah aku ketahui, ini disebut sebagai Supply Induce Demand, sayang sekali sang konsumen atau pasien buta sama sekali terhadap tindakan, obat, dan alat kesehatan yang ditawarkan kepadanya. Pasien dan keluarganya kalau sudah sakit prinsip utamanya ialah: yang penting sembuh. Bahkan sang dokter justru nakut-nakutin kalau ga pake obat (merek ini) si pasien ga bakalan sembuh. Jadi enak banget toh jadi dokter yang bermental pedagang, hehehe…maksudnya dagang obat kepada pasien.
Wah, serunya lagi kalau sang dokter juga ikut jadi penyemarak dunia MLM (Multi Level Marketing) seperti Ti***hi, K-**nk, dll. Pasti cepat kaya tuh dokter. Kan apa kata dokter dianggap sebagai “sabda dewa penyelamat”.
OK, kembali ke awal tentang dokter yang main mata dengan pabrik obat melalui MedRep-nya. Beberapa waktu lalu, aku sempat didatangi MedRep juga, dia promosi tentang obatnya dengan diakhiri kata-kata seperti biasanya: “mohon dibantu peresepannya buat pasien dokter…” Seperti biasa aku bilang: OK, pasti saya bantu, yang penting obat lebih murah dan cespleng. Iseng juga aku tanya ke MedRep tersebut. “Pabrik obatnya sering menyelenggarakan seminar kedokteran ga?” “Wah, kalau kita belum pernah kok dok…, tapi dokter ada rencana mau ikut seminar? nanti kita bayarin…” Nah..nah.. “OK, boleh ya? ada umpan balik ga kalau saya dibiayai ikut seminar? (si MedRep kayaknya langsung paham). O, engga kok dok, kita ga nargetin apa-apa, silakan kontak saya aja kalau dokter butuh dibiayai ikut seminar…”. “Baik, terima kasih…”
Terus-terang teman-teman…inilah lingkaran syetan yang tersulit untuk dibasmi, kalau dokternya masih waras seperti aku (hehehe…) pasien insya Allah tidak akan terzalimi atau tertipu. Asal si dokter berorientasi kepada kepuasan dan membela hak pasien pasti hal tersebut bisa diminimalisasi.
Terus terang lagi, kondisi yang sulit tetap dialami dokter seperti (ini asumsi kalau dokternya masih waras):
- Kerja di RS, dan belum hapal harga obat (jadi harus bolak-balik tanya harga ke bagian farmasi/apotek). Pernah aku kebobolan obatnya terlalu mahal, sampai si keluarga pasien nanya lagi berapa harga obatnya, ketika mau aku tambah obat lagi (karena indikasi lain)
- Kerja di apotek/klinik, apalagi yang waralaba, dijamin kantong pasien sering kebobolan. Apalagi bos apotek menyaratkan nilai nominal tertentu seperti yang dialami oleh banyak rekan sejawatku ketika kerja di klinik 24 jam. Pokoknya harga obat yang diresepin minimal harus (katakan saja) 20 ribu, kalau kurang dari itu, yah…harus ditambah apa gitu (misal: vitamin, atau merek obatnya diganti dengan yang lebih mahal) agar plafon harga terendah dapat tercapai. Apotek/klinik untung, dokter pusing kepalanya (karena harus tetap bertahan di tempat kerja tersebut), pasien bobol kantongnya…
Posisi kerja yang ideal sebagai dokter menurutku ialah seperti di tempat kerjaku yang lain yaitu di klinik mahasiswa yang dibiayai dengan premi asuransi. Jadi pasien ga peduli apa sakitnya, dia akan dapatkan obat (bahkan obat terbaik sekali pun) tanpa perlu takut dengan harganya. Dokter senang melayani (karena gajinya juga bisa tinggi), pabrik obat juga senang karena obatnya laku keras.
Berikut tips supaya tidak dibobolin kantongnya:
- Bilang ke dokter diresepin obat generiknya aja (kadang dokter jarang menawarkan resep generik. Atau kalau memang tidak ada obat generiknya mohon dicarikan dengan harga termurah tapi berkualitas (untuk hal ini si dokter akan melihat daftar harga obat atau menanyakan ke pihak apotek). Kadang pun kalau sudah diresepin generik, sering juga apoteknya main nakal, obatnya diganti dengan yang mahal.
- Selalulah minta second opinion ke dokter lain, atau baca-baca literatur, jika diberikan obat tertentu, apakah sudah sesuai baik indikasi maupun harganya.
- Kalau dokternya sampai ngomong: “kalau tidak pakai obat merek ini tidak akan sembuh”, atau si dokter tidak mau melayani lebih lanjut…, saranku: minta dirawat dokter lain, pindah ke dokter praktik lain atau apoteklainnya. Tapi kalau ternyata kasusnya kita tidak bisa memilih karena (misal): ternyata cuma ada si dokter tersebut di tempat itu, atau apotek lain jauuuh, yah…sudahlah terimalah nasib itu, berdoalah agar situasi tersebut cepat berubah
Gambar dari sini
Makasih makasih. …. Tulisan yang sangat bermanfaat. Saya print supaya jadi pegangan saya. Saking lebih sering dapet obat mahal, kadang saya bingung/ragu kalau pergi ke dokter dan dapet obat yang murah …. “apa bagus kaga ni obat” Padahal walah murah, sembuh juga tuh penyakit ku …..
pertama mas….
Diagnosisnya dong….
pan kalau memang harus beremerek asal diagnosisnya tepat gak masalah…
masalahnya…
udah diagnosis apa… obat apa… kasih beremerek pulaaaa
TFS
makasih buat tulisannya Do…..
klu aku karena dibayar asuransi kesehatan dari kantor, sejauh ini ndak masalah ya…apa itu obat generik apa bermerek….
tapi klu harus bayar sendiri, mungkin lebih baik minta generik kaley…:p
di sini memang butuh saling pengertian komunikasi antar dokter dan pasien. Ga jarang memang harus ditanyakan ke pasien: “obatnya cukup mahal Bu/Pak, gimana?” Tapi kalau gelagat pasien sudah menunjukkan dia ga bakalan sanggup membayar obat, ya cukuplah obat kelas yang standar saja…
Jelas, memang diagnosis menjadi prioritas nomor satu yang harus dikomunikasikan ke pasien. Tapi untuk situasi Indonesia sangat susah sekali langsung menegakkan diagnosis pasti di awal kunjungan rawat jalan, paling kita hanya bisa menerangkan perjalanan alamiah penyakit dari gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien. Kalau mau diagnosis tegak secara pasti diawal, akan memakan ongkos diagnosis yang mahal sekali…
memang enak sekali jika kita berada dalam sistem asuransi yang baik, berat di awal enak di akhir…
special disease kali mas yang kayak gitu….
banyakan yang sakit khusus apa yang umum hayooo…
masa sih kalau cuma batuk pilek aja harus keluar 4 ratus ribu…
hihiiii
nggak alasan ah… situasi di Indonesia jadi alasan… bisa kok mas… kalau mau diubah….
atau second opinionnya sama dr wid aja ya? *langsung sms* 😉
waktu hamil minta agar suplemen hamilnya di kasih yang generik aja, dokternya bilang2 iya-iya, ternyata bukan obat generik yang dikasih (obatnya masih sama seperti biasa-yang mahal) tapi malah ada tambahan obat pilek. hahahahah (salah denger???)
iya, begitu kok…jelas banyak yg umum dong dokter Ian, yang penting diusahakan dikomunikasikan. Jarangkan pasien yang tanya penyakitnya apa…
Batuk pilek terkadang juga dikategorikan sebagai gejala sakit yang tidak simpel, ya ga? 🙂
Maksudku situasi di Indonesia ialah karena keterbatasan pembiayaan kesehatan yang baik. Sudah mahfum kan di dunia kedokteran, kita terbiasa menggunakan terapi yang tak rasional (seperti pemberian antibiotik) di awal terapi dengan diagnosis yang belum tegak (batuk pilek kan cuma gejala loh….) dengan harapan bisa “kena” persangkaan sebab penyakitnya.
waduh…langsung nodong… 🙂 mohon maaf Pak, kalo pulsa lagi joss sih pasti dibalas, tapi klo nipis dan prioritas buat yg lain, ya jelas ga dibalaslah…hehehe…
Wah..makasih banget infornya Mas Widodo..
Ternyata lumayan mengerikan juga ya praktik penjualan obat disini..:(
Btw.. tapi obat yang merek emang lebih bagus khasiatnya daripada yang generik ya? nuwun
nice tips thanks
nggih…nggih kepanggih, mba (kalo bahasa Jawa-nya) hehehe
pindah dokter aja gih…*provocator mode on**
jadi susah ya… diagnosis penyakit dengan gejala batuk pilek….
hahaaaa
nggak ah mas… di Indonesia tuh… kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah…
masalahnya ya … usaha promotif perventif gak jalan bukan cuma pembiayaan kesehatan yang minim…
banyak penyakit yang gak butuh ke dokter kok mas…
mas… aku nggak mahfum lho…. antibiotik nggak secepat itu perlu dikasih…
sorry ngikut kata ruben: KITA????? LOE AJA KALI GUE NGGAK???
heheee…he…
mas jangan underestimate sama profesi kita dong ah… kalau mau rasional banyak jalannya…. jangan di mahfumi ya…
ya, sama-sama mba De…
menurut para praktisi begitu. Simpelnya bisa dirunut begini aja. Obat generik kan obat subsidi, biasanya sih subsidi untuk bahan produksi tapi tidak di supervisi pembuatan dan pemeliharaan standar dosis dan bahan pengisinya. Artinya obat generik jarang ditera ulang dan pembuatan sering”asal-asalan”. Namanya juga obat untuk “orang miskin”. Selain itu mana ada sales obat generik yang memberikan tawaran-tawaran bonus menarik kepada dokter dan apoteker. So, wajar aja, dokter dan apoteker jadi keblinger mengincar bonus obat non generik.
sama-sama mba…
ooo gitu tho..pengennya sih “sehat terus”..:)
kalo gitu..ini juga yang bikin harga obat jadi melambung ya…????
Jadi inget temen dikantor, dateng ke dokter kantor karena kena flu….flunya belum sembuh kena diare…terus dateng lagi ke dokter kantor…apa kata dokternya…”Bu, obat yang dari saya kemarin dihabisin dulu aja, nanti kita lihat kalo obat udah abis gimana keadaannya…..”
Langsung temenku bingung mendadak…lha sakit diare suruh nyelesaiin obat flu dulu baru liat lagi kondisinya…..wah….keburu dehidrasi dah…..
Dokternya Jaka Sembung Bawa Golok……
bijak ya mas… kalau kasih statement…
maaf lho kalau saya keras….
generik sama bagusnya sama branded!!!!!!
sampe sebegitu ya? asli baru tauuu..
amiin….tapi kan juga harus siap2 kalo sakit…
benar Pak, biaya obat salah satunya jadi melambung karena biaya distribusi dan promosi yang tinggi…
kalo gitu ..bisa dong…mbantu mengurangi melonjaknya harga obat
tentunya harus sepakat dulu nih semua dokter…yaa minimal dokter nggak mengharap klakson mobilnya bunyi c**o c**o
mba…mbak…jangan to the point gitulah. Secara bahan aktif memang sama persis. Tapi yang saya katakan apakah kualitas bahan dan uji teranya bisa dipertahankan?? “Secara etika dan keilmuwan mestinya tidak ada bedanya sebab
kandungannya khan sama. Yang menjadi masalah adalah apakah produsen
obat generik selalu jujur?” <-- ini aku kutip dari statement teman. OK, lah kualitasnya jelas bisa dengan obat non generik sama bila uji bioavailabilitas/ketersediaan hayati dan uji bioekivalensi/kesetaraan biologi. Tapi kenyataannya tidak begitu. Obat generik sangat miskin publikasi penelitian yang bagus dan terpercaya, so wajar saja para praktisi tidak percaya. Tapi aku sendiri tetap menganjurkan sebisa mungkin gunakan obat generik di peresepan kita. Dan, pengalaman di negara-negara maju dengan sistem pembiayaan kesehatan (asuransi) yang baik akan lebih mengarahakan kita untuk mengunakan obat generik. Jelas dalam promosi obat generik ini peran pemerintah dengan kebijakannya yang baik akan sangat mendukung. Jangan seperti kebijakan Menkes kita yg baru saja, tentang standarisasi harga obat generik yang mengakibatkan justru obat generik semakin menghilang dari pasaran. Coba saja di cek ke apotek...
oops.. ini agak meragukan.. tidak benar statement bahwa obat generik dibuat asal – asalan, dan lebih tidak benar lagi statement bahwa obat generik adalah obat untuk orang miskin. Sudah ada standar cara pembuatan obat yangbaik (CPOB/GMP) yang mengawal proses pembuatan obat generik dan uji BA/BE untuk menguji bioekivalensi obat generik dengan inovatornya. Klaim bahwa obat generik adalah obat orang miskin jelas menyesatkan, tidak berdasar, dan tidak mendidik. Jika ada alternatif yang terjangkau dan berkhasiat kenapa harus memaksakan obat yang mahal? FYI, biaya promosi, termasuk biaya promosi langsung untuk dokter memakan lebih dari 20% harga produksi obat..
beneeer mba! ampe segitunya. Pernah ada temanku yang keluarganya lagi sakit. Di resepkan Meronem yang isinya Meropenem (sejenis antibiotik dengan spektrum superluas). Terus yang ada di apotek cuma merek lain yang harganya lebih murah tapi isi sama persis. Tapi si dokter ga mau. Yah, kali aja si dokter udah main mata dengan si produsen merek tersebut… (boleh su'udzon dikit lah hehehe…)
yah…begitu.
klo jujur saja deh yang berkelakukan begini itu sebagian besar dokter spesialis…
lah itu kan aku beri tanda kutip di kata “asal-asalan” dan “orang miskin” 🙂
itu kan memang pendapat masyarakat dan praktisi yang “tidak percaya” dengan obat generik dikarenakan imbas kebijakan pemerintah tentang pengendalian harga dan merek obat yang tidak mendukung…
mohon maaf bagi teman-teman “awam”…. sekali lagi aku jelaskan, jurnal ini aku tulis untuk mengajurkan penggunaan obat generik, mohon dibaca lagi tips-tips diatas, jangan lihat sepotong-sepotong….
aku ga bisa komen, kasusnya agak ga jelas mba…mungkin ada miss informasi di sini… misalnya teman mba tidak menjelaskan tentang diarenya??
hihiiii beginilah… gimana orang mau beli obat generik…. wong dokternya aja ngomong kayak gitu….
he…he… peace…. but definitely disappointed with your statement…
huhuhu jadi inget dokter THT yang kemaren ngeresepin obat suplemen, dia sendiri gak tau manfaatnya. Dia cuma bilang, kata pasien saya… abis minum itu, keluhannya ilang.
Huuuhuhuuu….sori dori mori ya dok… beli obat kayak gitu….
thank u mas atas informasinya *mertua juga dokter* 🙂
Haloo salam kenal, nyasar kesini stelah jalan2 MP 😀
wahhh ternyata mas widodo dokter toh, tadi agak telat nyambung hehe kirain bukan dokter…
wahh dok, seperti komentar dokter ttg produsen obat generik jujur pa gak, saya kan jadi tambah serem..dokter aja bilang begitu loh…
dah gitu dok, tulisan dokter yang katanya dokter mengutip statement dokter nahh ini bahayaaaa dok………
karena MLM pun sering kali berdasarkan testimonial padahal testimonial bukanlah bukti ilmiah. Maksud saya, sekali saja dokter bilang “menurut teman saya” maka kayak saya pasien langsung aja deh jadi was was untung saja klo pasiennya bijak..klo yang rada panik…nurut dehhh…..duhh…
yang ngebingungin lagi dokter bilang “wajar saja para praktisi tidak percaya”, masa sih dok, boleh gitu gara2 kurang penelitian yang di informasikan jadi meragukan kandungannya?
mmm saya jadi tambah bingung, mungkin biar ga bingung saya jangan mampir tadi yahhh heheheh…
peace yah……sekadar mengungkapkan pendapat…tks
mona paling ndak suka minum obat, beberapa kali sempet bandel ndak ngabisin antibiotik 😀
dan lebih suka ke GMC, soale masih gratisan 😀
untunge dok, kami sekeluarga masih setia pake generik termasuk ke2 orang tua saya yang sudah sepuh. Soale, kebeneran lagi di salatiga bapak ibu dapet dokter tuir yang masih pola pikir sederhana….wong ada generik yang masih bisa dipertanggungjawabkan khasiatnya ngapain dibikin susah yang mahal2, pensiunan PNS jeh…ASKES cuman terbatas….yo being wise sajah….Puji Tuhan, bapak ibu diabetes dan jantung so far pake generik masih bisa teratasi ada sih satu dua obat sing generiknya ndak ada harus paten, tapi at least nggak semua paten dan ratusan ribu.
Sakne negaraku nek doktere pada mata duiten kabeh….nyari dokter sing opo anane, educate pasien, gak melu arus angel jeh….tapi sak angele, kok yo tetep ono ki?…solotigo jek ono, semarang yo ndilalah nemu….jakarta ono….mugi2 wilayah lain segera menyusul ben cepet perubahan mengenai RUD ini. watuk pilek wae kok repot.
pengalaman tuh mas, pas mo caesarian,
malem sebelum operasi didatengin dokter anestesi, katany proteinku kurang dan kudu ditambah 3 ampul protein, yang harganya juta-sekian-ratus..katanya klo enggak, aku bisa mati…
langsung suamiku tanya ke dokter kandungan, dan bilang tidak usah…tidak ada urusan dengan protein-proteinan…
dan besoknya, si dokter itu gak ikut ngoprasi aku..
edan…dia licik sekali, dah tau besok pagi jam 7 mo dioperasi, dia datang jam 8 malem dengan berita yang menakutkan. klo saja suami panic n gak mikir, kan abis percuma duwit jutaan….
sejak itu, kami sangat hati2 memilih dokter…
thanks mas…
semoga masih bnayak dokter yang bernurani apik…
mas, bisa kasih info ga ? berapa % produk obat generik yg ada di apotik ? berapa % produk obat paten yg juga beredar di apotik ? Apakah semua penyakit itu ada obat generiknya ? Apakah mas dokter ini hafal semua harga obat baik obat generik atau obat paten ? contohnya mas, ada pasien dg telangiektasis dan o ya obat generiknya apa tuw ? trus apa pula obat paten yg murah ? wah mas,kayaknya ga efektif deh praktek gituan mau mengingat harga obat paten yg murah, dan kalau menyuruh pasiennya cek and re-cek dg dokter lain itu apa gratis ? kan perlu biaya juga hanya mau tanya2 ini obat dah bener atau belum ? Jadi tergantung dg kondisi penyakitnya juga jadi tidak serta merta semua dokter itu menulis obat paten,dan yang penting kalau obat generiknya tidak ada apa salahnya kita tulis obat paten seperti kasus hipoalbumin dan sudah barang tentu obatnya CEALB 20% isinya albumin tapi apa ada generiknya mas ? sedangkan harga cealb 20% itu mencapai 1,5 juta, gimana nih ? yah kalau prinsipnya seperti diatas, udah kita biarin aja pasiennya tambah gawat,daripada kita membebani ekonomi pasien dg obat paten tul gak ? saran saya coba mas dokter baca buku farmakoekonomi biar tahu betul permasalahannya,trims salam kenal.
maaf Dok, aku ga tahu statistik peredaran jenis obat di pasaran. Jelas tidak semua penyakit ada obat generiknya. Wah justru itu Pak aku ga hapal jenis obat2 paten. Tapi klo kita yang kerja di instansi hal tersebut kan bisa dikomunikasikan dengan bagian farmasi. Jadi kita tidak harus mengingat harga obat. Second opinion kan bisa gratisan terutama bisa via milis2 (eh, internetnya ya bayar dong…), bisa juga dengan kerabat dekat, ga harus bayar kan…
Aku setuju Dok, tidak harus dengan obat generik, lah klo diinstansi tidak menyediakan gimana harus kukuh dengan obat generik. Maksud jurnal ini adalah supaya para dokter tidak jatuh ke dalam bentuk perselingkuhan/kolusi dengan pihak farmasi yang justru banyak merugikan pasien. Dan kalau tahu informasi terbaru sudah ada peraturan yang bisa menjerat dokter karena kolusi dengan pihak pabrikan farmasi (itu klo iseng mau mengungkap loh…) Dan sebagian besar terjadi pada kasus-kasus penyakit ringan dan umum loh… 🙂 bukan kasus berat yang dokter contohkan…) Selain itu komunikasi ke pasien dan atau keluarganya kan harus yang utama. Masa' pasien tidak setuju jika diberikan obat mahal, padahal ada generiknya kita harus memaksakan, seperti contoh yang aku paparkan di atas….
Coment dikit : ada benarnya juga tulisan ini hanya memang tdk semua obat bisa dipukul rata seperti itu mas meong ( qi qi qi qi ) '..jgn tersinggung tar jadi perawan tua kalau cewek lo ..” , cuma bicara albumin 20 % ada coment seolah2 semua mahal apalagi 1.5 juta ( tdk generik tp harga terjangkau ) … wah kasihan masyarakat kita. kalau penasaran dan butuh informasi selengkapnya , hub saya di : 0813 1636 5554 ( aryo ” Master of ALBUMIN ” ). thanks 4 you all. GBU