
Cerita singkat pasienku berikut mungkin bisa menjadi pembanding,
Cerita I: seorang CS salah satu apotek waralaba terkenal. Dia cerita kalau obat-obat yang diberi oleh dokter di tempat dia bekerja tidak manjur dan mahal pula. Ini terjadi berulang kali ketika dia sakit. Aku sih ga tahu juga apa memang karena obatnya atau karena sugesti aja. Yang jelas ketika berobat ketempatku dia mengakui obatnya jauh lebih murah dan manjur.
Cerita II: seorang pasienku yang datang diberi salep Acyclovir, CS apotek mengatakan dia terkena herpes (ini akan aku bahas saja di lain jurnal, kayaknya penting banget…). Setelah aku periksa ternyata itu bukan herpes, maka tentu saja salep itu tidak berefek.
Cerita III: seorang pasien kakek-kakek beli obat batuk, diberi obat batuk merek terkenal dengan kandungan antitusif/penghenti batuk. Padahal si kakek batuk berdahak. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Si kakek malah sesak napas karena dahaknya tidak bisa keluar. Terlebih lagi si kakek ternyata sebelumnya sudah mengkonsumsi obat batuk juga yang ternyata isinya sama-sama antitusif, jadilah dia overdosis. Menurutku ini juga kesalahan si petugas apotek saat konsumen membeli obat, tidak diterangkan dengan baik untuk apa obat itu dan berapa dosisnya.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari fragmen-fragmen singkat di atas?
Gini aja deh saranku:
- Boleh saja langsung ke apotek, dengan syarat memang sebelumnnya sudah pernah mendapatkan resep obat yang sama, alias memang sudah ada rekomendasi dari dokter untuk meneruskan obat tersebut
- Jangan sekali-kali mau menerima vonis diagnosis penyakit dari petugas apotek, mereka bukanlah penentu apa sakit kita
- Jangan mau disuruh ganti obat kecuali setelah berkonsultasi dengan dokter atau apoteker yang dapat dipercaya
- Baca baik-baik aturan pakai obat, kalau tidak mengerti tanyakan dokter atau apoteker
- Efek obat tidak bisa dipukul rata untuk semua orang. Obat tertentu cocok buat seseorang tapi belum tentu cocok untuk orang lain. Kadang faktor sugesti juga berpengaruh besar. Ini aku alami sendiri ketika menangani pasien sesak napas. Si ibu udah hapal dengan obat yang biasa dia pakai ketika sesak. Dan saat itu dia juga mendikteku untuk memberinya obat tersebut, tapi aku kira dia saat itu cuma histeria (sakit secara psikis). Jadi aku beri aja vitamin B, dan sembuh.
Gambar dari sini
wah…segawat itu intuisi bisnis apotek di indonesia??…
thanks atas bagi2 sarannya ya mas..
makasih infonya mas….
udah mulai on lagi nih…..???
lebih gawat malah…
sama-sama…, lagi senggang aja pak, hehehe..plus browsing cari artikel
makasih buat infonya Do….^^
sangat bermanfaat…
sama-sama Rel… 🙂
Innalillahi….bermain-main dengan kesehatan (nyawa) orang lain demi uang semata…
nice tips thanks juga
begitulah negara kita, Pancasilais tapi juga Superkapitalis…
OK mba Sis… 🙂
Kalo aku dapet resep dari dokter biasanya aku tanya dulu ke dokternya obat apa untuk apa, atau aku konsul ke temen yang dokter juga dan yang apoteker juga…..
Abis rada2 gimana gitu sering dapet dokter yang gemar kasi antibiotik….:(
memang harus jadi pasien yang kritis mba… tapi jangan kelewat kriti nanti malah ga sembuh loh, karena sugesti/kepercayaan terhadap dokter jadi berkurang, hehehe
idem seperti yang ditulis mbak lollytadiah. kita memang harus kritis meski tetap santun. barusan aku ganti dokter anakku karena dia maen hantam dosis tinggi. kecian anakku hiks