Diposkan pada agama, dokter, kajian islam, kontemplasi, motivasi, rumah sakit

Koin Kehidupan


Kemarin sore tim dokter dan manajemen menyelenggarakan acara buka bersama (bukber). Sebagaimana kebanyakan acara bukber biasanya diawali dengan acara pengajian. Pengajian kali ini menarik dengan menghadirkan pembicara dari sebuah masjid yang fenomenal se-Indonesia, yaitu Masjid Jogokariyan. Nama pembicaranya Ustadz Gitta Welly Ariadi. Dalam rangkaian acara bukber ini beliau menyampaikan modal utama manusia hidup di dunia ini adalah usia.

Sebuah analogi tentang cara pandang manusia terhadap modal usia, dipaparkan oleh beliau, yaitu ada seorang ayah memberikan 2 buah kotak kepada masing-masing 2 orang anaknya. Kotak ini berisi koin dan tidak ada seorang anak pun yang tahu berapa jumlah koin yang ditaruh ayah mereka di dalam kotak-kotak itu. Masing-masing anak mendapatkan 1 buah kotak berisi koin. Anak pertama tidak memikirkan tentang berapa jumlah koin yang ada dalam kotak itu, dia fokus kepada bagaimana setiap hari mengambil koin di dalam kotak itu untuk berbagai kebutuhan yang bersifat konsumtif dan foya-foya, dia tidak pernah memikirkan bahwa suatu waktu koin yang dia ambil adalah koin terakhir. Lalu anak kedua selalu fokus memikirkan tentang koin yang dia ambil setiap hari dan selalu teringat bahwa suatu waktu dia akan sampai pada jatah koin terakhir dari kotak itu, untuk itu dia selalu memanfaatkan koin tersebut untuk hal-hal yang produktif, bermanfaat banyak, dan berusaha memikirkan tabungan koin untuk diisi pada kotak lain yang akan dia dapatkan.

Begitulah dengan usia manusia yang tidak ada yang tahu kapan habisnya, ada yang diberi jatah usia panjang namun tidak banyak memberikan manfaat di dunia dan akhirat, namun ada pula yang usianya sangat singkat namun pengaruh dan kebermanfaatannya besar baik di dunia mau pun akhirat. Memang ada sebagian manusia yang diberikan pengingat akan habisnya koinnya dalam waktu tidak lama lagi seperti kondisi sakit parah yang berkepanjangan. Tentu saja secara alamiah, harapannya, manusia yang mendapatkan pengingat ini semestinya lebih siap dibandingkan yang tidak dikasih pengingat bahwa jatah koinnya akan habis. Bisa baca tulisan lama saya saat masih menjaga gerbang terdepan: (Seharusnya) Berbahagialah penderita AIDS…

Namun, sebagian besar manusia seperti anak pertama yang tidak peduli untuk apa koin itu dihabiskan, yang penting selama hidup harus dimanfaatkan sebaik-baiknya karena hidup cuma sekali, sayang kalau ga bersenang-senang sesuai tuntunan hawa nafsu. Sebagian kecil manusia juga mirip prinsipnya dengan anak pertama, merasa hidup (di dunia) hanya sekali, namun melihat akhirat adalah kepastian dan keabadian hidup yang pintu gerbangnya adalah kematian dari habisnya usia (koin) di dunia. Sebagian kecil ini benar-benar khawatir tentang masa depan keabadian mereka, apakah nanti di neraka atau di jannah (surga), sehingga modal usia sangat benar-benar dioptimalkan untuk mengisi kotak lainnya (akhirat).

Semua manusia menyesal setelah berada di akhirat termasuk yang merasa sudah mengoptimalkan usianya untuk kebaikan, dan yang tidak percaya akhirat benar-benar lebih terkejut dan lebih menyesal lagi, sampai-sampai didokumentasikan dalam bentuk cerminan masa depan dalam sebuah ayat di kitab suci:

“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian) ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (QS Al Munafiqun ayat 10).

Lalu diperkuat lagi bahwa perkara berinfak ini tidak hanya sedakah uang, namun Nabi kita yang mulia berkata:

“Amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah memberi kebahagiaan kepada sesama Muslim dan menghiburnya saat dia dilanda kesusahan, atau meringankannya saat dia dililit utang, atau memberinya makanan saat dia merasakan lapar. Karena, aku lebih menyukai berjalan bersama seorang Muslim yang berbagi dengan orang yang sedang membutuhkan, daripada melakukan iktikaf di masjid selama satu bulan penuh.” (HR Ath Thabrani).

Semangat Bulan Puasa akan menjadi sangat sinkron ketika amal pribadi tidak semata mengejar penggandaan koin pribadi saja, tapi justru dapat dibuktikan dalam bentuk ibadah sosial kemasyarakatan yaitu berbagi kebaikan dan kebahagiaan. Melayani dan menghibur manusia lain dengan baik dan welas asih. Bagi para sivitas hospitalia hal ini sangat-sangat relevan implementasinya. Melayani, menghibur, dan membahagiakan pasien. Sembuh bahagia, tidak sembuh bahkan menemui ajal karena koinnya habis pun, harapannya juga dalam kondisi bahagia menemui Sang Penciptanya. Toh, memang aslinya tugas manusia di dunia hanya untuk mengabdi (menghamba, beribadah) kepada Penciptanya. Bukan untuk menghamba kepada dunia dan isinya.

Kata orang Jawa, “wong urip iku mung mampir ngombe”. Artinya, orang hidup itu hanyalah istirahat sejenak untuk minum.

Minum pun kita sadari memang hanya sebentar saja. Dijelaskan, 1 hari di dimensi eternal nanti sama dengan 1000 tahun di dimensi fana ini. Di versi lain bahkan disebutkan: “Dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun” (QS. Al Ma’arij: 4)

Secara matematis, berarti besar waktu koin kita di dunia ini hanya sekitar 2 menit saja rata-rata. Rinciannya 24 jam akhirat = 50.000 tahun dunia, 1 jam = 2000 tahun, 60 menit = 2000 tahun, 1 menit = 33 tahun, 2 menit = 66 tahun. 2 menit memang pas dengan analogi mampir minum saja. Amat naif bila saat mampir minum itu benar-benar tidak memanfaatkan sebaik mungkin untuk perjalanan yang panjang dan abadi, apalagi waktu mampir minumnya cuma sekali.

Semoga kita semua dapat menjadi sebagian kecil dari anak kedua di atas tadi yang benar-benar sadar dengan jatah koinnya. Aamiin.

Diposkan pada curhat, kontemplasi, motivasi

Serial Motivasi: Hikmah Pandemi – Tetap Aktif & Sehat, Meski Rumit


Bismillah…
Lama tidak mengisi tulisan di blog ini, mengawali kembali dengan ide di kepala yang menumpuk, mari kita rilis satu persatu ya…

Berawal dari sudah lumayan lama kami tidak dibantu oleh asisten rumah tangga, pasti ada sesuatu yang kurang di tengah-tengah masih kegiatan study from home bagi anak-anak, terutama bagi ortu mereka. Namun bagi saya sendiri tetap harus diambil hikmah/pelajarannya dalam setiap situasi apa pun dari setiap ketetapan taqdir Allah. Bagi istri jelas lebih repot tanpa asisten rumah tangga, syukurnya sejak hampir 1 tahun kami pindah rumah mendekati kantor istri sehingga tingkat kecapekannya tentu berkurang akibat waktu tempuh jarak kerja yang lebih pendek, sedang bagi saya sama saja jaraknya, cuma beda arah saja ke kantornya. Syukurnya saya ga masalah karena ada fasilitas driver dan mobil jemputan. Untuk itu saya mesti memotivasi diri saya sendiri dengan tanpa kehadiran asisten rumah tangga, yang tentu harus lebih sering membantu kerjaan rumah tangga, termasuk ikut mendorong anak-anak terlibat. Ya, tetap ada kekurangan, tapi positifnya juga mulai banyak dirasakan. Kata istri saya sudah mahir cuci piring, meski pun bila ada asisten rumah tangga tetap sekali-kali saya cuci piring. Setelah mahir cuci piring ditambah kerja menyetrika pakaian. Kata istri yang awalnya paling sering menyetrika pakaian, menyetrika itu pekerjaan yang membagongkan alias membuat jadi bodoh. Tapi kalau bagi saya, ketika menyetrika malah jadi waktu untuk otak berpikir lebih banyak, kayak orang melamun gitu, melamunkan ide-ide yang biasanya ga muncul ketika kita fokus dengan kerjaan. Ya memang risikonya waktu menyetrika jadi lebih lama, apalagi sambil mendengarkan musik atau murottal dari spotify, hehe… Dan memang, di zaman pandemi ini berbeda dibanding saat sebelum pandemi, menyerahkan kerjaan menyetrika ke laundry berbayar menjadi kekhawatiran tersendiri. Juga mencari asisten rumah tangga paruh waktu, itu juga kami sepakati risikonya lebih tinggi untuk penularan covid19. Jadi lebih memilih mencari dan menunggu asisten rumah tangga yang fulltimer. Istri sempat tertipu kemarin sudah transfer uang dari hasil mencari calon asisten rumah tangga di grup facebook. Di zaman sulit ini, para penipu semakin banyak saja melancarkan aksinya bahkan dengan cara-cara yang sangat humanistik dengan mengekspos kesulitan hidupnya. Iya betul sangat manusiawi cara menipunya sehingga bagi kita orang yang gampang kasihan sebagian besarnya akan terjerat. Kalau istri sendiri kegiatan paginya lebih banyak menyiapkan sarapan, ya tentu saja sekarang jadi lebih banyak cari masakan instan/jadi saja di luar rumah, nah si kakak, mulai bantu-bantu memasak yang ringan-ringan kayak goreng tempe, dsb. Si adek tugasnya menjemur pakaian bersama kakak yang sudah dicuci sama mesin serta menyapu rumah. Seringkali si adek juga memasak makanan yang sudah distok sama istri di kulkas.

Untuk terapi si adek sendiri, yang biasanya rutin 3 hari menginap di Surakarta ditemani asisten rumah tangga tadi-terkadang juga si kakak juga ikut menemani-mendadak terhenti, ya pas pula saat PPKM level 4 diberlakukan. Asisten pamit katanya mau menikah. Akhirnya si bungsu belajar dan terapi full online dari rumah. Dan tentu ini menjadi tantangan baru, syukurnya ternyata si bungsu sudah lumayan cukup bekalnya hasil terapi offline, jadi lumayan bisa mengikuti, ya meski jelas terkadang masih moody bila kondisi tidak mendukung, misalnya kebanyakan main game atau  pas capek ga jelas begitu, terutama waktu terapi siang hari. Istri lebih sering mendampingi si bungsu terapi dari kantornya atau pulang sebentar ke rumah. Saya sekali-kali mendampingi terutama saat evaluasi bersama supervisor terapinya. Masalah internet terkadang terjadi trouble, alhamdulillah si kakak mulai belajar menjadi tukang service, hehe, menyelesaikan permasalahan yang dihadapi adiknya. Awalnya saya ikut uring-uringan setelah dilapori istri, tapi setelahnya sudah diantisipasi masalah trouble di gadget atau koneksi internet ini. Untuk gadget, si bungsu sekarang lebih banyak pakai komputer agar posisi ergonomiknya lebih oke dibanding pakai tablet, tablet disepakati hanya dipakai hari sabtu dan ahad saja.

Beda di bungsu, lain pula dengan si kakak. Kakak lebih mirip sifatnya yang lebih moody dibanding si adek. Suka ngantukan kalau pagi tapi juga demen begadang, persis kayak bapaknya. Kalau si adek begitu bangun pagi langsung mandi meski pun saya ga tega kalau pake air dingin jadi seringnya saya siapkan air hangat, sorenya sekitar sebelum jam 16 juga sudah langsung mandi tanpa disuruh. Nah si kakak sebaliknya, sukanya mandi sekali sehari saja, dan seringnya di malam hari menjelang tidur antara jam 21-22, kadang pernah lewat jam 22… ya alasannya mungkin supaya berhemat air, karena sering berkeringat, dan juga karena sekolahnya online jadi ga kelihatan kalau belum mandi, gitu kali ya Kak. Sekalian alasan sekarang si kakak mulai suka rutin jogging di treadmill, jadi habis itu baru mandi. Pagi hari supaya si kakak ga molor lagi sehabis sholat subuh, bapaknya mulai rajin juga membuatin teh hangat berbagai macam rasa plus madu supaya matanya si kakak tetep melek, terus dikasih kerjaan-kerjaan lain: masak, jemur baju, nyapu rumah, membantu cuci piring.

Nah kalau saya, bapaknya, sekarang pagi mulai rutin menyetrika pakaian yang mau dipakai kerja, selain tentu saja mengurus tanaman, menyiram, dan ngasih makan kucing. Saya menyetrika pakaian saya sendiri dan pakaian istri. Pulang kantor sebelum mandi saya biasanya mencuci piring dulu. Kalau pas lagi capek banget si kakak yang menggantikan cuci piring. Kalau pas weekend, pernah saya hitung, bisa sampai 8 kali cuci piring dalam sehari, tapi ya semakin ke sini rasanya ada yang kurang kalau dalam sehari ga cuci piring, mata udah sepet aja kalau lihat ada piring gelas menumpuk di wastafel. Jemari tangan juga sudah biasa, perihnya jemari yang sobek sering kena sabun, udah ga terhiraukan, ga pake lama juga sudah sembuh. Mungkin sudah terbiasanya.

Jadi memang kuncinya: kebiasaan. bahasa jawa londonya: habit

Apa pun pekerjaan, serumit apa pun, motivasi tetap mesti dibangun di awal, motivasinya sebenarnya cukup sederhana: lakukan saja, bergerak… ya bergerak, jangan ditunda, dan mesti selalu menanamkan dalam diri sendiri: suatu waktu ketika mulai tidak dirasa lagi sebagai beban, berarti itu sudah menjadi kebiasaan. Demikian juga saya tekankan sama si kakak. Berat memang Kak di awal, berusaha memaksa diri agar tidak molor lagi sehabis subuh. Tapi kita mesti yakin, dibalik kebiasaan jelek, kita akan memanen sesuatu hasil yang jelek juga, begitu sebaliknya, ketika kita berjuang memupuk suatu kebiasaan yang baik, pasti ada hasil yang juga baik.

Ya, artikel ini sebenarnya saya tunjukkan ke si kakak, buat terus memotivasinya berjuang memupuk kebiasaan yang baik. Selama ini si kakak sudah ada kebiasaan yang baik yang rutin dilakukan, misalnya mengaji dan menghapal sebelum tidur dan sehabis mandi di malam hari tadi, sudah mulai rutin jogging, untuk mengurangi efek hidung tersumbatnya. Bapak harap kita bisa berjuang terus Kak, meski pun suatu saat kondisi rumah sudah lebih nyaman bila ada asisten rumah tangga lagi, tetap teruskan kebiasaan baik kita, karena itu membuat fisik dan jiwa kita insyaAllah tetap terjaga dengan baik dan semakin baik lagi bila intensitasnya terus dilatih untuk ditambah.

Tetap jaga motivasi kita.

img_20210914_064422Foto: dijepretkan oleh si Kakak, bukan buat pencitraan, tapi buat memotivasi