Diposkan pada dokter, kesehatan, malpraktik

Kisah Dugaan Malpraktik


Rating: ★★★★★
Category: Other

Bicara tentang dugaan malpraktik tidak pernah ada habisnya, apalagi di Indonesia dengan berbagai kesenjangan yang terjadi. Berdasarkan telusuranku selama ini kasus dugaan mapraktik sebagian besar diakibatkan kesenjangan informasi baik oleh tidak baiknya komunikasi tenaga kesehatan dengan klien. Selain itu konsumen kesehatan di Indonesia jarang bersifat rasional, lebih mementingkan gengsi, sok pintar (maaf…), tidak berusaha untuk mencari second opinion, tidak kritis (dalam hal yang baik) dengan intervensi tenaga kesehatan terhadap dirinya.

Berikut ini sebuah kisah nyata yang telah difiksikan :-), tenttu saja sudah banyak ditambahi “bumbu, biar lebih menarik, tetapi tidak kehilangan pesan yang ingin disampaikan. Terimakasih kepada dr. Posma Siahaan, Sp.PD yang telah berkenan berbagi cerita ini kepada kita.

——————————————————————————————————————

BALADA KASUS MALPRAKTEK

By: PB Siahaan

Kasus I. Persidangan Perdana Dokter Bassing

“ Terdakwa dokter Bassing, anda telah dituduh dengan sengaja mengobati pengacara Wisman yang nyata-nyata di wasiatnya melarang diobati oleh siapapun dokter dalam negeri Gemah Ripah. Apakah anda mengaku bersalah ?” Tanya si hakim tegas, tapi terlihat mimik mukanya geli menahan senyum. Tapi namanya kasus sudah berjalan dan berkas lengkap, terpaksa pertanyaan yang sekilas konyol ini dibacakan.

“ Saya mengaku dengan sadar mengobati pengacara Wisman yang saat itu serangan jantung, tapi saya tidak merasa bersalah!” Jawab Bassing tegas.

“ Baiklah, karena terdakwa tidak merasa bersalah, sidang kita tunda minggu depan dengan agenda mendengarkan tuntutan dari penuntut umum.” Tuk..tuk..tuk palu pun diketuk dan sidang pun bubar.

Dr. Bassing tidak ditahan, hanya dilarang ke luar kota saja dan tetap menjalankan tugasnya sebagai dokter umum di ruang gawat darurat Rumah Sakit Damai. Tak ada yang berbeda dengan pekerjaannya, manajemen rumah sakit pun tetap mendukungnya. Persidangan tersebut tidak menurunkan kepercayaan pada tindakannya, malah semakin meningkatkan rasa hormat masyarakat pada dirinya.

Ya, kisah aneh ini berawal dari pengalaman tidak menyenangkan pengacara Wisman saat mengobati istrinya yang sakit gangguan penglihatan, mendadak gelap seperti buta. Di sebuah rumah sakit tercanggih di ibu kota Gemah Ripah, si ibu dinyatakan gangguan di retina, dan harus dioperasi matanya. Bila tak dioperasi mata pasti buta dan kalau dioperasi masih mungkin 50% buta. No choice!!!

“ Tidak ada pilihan lain, Pak. Rumah sakit inilah yang tercanggih di negeri Gemah Ripah, bapak boleh cari second opinion, tapi tak mungkin ada pilihan lain di negeri ini. Putuskan satu hari ini pak, kalau terlambat kami tidak bisa berbuat apa-apa.” Sang dokter berusaha meyakinkan si pengacara ternama.

Wisman marah meradang, dibawanya istrinya berobat ke Singapura, 1-2 hari diperiksa di sana ternyata ada gumpalan darah di saraf mata dan pengobatannya hanya anti pembekuan darah biasa saja. Si istri disuntik 1 kali di pusar selama seminggu, gumpalan itu pun mencair dan dia bisa melihat kembali.

“ Ini penipuan! Saya menuntut dokter mata kemarin dan manajemen Rumah Sakit Exellent karena melakukan kesalahan diagnosis!!” Teriak Wisman dengan mata berkaca-kaca di depan wartawan. Dia memang terkenal karena selalu membentuk opini publik pada setiap kasus yang ditanganinya.

“ Masak rumah sakit tercanggih di Gemah Ripah tak bisa mendiagnosis kelainan darah?” Dan tuntutan diajukannya ke pengadilan, tetapi akhirnya kalah. Rumah Sakit Exellent ternyata bisa membuktikan bahwa proses penegakan diagnosis yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan tindakan yang ditawarkan juga meminta persetujuan keluarga. Jadi Wisman pun kalah dan ia marah.

Maka diumumkanlah di tanggal 21 Mei 1998 (bersamaan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan negeri Gemah Ripah) sumpah serapah pengacara Wisman yang dibuat di atas kertas segel bermeterai 6000, di depan ratusan wartawan ibu kota: Saya yang bertanda tangan di bawah ini Wisman, SH, MH, menyatakan tidak mengijinkan satu orang pun dokter dari negeri Gemah Ripah mengobati saya atau keluarga saya, apa pun yang terjadi. Bila ada yang berani melakukannya akan saya tuntut seberat-beratnya.

Dan memang sejak itu dalam 10 tahun terakhir Wisman sekeluarga selalu berobat dan check up di Penang, Singapuran dan Australia, walau hanya untuk mengobati panu saja. No problem, no case, nothing to discuss.

Peristiwa yang menjadi pemicu persidangan itu terjadi pada tanggal 21 Agustus 2008 pukul 20.30 waktu Gemah Ripah Bagian Barat, pengacara Wisman yang kelelahan dalam membela kasus perbankan yang bermasalah mendadak nyeri dada kiri hebat, seperti ditusuk-tusuk jarum berkarat. Nyeri seperti ini pernah dialaminya tahun 2003, tapi saat itu masih jam 8 pagi dan keluarga langsung menyewa pesawat carteran, lalu membawanya ke Singapura. Dia dirawat 7 hari kemudian dinyatakan sembuh dan kerja seperti biasa.

Tapi malam itu hujan lebat, ditambah banyaknya petir dan kilat, semua perusahaan penyewaan pesawat angkat tangan tak sanggup berangkat, sementara nyeri dada pak Wisman tambah berat.

Akhirnya keluarga memutuskan membawanya ke rumah sakit terdekat, tapi ternyata wajah pak Wisman sudah ada fotonya di semua bagian gawat darurat dan registrasi rumah sakit ibu kota dengan tulisan besar-besar di bawah fotonya: PERSONA NON GRATA, orang yang tidak diterima, berpotensi buat masalah!!!

“ Maaf, bu. Kami tidak bisa melayani pak Wisman!” Kata si dokter jaga rumah sakit pertama.

“ Tempat penuh, bu…” Kata paramedis rumah sakit kedua.

“ Tempat parkir penuh, mas…..” Kata si satpam rumah sakit ketiga, rupanya dia sudah dapat kabar manajemen rumah sakit untuk langsung menolak jika mobil mewah keluarga Wisman memasuki gerbang rumah sakit mereka.

Akhirnya di rumah sakit Damai, yang kecil di pinggiran kota, rumah sakit ketujuh yang didatangi, setelah 45 menit putus asa ditolak semua rumah sakit sebelumnya, masuklah keluarga ke UGD dan yang menjaga dokter Bassing. Si dokter muda itu memeriksa dengan sigap dan langsung bertindak cepat.

“ Isosorbid 1 tablet bawah lidah, asetosal 80 mg 2 tablet, morphin 1 ampul, infus isotonik 1 kolf mikrodrip…….Rekam jantung….” Dan seterusnya prosedur tatalaksana gawat jantung dia ucapkan….

“ Dok…itu yang diobati, pengacara Wisman!!!” Setengah berbisik perawat Nuri mengingatkan….

“ Saya tahu, terapi teruskan…..” Jawab si dokter tegas.

“ Wah, dokter periksa cipika-cipiki, ya? (istilah analis Rumah Sakit Damai untuk pemeriksaan enzym jantung CPK-CKMB)…..Lho, dok….ini, kan si Wisman? Kalau darahnya diambil nanti saya kena masalah, gak?” Ucap Linda si analis laboratorium senior ragu-ragu..

“ Saya yang tanggung jawab! Kerjakan tugas mu, Linda…” Jawab Bassing tegas.

Nyawa pengacara ternama itu pun tertolong. Wisman dirawat lima hari di Rumah Sakit Damai oleh dokter Bassing, seorang dokter umum, padahal semestinya oleh dokter jantung, namun tak ada dokter lain yang berani menjamah pengacara Wisman di rumah sakit itu. Dan mungkin karena terlalu lama jantung tersumbat dan kehilangan kesadaran akibat kelamaan keliling ditolak banyak rumah sakit, atau karena hanya dirawat dokter umum dan bukannya dokter jantung di intensive care cardiology unit (ICCU), Wisman memang hidup, sadar, tapi menderita kelumpuhan lengan dan kaki, serta tak bisa bicara.

“ Baiklah, saya tak sanggup lagi. Hanya bisa begini kemampuan saya, karena pak Wisman sudah stabil, silahkan keluarga bawa pulang atau rujuk ke rumah sakit lain.” Jelas dokter Bassing di hari kelima.

Wisman dibawa keluarga ke Singapura, ternyata kelumpuhan dan kebisuannya belum sembuh juga. Mungkin bisa kembali normal, tapi waktunya perlu lama. Akhirnya keluarga memutuskan merehabilitasi si Bapak di dalam negeri saja.

Satu minggu setelah ada di rumah, sekertaris Wisman di kantor membesuk dan berbisik ke istrinya. “Bu, pak Wisman lumpuh begini gara-gara ditolong dokter Gemah Ripah, sesuai wasiat bapak, dokter itu kita tuntut saja, kalau tidak nanti pak Wisman dianggap masyarakat hanya besar mulut saja. Bisa-bisa jatuh pamor kantor bantuan hukum kita.”

“ Tapi, dokter itu kan tidak salah!!” Si istri jadi bingung mendengarnya.

“ Kami tahu bu. Tapi semua client dan koneksi Bapak menanyakan wasiat itu. Ini masalah komitmen, bu. Kepercayaan orang terhadap apa yang diucapkan dan dinyatakan pak Wisman. Kalau tuntutan itu dilakukan, kantor pengacara kita dianggap berkredibilitas dan berkomitmen tinggi pada janji dan ucapan. Ini menyangkut nama baik pak Wisman, bu.” Setengah memaksa sekertaris meminta.

Istri Wisman pun dengan beratnya menandatangani surat kuasa pengaduan, dan tak lama kemudian dokter Bassing pun menjalani pemeriksaan.

Sidang dilanjutkan tanpa pengacara dari pihak dokter Bassing, karena dia menolaknya. Dan pada sidang ketiga, saat agenda acara mendengarkan pembelaan terdakwa, Bassing hanya berkata, “ Saat dilantik saya telah bersumpah untuk menghargai kehidupan sejak awal pembuahan. Tanpa membedakan segala bentuk agama, golongan, suku, ras, apalagi hanya mengandalkan selembar kertas wasiat. Bagi saya, nyawa pak Wisman lebih berharga dari kertas segel bermeterai 6000 rupiah. Sekian pembelaan saya!”

Tepuk tangan riuh di ruang sidang, beberapa orang di ruang sidang malah menangis terharu. Dan di sudut pojokan, Wisman di atas kursi rodanya matanya memandang nanar ke depan kursi pesakitan, berlinang setetes air mata mengalir dari kelopak, ke bulu mata, lalu pipinya. Dan terasa benar dia begitu gemas ingin bicara, tapi tak bisa.

Sidang keempat, hadir saksi meringankan, memberatkan, lalu bla-bla-bla….Lanjutkan minggu depan…Dan akhirnya minggu kelima vonis itu dijatuhkan.

“ Terdakwa Dokter Bassing. Setelah mendengar saksi-saksi dan bukti-bukti, dan mengingat anda tidak merasa bersalah telah melanggar wasiat seorang pengacara, dan anda tidak menyesal akan perbuatan anda, maka kami nyatakan:ANDA BERSALAH SECARA HUKUM. Namun karena yang anda lakukan adalah tindakan mulia, anda hanya diberikan hukuman satu tahun tidak boleh ke luar negeri, alias tahanan dalam negeri. Demikianlah putusan ini ditetapkan di Pusat Gemah Ripah….Tuk…Tuk..Tuk” Pak hakim membalikkan badan dan tertawa sepuasnya.

Tepuk tangan membahana di ruangan pengadilan. Persidangan 5 minggu itu menghasilkan keputusan yang elegan: Bersalah secara hukum, tapi benar secara kemanusiaan. Dan hukuman dilarang satu tahun ke luar negeri itu seperti bukan hukuman, karena Bassing memang gak pernah cukup uang untuk jalan-jalan ke luar negeri.

Saat ruangan sidang mulai sepi, sebuah kursi roda didorong mendekati Dokter Bassing, ya siapa lagi kalau bukan Wisman. Mereka sempat terdiam saling tatap 2 menit sebelum akhirnya dari mulut Wisman keluar desisan berat nian….lalu dia tarik nafas panjang dan akhirnya terbata-bata terucaplah kata, “ Te..ter..rim…ma…..kas..ssihhhh..”

Kursi roda itu pun pergi meninggalkannya termenung sendiri.

Akhirnya Bassing menentukan langkah hidup selanjutnya. Ya, dia merasa sebagai dokter sungguh lemah di mata hukum, dan rentan pengaduan, maka dia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke spesialisas kedokteran, namun malah mengambil kuliah hukum malam selama 4 tahun, dilanjutkan 2 tahun ambil pengacara.

Agustus 2014, telah mulai praktek pengacara yang dokter dan dokter yang pengacara bernama dr. Bassing,SH, yang khusus menangani kasus malpraktek. Dan kalau tidak ada kasus dia praktek biasa, namun dengan kepercayaan diri tinggi tidak takut dipermainkan lagi oleh pengacara lainnya.

Sumber: http://posmavip.multiply.com/journal/item/132/Balada_malpraktek_kasus_1

28 tanggapan untuk “Kisah Dugaan Malpraktik

  1. hihii bukan cuma kesenjangan informasi, even dokternya pun gak tau kalau dia melakukan kesalahan

    sebenarnya malpraktek kecil kecilan banyak loooh tapi nggak ada yang meratiin aja

    misalkan anak kecil dikasih obat batuk pilek, padahal di guideline dari WHO, AAP, bahkan dari FDA sendiri obat batuk pilek buat anak aja nggak ada

    atau flu pake antibiotik

    diare akut pakai obat antidiare, dan antibiotik pula padahal bukan amuba atau kolera

    demam dikit antibiotik

    intinya banyak banget lah yang bekerja nggak sesuai guideline
    dan itu kan bagian dari malpraktek
    cuma sayang, pasiennya nggak ngerti, dokternya juga mengabaikan

    pengalaman dari hasil audit resep, hampir 90% resep tidak sesuai dengan diagnosis, untung pasien nggak nuntut

    maaf kalau komen gak berkenan

  2. Mungkin kita harus belajar dari rekan-rekan sejawat kita di Singapura.
    Di sana mereka tanpa diminta memberikan info yang jelas dan lengkap tentang apa yang akan mereka lakukan dan bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi.

  3. Setuju ama Pak Amir..
    Jangan pernah berhenti belajar!
    dan sebagai dokter, selain terus menambah pengetahuan di bidang kedokteran, sepertinya kita juga perlu memperdalam lagi ilmu komunikasi, agar terdapat kesamaan visi (antara dokter-pasien-keluarga), sehingga tidak timbul kecurigaan dan keraguan yg menyebabkan pesan en tujuan pengobatan jadi tidak tercapai.

  4. bukan cuma kesenjangan informasi, even dokternya pun gak tau kalau dia melakukan kesalahan
    ——————————————————————————————————————————————-
    otoritas dokter sangat tinggi dalam hal ini sehingga menjadi kebiasaan 😦
    ——————————————————————————————————————————————-
    obat batuk pilek buat anak aja nggak ada
    atau flu pake antibiotik
    diare akut pakai obat antidiare, dan antibiotik pula padahal bukan amuba atau kolera
    demam dikit antibiotik
    ——————————————————————————————————————————————-
    menurutku ini sudah jadi budaya yang juga di “iya” kan oleh pasien dan keluarganya. Sering kita harus berkomunikasi: “Bu, batuk anaknya tidak saya stop dulu ya…”Ntar, diarenya berhenti sendiri kok…” Pasien balik merespon: “Wah obatnya ga cespleng Dok, masak batuknya ga berhenti!”, “Kok masih diare nih Dok, lemas nih anak saya…”Wah, ga srek klo ga pake antibiotik Dok…”, “Saya mau dijus (disuntik: red) aja Dok, biar cepat mari (sembuh).” Bangsa kita memang sukanya yang instan. Ga peduli dengan yang namanya perjalanan penyakit. Salut deh buat yang bisa terus-terusan alias ga capek berkomunikasi secara benar dengan klien. Klo di tempatku susahlah, wong lembaga swasta kan lebih memikirkan profit. Membudayakan obat generik saja (sori yg dulu ya…) susah banget, karena bagaimana pun pihak RS kan udah kerjasama dengan perusahaan obat, jadi bakal diganti tuh obat dengan yang paten….

    Mengenai pasien ga nuntut, wajarlah aku kira, wong mereka pengennya yang penting sembuh, walaupun cuma sugesti. Pernah ada pasien simbah putri, salah satu bos warung gudeg di Jogja, marah-marah karena ditolak waktu minta disuntik. “Ngopo adoh-adoh teng mriki nek mboten disuntek! “Untuk apa saya ke sini klo ga di suntik!” Nah, kan repot, terima dia ga sembuh karena udah ga percaya dengan pengobatannya, ato menuruti kemauannya? Mungkin punya pengalaman dengan hal ini? Klo yang muda dan rada intelek pasti enak menjelaskannya, tapi klo ketemu wong “ndeso”, kadang bahkan harus berbohong, seperti kasus nyeri dada yang aku temui, ternyata cuma psikosomatis, dia minta ISDN sublingual, cuma aku kasih vitamin B, sembuh tuh…. yah menurutku inilah seni menyembuhkan pasien, tidak bisa dipukul rata.

  5. klo aku mas yang sering nanya begitu biasanya mahasiswa farmasi, kedokteran hewan, atau mereka yang sudah profesor. Tapi paling sebel klo anak farmasi yang protes. Malah mereka yang sering kena batunya (sakitnya ga sembuh, dan balik lagi) sok tahu dengan obat yang mereka protes…

    Yang paling lucu juga klo anak kedokteran hewan yang protes. “Usus buntu bukannya sebelah kiri dok?” Dalam hati ku menggerutu “Mungkin usus buntu buaya kali yang di sebelah kiri itu….” tapi yang keluar dari mulutku malah: “belajar anatomi di mana dek…?” 😀 (itu saking sebelnya…)

    yang paling sederhana misalnya (tentang sok tahu pasien): “Ini dok saya kena radang tenggorokan…” nah loh… udah tahu duluan penyakitnya…. 🙂

  6. jawabannya klasik banget mas…

    semua dikembalikan ke pasien, wong yang punya ilmu kita toh

    benar masalahnya adalah komunikasi but sorry to say kita malas berkomunikasi

    maaf ya sembuh bukan berarti sembuh lhoo dengan memberikan obat yang tidak diperlukan, efeknya kan belum tentu langsung saat itu bisa saja nanti

    cuma yang menurut saya yang masih jarang dipegang itu adalah bahwa jadi dokter itu amanah artinya menggunakan keilmuan sejujur jujurnya sesuai dengan ilmu pengetahuan (bukan cuma kebiasaan dan pengalaman pribadi atau seseorang)

    btw hmmm nah itu dia yang jadi masalah lagi di kita preventif promotif nggak jalan

    makanya curative oriented terus… jadi nuntut profit terus…
    dan perlu diingat meski pasien nggak nuntut tapi udah pinter pinter lho sekarang (alhamdulillah) jadi mungkin saja belum dituntut saat ini tapi dikemudian hari siapa yang tau???

  7. suweeerr, sama sekali aku ga menjudge atau memerahi pasein yang ngomong begitu. Tapi sering kepikiran aja, itu sejak diceritain teman tentang seorang dokter gaek era tempoe doeloe di Indonesia timur sana. Klo ada pasien yang ngomong gitu langsung disemprot: “yang dokter itu aku atau kamu???!”

  8. tapi masih mendinglah, biasa klo bilang ada radang biasanya memang benar. Yang sering salah misalnya kasus dermatitis biasa atau iritasi yang dibilang herpes: “Dok saya kena herpes, tapi udah dikasih salep acyclovir kok ga sembuh ya…” 🙂

    Ato pas lagi ngetrendnya iklan yang dibintangi Tukul tentang TeBe (TBC), dikit-dikit pasien batuk yang berobat cenderung mengarahkan dirinya: “jangan-jangan TeBe dok”. Nah, ini kan juga jadi pelajaran, bahwa sering iklan layanan di masyarakat itu sering disalahpersepsikan oleh masyarakat awam…

  9. Aku kira ini yang penting dan belum dibiasakan di Indonesia, di luar sana kan yang namanya informed consent kan bertingkat/berlapis, tidak cukup sekali saja. Jelas beda dengan orang kita, apalagi ditempatku. “Monggo dok, nderek mawon…ingkang penting cepat mari” (silakan saja dok, kami ikut saja, yang penting cepat sembuh…) begitu seringnya. Sering juga aku ngasih pilihan-pilihan pada klien, tentu saja setelah diberi informasi, tapi tetap saja mereka tidak bisa memilih, akhirnya diserahkan kembali kepada dokternya. Ini kan jelas peluang terbuka bagi dokter untuk “membom” kliennya. Apalagi jika pasien mintanya kelas 1 atau VIP, ya siap-siap aja digarap kantongnya ama dokternya 😦

  10. Mau jadi dokter hewan dan dokter botani sekalian, biar bisa jadi dokter umum segala makhluk, hehehe…. Eh, tapi ada kan yang begitu, kalo ga salah satu penjabat yang titelnya dokter umum sekaligus dokter hewan gitu, itu loh yang pernah ngomong (klo ga salah) tentang flu burung dulu.

  11. sebenarnya sudah ada pak, di fakultas saya dulu sudah ada itu, bahkan dalam bentuk laboratorium komunikasi, mungkin belum optimal kali ya, anak kedokteran kan banyaknya study oriented membuat cenderung jadi autis, jadi diktat guys, masuk kedokteran dengan motivasi bisnis terbukti walaupun sekolah kedokteran udah amat sangat mahal, malah mahasiswanya makin membludak, padahal fasilitas pendidikannya ga banyak perbaikan. contoh lainnya ilmu yang non klinik seperti ilmu kedokteran komunitas, kedokteran masyarakat, sosial kedokteran, dan sejenisnya cuma jadi ajang pendongkrak nilai IPK dan tidak banyak diminati, padahal ilmu-ilmu inilah yang mengasah dokter menjadi komunikator yang handal. Dan di lapangan kerja banyak terbukti mahasiswa yang full study oriented cenderung menjadi dokter yang introvert alias tidak komunikatif, it's just my 2 cents….

  12. hehehe…saya sih mahasiswa arsitektur, ga tahu apa-apa tentang obat2an hehehe. Nanya obatnya soalnya pernah kejadian resep dengan obat yang dikasih diganti pas di apotek gara2 katanya obatnya ga ada….makanya jadi bingung…mana yang bener…apotek atau dokter. Pengalaman pribadi paling tidak dua kali kalo nanya obat apa yang dikasih dan minta dijelasin, sama dokternya cuma dikatain `ini obat untuk penyakit anda, kalau ingin sembuh sudah ngga usah tanya-tanya, toh kalo dijelasin, anda juga ngga tahu`….yah saya sebagai pasien awan jadinya bingung donk….hehe TFS mas

  13. so fr gak pernah ngalamin malprktik. beberpa kali msuk RS krena infeksi ginjal dulu, dokter tu suster yg aan ngsihobt kan selalu memberi tu obt yng di berikan pd kita, bahkn knmemnjawab denga sabar dan ditail obat nya ke kita, Puji TUhan.

  14. nice story…..
    emang kesel juga sama pasien yang sotoy…”Mama bukannya cuman masuk angin dok? Kalo masuk angin kan putih juga di roentgennya?!?” Padahal tumor paru…cape deh..galakan dia lagi.
    masalah tuntut menuntut emang ngeri…barusan ini temenku juga berurusan sama polisi..gara2 keluarga pasien tidak terima anaknya meninggal karena asidosis metab, karena diare berkepanjangan, tidak mau dirawat inap sampai sudah detik2 terakhir…..tuntutannya..selain uang ratusan juta…minta breaking news di semua stasiun TV bertuliskan permintaan maaf atas kelalaian dokter dan RS…

  15. ya untungnya ada surat menolak mondok itu…..yah tetep aja..karena tuntutan dah diajukan….harus beribet2 urusan dengan polisi. sampai dimasukkan ke internet dll oleh pihak keluarga tsb.

  16. repot ya… 😦 begitulah…harusnya kita di Indonesia juga diasuransikan untuk tuntutan dugaan malpraktik ya, jadi ga was-was gini…wong niatnya baik, eh malah dituntut…

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.