Meskipun budaya baca buku bagi saya sudah ada sejak sebelum SD, bahkan bukan hanya buku, namun setiap material yang ada tulisannya seperti label, bungkus, dan barang-barang pulungan – kebetulan saya dulu punya hobi memulung barang rongsokan, dalam artian benaran loh…, bersama teman-teman kecil saya – menjadi bahan bacaan di sela-sela waktu makan, menonton, membersihkan rumah, dan bermain.
Tidak punya uang untuk beli buku tidak menjadikan saya patah semangat untuk membaca dan menambah pengetahuan atau hanya sekedar mencari hiburan. Saat SD hampir setiap hari saya main ke rumah teman yang punya banyak koleksi majalah Bobo dan Ananda, bayangkan, sampai satu gudang gitu koleksinya.
Meskipun saya tidak pernah dilanggani majalah anak-anak oleh ortu karena memang ga ada uang, sesekali ortu tetap juga mengusahakan untuk membelikan bahan bacaan, saya ingat kami dibelikan majalah (lupa judulnya) yang isinya ada cerita si Komo dan si Musang Wangi. Senang sekali rasanya.
Saya dan teman-teman juga termasuk sering pergi ke taman baca buku di pasar dengan menyewa di tempat atau dibawa pulang. Seringnya sih membaca di tempat saja karena kalau membawa pulang lebih mahal dan juga belum tentu bisa menyelesaikan membacanya dalam waktu yang cepat. Biasanya yang saya sewa adalah komik-komik gareng dan petruk. Ini berlanjut sampai saya hobi membaca novel-novel yang lebih dewasa seperti Wiro Sableng dan komik-komik karya Hans Jaladara yang disuplai (dipinjamkan gratis) oleh teman kantor Bapak saya.
Sayang sekali hobi membaca ini menjadikan saya tidak peduli kesehatan saya, sampai SMP saya sudah kena penyakit lambung (gastritis) yang luar biasa sakitnya ketika pertama kali mengalami.
Selain itu, perpustakaan SD sering sekali saya datangi meski pun bukan untuk melihat buku pelajaran karena saya lebih suka membaca ensiklopedia bergambar, sejarah tokoh, fenomena-fenomena sains, buku-buku membuat barang-barang aneh, trik-trik sulap, dan buku-buku elektronika. Alhasil, jadilah tambahan hobi saya waktu itu membuat prakarya (handy craft). Setiap tugas akhir membuat keterampilan di SD, saya selalu memasukkan hasil karya saya dan selalu mendapatkan nilai tinggi. Saya ingat waktu itu dari membaca buku, sejak SD saya sudah bisa membuat periskop (teropong kapal selam), lampu tidur, alarm mekanis, rangkaian elektronika sederhana seperti lampu kelap-kelip, sirene, interkom, detektor air, mobil-mobilan, perangkat-perangkat sulap, dan lain sebagainya. Buku-buku tutorial menjadi koleksi terbanyak saya pada waktu itu, meskipun cuma memfotokopi atau meminjam dari perpustakaan. O, ya, saking cintanya saya dengan buku tutorial di perpustakaan, pernah sampai penuh daftar peminjaman yang ada di belakang buku itu dengan nama saya karena sering kali dipinjam, dan juga tentu saja kasihan dengan buku itu yang sudah lecek, dan akhirnya saya perbaiki, dilem dan diberi sampul plastik atau kertas warna kulit padi.
Ketika kuliah di kedokteran, saya keder dengan harga buku yang selangit, masa’ ada buku harganya 1/2 juta sampai jutaan gitu. Dibelikan stetoskop yang bermerek saja oleh ortu, saya sudah sangat bersyukur. Tapi kalau buku saya ga sanggup. Bisa dihitung deh, seingat saya, saya cuma punya buku teks kedokteran yang asli sekitar 2 buah saja yaitu buku teks Biokimia dan Neurologi Klinis (Syaraf). Lainnya saya ga sanggup beli karena mahal. Buku anatomi bergambar asli tubuh manusia telanjang yang termahal waktu itu pun saya fotokopi terutama bagian yang saya mau pelajari saja, tidak semuanya. Untunglah ada juga teman dan kakak kelas yang bersedia meminjamkan bukunya. Jadi kesedihan tidak punya buku sedikit terobati. Saya juga waktu itu hobi sekali ngendon di perpustakaan kampus, selain buat belajar internet juga buat cari-cari buku yang bisa dibaca, disalin, atau difotokopi. Saya juga sangat terbantu dengan adanya semacam tim pencatat bahan kuliah di fakultas kedokteran yang digawangi oleh setiap angkatan, lalu bahan kuliah dicetak dalam bentuk lembaran fotokopi. Nama timnya HSC (Health Study Club).
Selama di SMA dan kuliah saya dan teman-teman hobi menyelenggarakan bazar, salah satunya bazar buku, kita mendatangi berbagai toko buku, salah satu yang sering kami datangi adalah shopping center buku di dekat pasar Beringharjo, Yogyakarta dan Toko Buku Social Agency yang belakangan saya tahu toko itu punya ortu sejawat saya, dokter di RS tempat saya bekerja. Kita melakukan penawaran menjualkan buku dengan prinsip konsinyasi. Namun keuntungan dari penjualan dari hasil konsinyasi itu kita masukkan semua untuk membiayai kegiatan ekstrakurikuler kita, bukan untuk bisnis pribadi. Tapi yang penting pada waktu itu saya dan teman-teman bisa sambil membaca ketika bazar berlangsung. Di SMA aktifitas membeli buku sangat dipengaruhi ketika saya sudah mengenal Islam melalui pengajian-pengajian. Memang buku yang saya beli sebagian besar cuma buku saku yang harganya ribuan rupiah saja. Saya ga kuat mengalokasikan uang belanja saya yang hanya cukup untuk beli mie rebus untuk beli buku-buku fikih, sirah, dan sejenisnya yang mahalnya minta ampun buat saya. Untunglah ga diminta pun guru dan teman ngaji saya hobi meminjamkan saya buku-buku mahal itu.
Hal yang memalukan sempat pula saya alami dengan tidak punya alokasi biaya untuk membeli buku ini. Seperti kejadian ditegur oleh satpam toko buku karena mencatat tulisan-tulisan yang ada pada buku yang dipajang, hahahaha…, namanya juga usaha kan… Meski pun begitu begitu saya tetap menjaga diri saya supaya tidak tergoda mencuri seperti yang dilakukan oleh oknum teman mahasiswa di fakultas saya. Banyak lembaran buku-buku mahal di perpustakaan yang dipreteli (disobek dengan rapi), tentu saja untuk mendapatkan bahan bacaan yang mereka butuhkan.
Saya akhirnya sempat merasakan bahwa buku itu mudah bagi saya untuk memperoleh dan membelinya, yaitu ketika saya mulai nyambi bekerja ketika program studi koasistensi sedang berjalan. Saya sangat dibebaskan oleh bos untuk membeli buku apa saja yang sesuai untuk pekerjaan saya waktu itu, semahal apa pun buku itu. Dan ketika mendapatkan beasiswa untuk S2 pun saya merasakan surga buku itu, semuanya gratis. Dan buku itu yang termasuk banyak menghiasi kardus dan rak di rumah. Kesadaran untuk membeli buku karena alokasi budget sudah ada, mulai rapi ketika sudah menikah. Saya ingat waktu dulu pernah memborong sekitar 10 buku tebal tentang pernikahan di bazar buku. Sekarang ini hobinya sih membelikan buku untuk anak-anak saya dan hobi membacanya lebih diarahkan membaca koleksi e-book dan surfing di dunia maya. Lebih praktis.
Diajukan untuk lomba [Mozaik Blog Competition]
Baru tahu ada lomba menulis ttg arti buku..wah seru juga ya..tadi saya juga habis jalan2 lihat2 link lombanya.
Bagus tulisannya, mas. Buku2 teks kedokteran memang mahal-mahal sekali ya?
Teringat akan seorang sepupu yg pernah nangis2 karena dia kuliah kedokteran tapi karena pakde saya gualak dan (agak pelit–nuwun sewu padhe–) itu sepupu saya suruh moto kopi dan ngelir buku anatomi. Sepupu saya kuliah di FK-UGM dan romonya juga dosen di UGM. Almamater mas Wid juga kan ya?
Jadi terhenyak mempertanyakan diri sendiri ttg arti buku buat saya..
Makasih Mba Lessy… 🙂
Iya, muahil-muahil, mahasiswa sekarang lebih enak karena sudah banyak e-book bajakannya yang banyak beredar di internet 😀 Buku kedokteran baru bisa saya puas membelinya ketika sudah bekerja…
Hahahaha, iya, ada teman yang juga pake sistem mengelir itu, karena klo difotokopi memang sulit karena untuk membedakan warna jaringan, pembuluh darah, dan sebagainya sulit juga klo hanya fotokopi…
Wah, sepupu Mba Lessy angkatan berapa masuknya? bapaknya siapa? seharusnya saya kenal…
Ayo, Mba, ikut aja lombanya, Mba Lessy kan sangat maniak membaca buku kan…
Subhanallaah hebat+dahsyatnya minta baca pak dokter, barakallaah 🙂
Subhanallaah hebat+dahsyatnya minat baca pak dokter, barakallaah 🙂
hehe..sama pak. buat saya buku itu “mahal” harganya, baik dari segi harga maupun manfaatnya. Makanya koleksi yg ada skrng,saya eman² karna ingat perjuangan waktu belinya ^_^
kepepet ajalah, wong ga ada duit ya harus cari celah 😀
iya Mba, saya sendiri masih menyimpan buku batik tutorial yang saya buat sejak SD yang merupakan salinan dari buku-buku aslinya… asli… saya sangat posesif untuk barang-barang masa kecil saya….
jarang beli seringnya minjem. : ))
hampir sama bacaannya, bobo… dan kemudian wiro sableng 🙂
Baru saja tadi sore jalan ke Gramedia, tertegun di rak buku tema kedokteran, pikir saya, kalau mau jadi dokter yang benar2 dokter,maka buku2 yang ada di rak itu musti habis dibaca untuk memperluas wawasan, nice sharing dok..:-)
Kayanya kita satu generasi yak. Baca Bobo, Ananda, komik Petruk.
Canggih jg bisa bikin macam2 sejak sangat muda. Masya Allah ^^
Kayanya kita satu generasi yak. Baca Bobo, Ananda, komik Petruk.
Canggih jg bisa bikin macam2 sejak sangat muda. Masya Allah ^^
ayo Mbak Wayan ikut juga aja. Makasih Mas Wid partisipasinya.
Saya ga pernah beli buku diktat kuliah yang asli. Ga sanggup. Muahal bener. Hehe.
Biasanya ngopi atau beli bajakannya. Di sekitar UI banyak. 😀
klo ngga, dapet buku turunan dari kakak kelas.
waaa…. iya.. buku kuliah emang muahalll banget. si sulung 1 th di International Law dan buku nya bhs inggris semua hargaya jutaan *nangis kenceng*
kalau sekarang beli buku sdh agak entheng, ya?
Saat SD hampir setiap hari saya main ke rumah teman yang punya banyak koleksi majalah Bobo dan Ananda, bayangkan, sampai satu gudang gitu koleksinya
=====================================================
ini mirip pengalaman saya jaman SD mas, ada teman yg koleksi majalah anaknya segambreng. gak boleh pinjem dibawa pulang, tapi boleh baca sepuasnya di rumahnya 🙂
mayan ….punya teman dengan banyak buku itu termasuk rejeki kan ?
era internet ini ketelong googling, jadi gak bergantung buku 'fisik' yg kadang muahal…
yang penting dapat ilmunya ya…
hehe… masih segenerasi ya…
engga juga sih Mba… saya termasuk males baca buku kedokteran 😀 buku dibuka klo butuh referensi saja… sebagian besar sudah tercover dalam diktat kuliah dan praktik keterampilan…
Iya ya… petruk waktu itu seru-serunya jadi jagoan tumaritis, hehe…
saya dulu salah masuk jurusan kata banyak teman dan istri saya 😀
Senang ikut berpartisipasi Mas… 😀
Selalu ada jalan ya Mba Evi.. 🙂
hehe….
terasa banget tuh klo sekolah internasional ya…
lumayanlah Dok, meski ga rutin juga sih…
Iya, saya kangen juga dengan teman saya itu, pas akhir SD dia sudah pindah sekolah, jadi merasa kehilangan banget, dia dan bukunya, hahaha….
iya, sangat menolong itu di zaman internet ini Mas, meskipun ilegal, namun ilmu kan harus dicuri, hahaha….
Iya nih, kalo adiknya semua buku di dpt dari sekolah, ya bayaran sekolahnya mahal tapi udah gak mikirin buku, ada di perpustakaan sekolah. kakak nya bayaran sekolah lebih murah dari adiknya tapi buku nya…… ampyunnnnnnnnn……………
Dulu aku SD punya buku buanyak… karena uang saku tak beliin buku dan buku dan buku.. dan bpk nya sahabatku itu dealer buku, segala majalah, koran, komik, novel dan buku2 pelajaran ada di toko nya dan berhubung bpk ibu sahabatku ini sayangggg…. banget sama aku *nggaya* ya semua majalah gratis…….. kalo buku harganya separo. Bahkan saking senengnya ngumpulin buku… pernah lho aku punya perpustakaan (buku ku semua dipelihara rapi dan selalu nge cling), dan tak sewain ke teman2 hihihihi………. sewanya murah buat ganti bikin plastik cover nya dan buat beli cemilan *gaya kan? perpustakaanku pake gratis minum dan tempe tahu goreng* bwakakkakakkakkaaaaa………….. dan laris manis lhoooooo…………………….
Sekarang masih ada buku-bukunya, Mbak?
boleh juga cek di http://mygreatserendipity.wordpress.com/2012/01/20/balada-farmakologi/
beruntung banget Mba!
Setelah bongkar2 Facebook saya baru bisa jawab pertanyaannya mas Wid niy *duh malu juga ketahuan udah lama gak ketemu sama sepupu* Seingetku dia lebih muda beberapa tahun di bawahku…dan bener..sepupuku angkatan 97 Namanya Nia.
Ayahnya bukan di FK mas…mm…kalau nggak salah di Fakultas Pertanian.
Mas Wid angkatan berapa tha?
Tertarik ikutan juga, walaupun kurasa aku bukan maniak membaca buku kalau dibandingkan dengan teman-teman yg lain.
ini ya: http://www.facebook.com/people/Nia-Ariasti/1487433118
iya, saya sering lihat orangnya, cuma ga pernah komunikasi kayaknya 🙂
sepertinya Mba Nia ambil spesialis Mata ya…
saya angkatan 98 Mba
iyaaaa…benerrr…nia yg itu…^_^
Lho..ternyata mas Wid angkatan lebih muda lagi ya?
iya masih muda hahaha…
:)) kirain kita seumuran
waduh…. *ga papa sih dituakan, merasa terhormat 😀 kata lain Mba Lessy awet muda hahaha…
http://subhanallahu.multiply.com/journal/item/100/Bagaimana_bila_anda_dibilang_lebih_muda_6_tahun
:))) iya siy…emang bener kok membahasakan “mas” itu gak selalu karena tua beneran tapi ngajeni. Tapi kalo dengan sukarela dipanggil “dek” juga gak apa apa kok, bukan mengecilkan tapi disayangi… nggak sedikit temen2 yg lebih tua yg bersedia saya panggil “dek” lho xixixi….soalnya saya juga sering sok tua kok, jadi dikira lebih tua…:P
atau kalau gitu random dan inkonsisten saja saya manggilnya ya..kayaknya seru juga..piye?
buku kedokteran emang mengerikan harganya…. 🙂
* diluar negeri kabarnya, mahasiswa kedokteran paling banyak “berhutang” denagn pemerintah ya kalau biaya kuliah dan buku?
kalo sekarang di toko buku semua diplastiki..ga bisa nebeng baca…
alhamdulillah ya akhirnya bisa merasakan “surga buku” 🙂
saya juga anak pertama Mba… 😀
terus terang saya lebih suka dipanggil Mas, hahaha… nanti istri saya protes, karena dia juga lebih tua dari saya, tapi juga manggil Mas kok… 😀
saya ga tahu Mba… kayaknya gitu deh… 🙂
biasanya saya lobi petugasnya supaya mau buka dengan ngomong: “Mas/Mba buku ini bagus, tapi ada sampelnya ga? klo engga mbo yang ini dibukakan nanti kan bisa disampul lagi, masa saya beli kucing dalam karung… ?” 🙂
🙂 wah ide bagus
terimakasih
sama-sama… 😀