Saya sebenarnya tidak terlalu berambisi untuk mengambil pendidikan spesialis. Sudah sangat kebal bagi saya setiap kali orang menanyakan: “Dokter spesialis apa?”, atau “Sudah spesialis apa, Dok?”, “Kapan ngambil spesialis, Dok?”
Entah apa yang ada dibenak para penanya tersebut. Namun saya menduga sebagian besarnya adalah sama karena menganggap mungkin menjadi spesialis itu lebih mapan terutama dari sisi finansial. Pernah ini terpikir pada saat ngobrol dengan tetangga yang juga sukanya membanding-bandingkan saya, yang dokter umum dengan tetangga baru yang dokter spesialis jantung (anak) dengan rumahnya yang gede mentereng. Bahkan mungkin dengan maksud memanas-manasi saya, tetangga itu bilang bahwa dokter spesialis jantung itu juga masih muda seperti saya, yang ternyata belakangan saya tahu ternyata dokternya udah bangkotan, hahaha….
Biasanya saya langsung mengunci dialog, bila ada yang menanyakan hal itu, saya akan langsung ngomong: “saya lagi S2”, atau “saya sedang fokus karir di RS dulu”, atau klo teman dekat yang nanya langsung saya bilang: “blum ada duit.” hahaha. Baru biasanya mereka ga tanya-tanya atau meremehkan lagi.
Apapun kata orang, tapi saya ingin meluruskan bahwa dokter itu punya banyak jenjang karir, bukan hanya spesialis saja. Bahkan trennya sudah banyak yang ga ngambil spesialis karena berbagai hal, misalnya (yang positif saja ya):
- Karena sudah mapan menjadi dokter umum, terutama mereka yang praktik di perifer/daerah terpencil, mereka sudah jadi raja di sana.
- Lebih memilih untuk menjadi bisnismen, dan bisnisnya udah sukses, jadi kalau orientasinya cuma duit, untuk apa ngambil pendidikan spesialis.
- Lebih fokus menjadi ibu rumah tangga, ini terbukti dengan teman-teman sejawat saya yang sudah menjadi ibu bagi anak-anaknya, memang mereka sebagian besar sudah mapan, ortu dan suaminya sudah kaya, jadi ga mikir macam-macam lagi.
- Lebih memilih karir di birokrasi yang ternyata lebih banyak duitnya dan bahkan lebih bebas mengatur orang atau dokter, misalnya jadi pejabat di Kementerian Kesehatan.
- Lebih memilih karir manajemen seperti di RS, ya seperti saya ini contohnya, bisa mengatur banyak orang, hidup lebih santai, bisa pergi lebih bebas, dan tidak selalu terikat jam kerja kantor, itu menurut saya yang saya rasakan, dibandingkan saya praktik seperti kejar setoran pada zaman baheula. Lalu apakah saya tidak punya minat untuk spesialis, ya tentu tetap ada, tapi saya akan melihat-lihat perjalanan karir saya dulu. Ada banyak rencana dalam hidup saya daripada hanya fokus untuk menjadi spesialis.
- Bagi sejawat yang baca ini, silakan ditambahkan ya…
Pic dari
sini
sini
Curcol seorang dokter umum…
saya pernah review pembiayaan kredit syariah seorg dr sp.m. Pendapatan bersihnya per bln mencapai 200 jt. He2. Temen2 sy yg alumni fk jg rata2 obsessed utk ambil spesialis. Di padang ada stigma blm jd dokter klu blm spesialis. Konon, biayanya mncapai 0.5 m.
begitulah 😀 saya bangga sebagai dokter umum, dokter yang paling pintar untuk semua jenis penyakit, hahaha…. coba aja tanya bagaimana cara mengatasi anak batuk pilek pada dokter bedah, pasti mereka geleng-geleng kepala.
lucunya beberapa kali saya disangka sebagai dokter obsgin, pernah beberapa kali dapat telepon dan sms dari seberang pulau menanyakan kasus obsgin karena setahu mereka saya dokter obsgin….
itu hanya segelintir orang saja di antara spesialis yang sangat kaya raya, nyatanya sebagian besar dokter atau bahkan orang yang kita cap kaya, utangnya ya juga sangat banyak kan, contoh: dokter bedah di tempat saya duitnya habis buat bayar kredit mobil, buat nyekolahin anak, dsb, mengapa saya bisa tahu, ya karena saya tahu beliau selalu minta kasbon 10 juta setiap akhir bulan sebelum terima gaji di bulan berikutnya, tidak jarang mereka juga lebih pelit, ini pengamatan saya, terutama dalam mentraktir, bahkan pelit banget, artinya saya yakin pengeluaran mereka jauh lebih besar, padahal belum tentu itu kebutuhan dasar mereka kan….
ada tren ke depan, bahkan sudah ada wacana sejak saya sekolah dulu bahwa akan ada standardisasi gaji dokter, umum mau pun spesialis, seperti di beberapa negara maju, sehingga tidak ada gap dan saling iri dengki serta semakin kuatnya MAFIA dokter.
stigma seorang dokter harus menjadi spesialis ini sebenarnya pada akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri, karena mereka tahu kan dokter spesialis itu mahal untuk berobat, dan akhirnya ada pergeseran salah arah yang sudah sangat lumrah, kalo hanya sekedar batuk pilek saja harus berobat ke dokter anak, panu kadas kurap harus ke dokter kulit, ini sudah sangat salah kaprah, stres harus ke dokter jiwa, melahirkan harus ke dokter kandungan, dsb.
Alhamdulillah, sekolah spesialis sekarang sudah sangat jauh lebih murah, dulu memang bisa mencapai angka segitu. Sekarang cukup 7-8 juta per semester, bahkan di Surabaya lebih murah antara 1,5-3,5 juta per semester untuk pendidikan spesialis. Total biaya sekolah sudah di bawah 100 juta (70-90 juta) selama 8 semester. Lebih murah daripada sekolah S2 atau S1 program internasional. Di samping itu sudah banyak beasiswa spesialis.
yup. Sepakat.
uum… menyimak aj deh pak *pasien mode=on* 😀
Hiks aku juga kena paradigma, klo ke dokter harus ke specialist (mumpung dibayarin kantor hehehe) tapiiii… Deket rumah ada dokter umum, ngetooop banget, n klo aku males ke rs, aku sekeluarga pada kesana, n cocok, trus katanya si dokter punya specialis, tp ga dipake ama belio, soalnya lebih untung jd dokter umum dia,
kalau ada yang nanya bilang saja "dokter spesialis umum" He..he..he… Btw, ambil MARS sja di UGM, stl itu S3
Pemerintah kita dan organisasi dokter spesialis berkoar-koar negara kita masih sangat kekurangan spesialis, namun mereka lupa bahwa dokter umum yang yang jumlahnya sekitar 80 ribu lebih di Indonesia ini tidak mampu mereka openi dengan baik, gaji dokter PTT mengenaskan bahkan sering telat dan dirapel. Bukan hanya dokter umum loh, dokter spesialis pun terutama yang ikatan dinas tidak dihargai oleh pemda-pemda sekarang. Masa insentifnya antara 10-20 juta saja, itu mah sama aja dengan di RS saya, hahaha…. Data tahun 2007 55.997 dokter umum dan 15.310 dokter spesialis. Dan dokter spesialis itu 20 persennya ada di Jakarta (kota besar) loh, jadi bermimpi aja Indonesia ini akan terjadi pemerataan dokter ke seluruh pelosok Indonesia klo orientasi spesialisnya ga bener dan pemerintahnya juga ga jelas kebijakannya.
hehehe, mari jadi pasien yang pinter, jangan terbawa arus dan tren ga jelas…
hehehe, banyak juga dosen saya yang sudah jadi subspesialis juga masih tetap praktik dokter umum (sebenarnya ini menyalahi aturan negara yang ada sekarang…), karena nyatanya lebih makmur jadi dokter umum, meskipun mungkin lebih capek, hahaha….
saya tertarik dengan dokter spesialis gawat darurat di Malang Dok (baru ada satu ya di Indo), pasti pintar banget tuh klo jadi dokter itu, tapi apa mau RS membayar mahal dan apa para spesialis yang banyak terkait dengan situasi gawat darurat itu ga akan iri dan dengki karena lahannya (kaplingan) mereka diambil, hehehe….
Klo saya jadi lulus tahun ini (aamiin…) nanti saya dapat title MPH deh…, klo S3 ya lihat dululah, klo keluar negeri OK-lah, hahaha….
kenapa klo yang pengen jadi dokter orientasinya duit? 😀
pasti, maksudnya saya pastikan sebagian besar begitu, saya dulu sih di bujuk bapak saya sekolah kedokteran dengan alasan belum ada di antara keluarga besar kami yang jadi dokter, hahaha….
indikator dokter yang mata duitan sebagai berikut (dari pengamatan saya dan dari sharing teman-teman sejawat…):
1. berapa tarif periksa pasiennya klo saya praktik di sana? jujur pertanyaan ini juga pernah saya pake sendiri tapi dengan maksud untuk lebih memanajemen waktu saya, praktik dikit saja tapi bisa dapat uang lebih besar, sisanya bisa buat istirahat dan sebagian besar lainnya buat keluarga. Sejak saya lulus saya cuma menggunakan hak saya untuk praktik, hanya di dua tempat saja dari 3 hak yang diberikan, sedang beberapa rekan saya yang kemaruk ada yang praktik sampe 5 tempat, bahkan ada seorang dokter spesialis yang saya kenal praktik di 13 tempat!! bayangkan deh…
2. ga mau atau sewot bahkan memboikot bila ada dokter lulusan baru yang mau bekerja di tempatnya atau satu wilayah saja dengannya, apalagi jenis spesialisnya sama, takut diambillah jatah "nasi di piringnya", padahal saya salut dengan seorang dokter spesialis bedah yang ngomong ke saya: "rezeki orang itu udah ada masing-masingnya, berapa pun dokter yang masuk atau berapa pun saingan, rezekinya ga akan kemana…" *salut habis saya, dan itu memang terbukti!
3. dokter yang ngomongnya gini ke saya: "maaf ya Dok, honor saya itu ga cukup untuk makan mobil saya itu…" *dia pake Nissan Terano, yang belum tentu dia beli juga dengan duitnya sendiri, hahaha… Iya klo praktik dan jumlah pasiennya banyak, tapi lebih memilih mengeluh duluan daripada menunjukkan kinerjanya.
4. "eh, kamu bisa kasih berapa ke saya, klo obat ini saya resepkan sejumlah sekian kepada pasien saya?" atau "pokok-e seminggu lagi sudah ada Mac Book keluaran terbaru di meja saya, klo engga obatmu ga akan saya pake lagi!"
5. maaf ya, klo ga bisa bayar, yang ga usah berobat di sini ya…
6. banyak lagi yang lain, silakan ditambahkan…
enjoy aja sih intinya.. apapun karir atau bisnis yg kita inginkan 😛
yang penting bisa menikmati dan enjoy 🙂
Tapi mas, kalau melanjutkan pendidikan seperti itu tidak dibiayai perusahaan ya? (meninjau dari sudut pandang orang teknik, hehe)
Jadi spesialis atau tidak, meskipun gaji lebih banyak. belum tentu itu jadi tolok ukur kebahagiaan seseorang.. 🙂
yup setuju, bukan orang yang menyetiri kita, kitalah yang harus menyetiri hidup kita sendiri, hehe…
cuma kecenderungan dokter umum harus spesialis ini analog dengan pegawai harus PNS gitu deh, hehe…
yo’i 🙂
Ya tergantung, mau spesialis itu macem-macem caranya:
1. Pake beasiswa dari Kemenkes atau dari orangtua atau mertua (hehe), ya atau dari perusahaan/instansi tempat bekerja, RS saya sudah mulai menyekolahkan dokter umum ke spesialis…
2. Dari duit sendiri, hasil nabung lama dari bekerja sebagai dokter umum atau kerja lainnya
3. Ngutang, bisa dari bank, instansi tempat kerja, atau ortu (haha….)
Lah, benar itu, bahagia ga identik dengan banyak duit, contohnya tetangga saya juga tuh, rumah paling gede sendiri se-RT, seharga 6 M, ada juga rumah lainnya yang bertebaran di berbagai tempat, akhirnya ya mati mendadak kena serangan jantung, padahal dia cuma punya istri 1, dan ga punya anak, jadinya tuh yang menikmati siapa gitu… 😉
aku mah ogah PNS 😛
sip-lah… :-))
tipikal dokter yang raut mukanya agak2 gimanaaaaaaaa gitu, kali. hahahaha.
baidewai pak Dokter, kalau ijazahnya kejar paket C kira2 nantinya keterima sekolah kedokteran gak ya pak? saya pengen homeschool anak2 tapi ditentang orang2 yang masih mind set nyari kerjaan…
Hari gini, punya anak yg ber cita2 jd dokter pusing jg ya, slain mesti pinter jg modalnya besar.Jd rindu beasiswa supersemar, anaknya orang miskin , klo pinter msh memungkinkan jd dokter.
ceritanya keponakan yg dokter (dan sudah PNS) tetep pengen ngambil spesialis emang nyari duit gede siy mas. di daerah kan jarang dokter spesialis, jadi kalau praktek gak ada saingan katanya 🙂
ya, saya juga sudah dengar pendidikan tsb sejak beberapa tahun yg lalu. Ajukan saja ke pihak manajemen, semacam portofolio. Saya kira akan bagus prospek sebuah RS yang ada dokter spesialis medical emergency.
sebenarnya kebijakan pengabdian pasca dokter umum (WKS kemudian PTT) dan pengabdan pasca dokter spesialis jaman dulu itu sudah cukup baik kok. Tapi rupanya ada invisible hand yang bermain sehingga kebijakan tersebut dihilangkan. Jadi dokter sekarang mungkin saja tidak akan pernah merasakan pengabdian di daerah terpencil. Sekarang memang ada program internship, tapi tetap di rmah-rumah sakit kabupaten. Bukan di tingkat PKM. Btw, dulu dr. Widodo PTT nya dimana?
wow…bagaimana cara menyiasatinya??
gimana tuh mukanya?
wah, saya ga paham yang itu Mba, coba ditanyakan ke Diknas gitu deh 😀
saya berharap sekolah dokter ini ke depannya menjadi sekolah kedinasan seperti hal-nya STPDN, STAN, dsb, sehingga bisa gratis, dan setelah jadi dokter pun, lebih bisa diatur penempatannya.
Jujur Mba, saya ga ingin anak saya jadi dokter lagi, hahaha….
tergantung spesialisnya Mba, biasanya yang rame itu 4 besar: bedah, penyakit dalam, anak, kandungan. Setahu saya memang cuma ada 2 niat ngambil spesialis itu, mendapatkan duit lebih banyak atau untuk cita-cita karena menyukai bidang yang diambiulnya walaupun tidak tren, misal ilmu jiwa, ilmu forensik, dsb…
Nah, kata-kata "saingan" ini sebenarnya yang menunjukkan bahwa sistem kesehatan dan praktik kedokteran di negara kita ini masih sangat jelek. Demi melestarikan tampuk kekuasaan di suatu daerah, beberapa kumpulan dokter spesialis tega membuat semacam mafia agar tidak boleh ada spesialis baru yang masuk ke wilayah kekuasaan mereka supaya pendapatan mereka tidak turun, ini kan sebenarnya manusiawi ya, monopoli tapi selanjutnya ini hanya menjadi bom waktu dan berdampak jelek pada masyarakat sendiri, masyarakat susah mendapatkan second opinion, dokter ibarat dewa klo ga mau diterapi begini pasien tidak punya pilihan lain meskipun dokternya brengsek. pasien akan sangat banyak sedangkan pada dasarnya kemampuan dokter ada batasnya, akhirnya rentan mal praktik, pasien tidak puas karena periksanya cuma sekilas, dsb.
Sistem yang baik menurut saya pasien tidak boleh membayar dari sakunya sendiri tapi dengan sistem pembayaran asuransi untuk semua warga dan perbaikan fasilitas di daerah agar pemerataan dokter bisa terealisasi, tidak cukup hanya memberikan insetif besar kepada dokter yang mau ke wilayah terpencil.
bagus Dok, asal juga diiringi keinginan menghargai lulusannya 🙂
Alhamdulillah saya ga PTT Dok… 😀
ya, spesialis radiologi gitu, wajarkan Dok? hehe….
wow, ada sistem kayak gitu ya dok? Wah, saya baru tau….. di setiap daerah gitu dok Atau beberapa daerah saja?
Salam kenal ya dok…. :)….. Dokter jadi ngambil spesialis yang kegawtdaruratan medik itu?
Terima kasih banyak atas pencerahan ini, Pak! Artikel ini telah mengobati ke-sotoy-an saya. 🙂
Wah, sudah rahsia umum itu… 😀 sebagian besar begitu.
Salam kenal kembali, dan kita sudah jadi kontak kok 🙂
Entahlah, saya masih belim mikir lagi ke sana, kemarin juga saya di dorong terus ambil spesialis oleh ketua yayasan RS saya dengan biaya dari RS, tapi saya menolak dulu secara halus, karena saya belum selesai S2, dan menunggu posisi jadi direktur dulu 😀
Makasih banyak sudah berkunjung ya 😀
Memang masih banyak hal yang tersembunyi dalam dunia kedokteran…
urun rembug ya: barangkali, kalau kita bisa pegang 3 hal dengan kuat kita nggak akan mudah goyah oleh omongan orang:
1. Mujahadah. Seseorang hendaknya memang tidak berhenti pada satu titik keahlian dan kemampuan. Mestilah dalam benaknya harus tertanam saya harus bisa lebih baik lagi (sebagaimana juga Hadits Nabi). Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dst. (dan ukurannya bukan semata materi dan dunia serta yang dapat dilihat indrawi. Termasuk spiritual, seperti ketaqwaan, keshalihan, kedermawanan dlsb). Dari standar no 1 ini, ketika kita akan sekolah lagi dlsb, motivasinya akan menjadi lain, yakni pertama karena ingin mengikuti sunnah Nabi untuk dapat menjadi yang lebih baik setiap harinya di sisi Allah dan di sisi manusia. Yang kedua karena ingin mewujudkan rasa syukur. Syukur, karena kita yakin bahwa Allah mengkaruniai kita potensi yang besar dan luas. Dengan motivasi seperti itu, Omongan orang sekedar sebagai masukkan saja.
2. Khairukum anfa’uhum linnas: sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat buat orang lain. yang dimaksud sebaik-baik di sini tentu sekali lagi juga dari sisi Allah (niat, semata setiap amal dan perbuatan hanya mengharap ridha dan pahal dari Allah) dan dari sisi manusia (yang memberi manfaat kepada dua orang adalah lebih baik daripada yang memberi manfaat hanya kepada satu orang dst…). Dari Hadits Nabi ini, maka apa pun kita, entah dokter umum maupun or spesialis, dokter struktural maupun fungsional ndak akan saling iri kecuali untuk berfastabiqul khairat. Belum tentu yang struktural atau bahkan direktur, juga spesialis lebih baik dari dokter umum. Banyak lho direktur yang korupsi, Banyak juga lho spesialis yang cethil, medhit, pelit buangeeets, meski naiknya Fortuner atau Alphard.
3. Uang, mobil bagus, rumah mewah, jabatan, atau apa lah yang kita manusia ingin memilikinya biasanya akan mengikuti kedua standar di atas.
4. Piye menurutmu……?????
biayanya juga mahal ya jelas mapan tow