
Isra’ Mi’raj Tidak Masuk Akal?
Oleh: Dr. Adian Husaini
DALAM sebuah acara peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw, di Jakarta, pembawa acara menyampaikan narasi, bahwa Isra’ Mi’raj adalah adalah sebuah peristiwa yang harus diterima dengan iman dan tidak bisa diterima dengan akal, karena peristiwa itu memang tidak masuk akal. Mungkin, kita sering mendengar ungkapan serupa; bahwa hal-hal yang ghaib harus diterima dengan iman, bukan dengan akal. Benarkah pernyataan seperti itu?
Ketika itu, saya menguraikan, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj memang tidak masuk di akalnya Abu Jahal. Tetapi, peristiwa tersebut masuk di akalnya Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.. Abu Jahal bahkan menjadikan Isra’ Mi’raj sebagai senjata untuk menarik kembali orang-orang Quraisy dari keimanan Islam. Dan memang, sejumlah orang akhirnya keluar dari Islam, karena menganggap cerita Isra’ Mi’raj sebagai kebohongan dan tidak masuk akal.
Tetapi, provokasi Abu Jahal dan beberapa tokoh kafir Quraisy tidak ‘mempan’ untuk membatalkan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau cukup berlogika sederhana: Jika yang menyampaikan berita itu adalah Muhammad saw, pasti cerita itu benar adanya. Bahkan, lebih dari itu pun Abu Bakar ash-Shiddiq percaya. Jadi, Isra’ Mi’raj sangat masuk di akalnya Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, dan tidak masuk pada akalnya akalnya Abu Jahal.
Persoalan akal mendapatkan kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Orang dibebani kewajiban menjalankan syariat jika dia sudah “mukallaf”, artinya, dia sudah baligh (dewasa) dan mempunyai akal. Jika hilang akalnya, maka dia bebas syariat. Itulah karunia Allah! Manusia bisa saja menuntut bebas dari melaksanakan syariat Allah, asalkan mereka sudah kehilangan akal.
Memang, dengan akal-lah manusia dikatakan sebagai manusia. Laulal aqlu la-kaanal-insaanu kal-bahaaim. Begitu sebuah ungkapan Arab yang bermakna: tanpa akal, maka manusia ibarat binatang. Manusia menjadi manusia, karena akalnya, bukan karena jasadnya. Lihatlah, seorang ahli fisika Inggris Stephen Hawking! Meskipun tubuhnya sudah lemah lunglai, terhempas di kursi roda, tanpa bisa berkata apa-apa, jalan pikirannya tetap diperhatikan oleh dunia. Meskipun dia sekular, tetapi dia tetap dipandang sebagai manusia. Akalnya masih ada!
Bandingkan dengan seorang yang masih gagah perkasa atau cantik jelita, jika hilang akalnya, maka hilang pula nilainya sebagai manusia. Karena itu, kita melihat ada hal yang kontradiktif pada kaum sekular yang memandang manusia hanya dari segi fisiknya saja. Tengoklah buku-buku sejarah atau Biologi yang diajarkan kepada anak-anak kita! Tatkala membahas tentang asal-usul manusia, mereka hanya berbicara tentang sejarah fisik atau tubuh manusia. Yang mereka teliti hanya sejarah tulang belulang. Mereka hanya meneliti fosil, karena hanya itu yang bisa mereka lihat.
Mereka tidak mengakui adanya RUH yang justru merupakan inti dari manusia. Sedangkan jasad adalah “tunggangan” RUH. Saat bicara tentang sejarah manusia, maka harusnya mereka sampai pada satu momen penting dari sejarah manusia, yaitu tatkala manusia membuat perjanjian dengan Allah di alam arwah. Ketika itu, Allah bertanya: “Apakah Aku ini Tuhanmu?” maka serentak manusia menjawab: “Benar, kami menjadi saksi!” (QS 7:172).
Itulah sebuah momen penting dari sejarah manusia. Bukan hanya menelusuri sejarah tulang belulang. Sayangnya, kaum sekularis dan materialis tidak mengakui informasi yang berasal dari wahyu sebagai “Ilmu”. Bagi mereka informasi wahyu dianggap sebagai dogma, yang tidak bisa diilmiahkan. Informasi tentang RUH, alam akhirat, dan alam ghaib lainnya, tidak dikategorikan sebagai ilmu. Karena itulah, dalam struktur keilmuan yang banyak dipelajari di sekolah-sekolah atau Perguruan Tinggi sekarang, yang dimasukkan dalam kategori “sains” hanyalah hal-hal yang bisa diindera. Mereka tidak mengakui adanya Sains tentang akhirat, sains tentang sorga dan neraka.
Padahal, dalam Islam, informasi tentang sifat-sifat Allah, tentang Akhirat, adanya pahala dan dosa, tentang berkah, dan sebagainya, merupakan bagian dari Ilmu! Informasi tentang kenabian Muhammad saw, bahwa beliau menerima wahyu dari Allah SWT, adalah merupakan ILMU. Dalam QS 3:19 disebutkan, bahwa kaum ahlul kitab tidak berselisih paham kecuali setelah datangnya ILMU pada mereka, karena sikap iri dan dengki. Jadi, bukti kenabian Muhammad saw adalah suatu ILMU, yakni suatu informasi yang pasti kebenarannya.
Jadi, informasi tentang hal-hal ghaib adalah ILMU dan masuk akal. Sebab, informasi itu dibawa oleh manusia-manusia yang terpercaya. Karena sumber informasinya adalah pasti (khabar shadiq/true report), makan nilai informasi itu pun menjadi pasti pula. Sebenarnya, fenomena semacam ini terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita percaya, bahwa kedua orang tua kita sekarang ini, benar-benar orang tua kita, juga berdasarkan informasi dari orang-orang yang kita percayai. Karena semua orang yang kita percayai memberikan informasi yang sama – bahwa mereka adalah orang tua kita – maka kita pun percayai, meskipun kita tidak melakukan tes golongan darah atau tes DNA.
Mungkin ada mahasiswa yang berlagak kritis dan rasional dalam segala hal. Dia mau mengkritisi semua hal. Katanya, “Saya hanya percaya kepada hal-hal yang bisa diindera secara langsung atau yang rasional. Di luar itu, saya tidak percaya!”
Kita jawab: “Anda pun tidak kritis pada diri Anda sendiri. Coba tanyakan dengan cara yang sesopan mungkin kepada kedua orang tua Anda, apa bukti ilmiah yang empiris dan rasional bahwa Anda benar-benar anak mereka?”
Seorang mahasiswa tidak akan pernah menjadi sarjana, jika dia bersikap kritis. Saat dosennya menyatakan, bahwa ini adalah rumus Phytagoras atau hukum ini ciptaan Archimides, maka si mahasiswa yang mengaku kritis tadi, harusnya bertanya kepada dosennya, bagaimana Bapak tahu, bahwa rumus itu berasal dari Phytagoras? Bagaimana membuktikannya? Apakah Bapak melihat sendiri? Kenapa Bapak percaya begitu saja.
Saat seorang dosen atau guru fisika menerangkan bahwa kecepatan cahaya adalah 270 ribu sekian km/detik, maka si mahasiswa harusnya bertanya, “Bagaimana Bapak bisa mengatakan seperti itu. Apa buktinya?”
Syahdan, dulu ada seorang ilmuwan di Indonesia yang terkenal sangat rasional dan “Western oriented”. Dia hanya mau menerima hal-hal yang empiris dan rasional. Suatu ketika, sang ilmuwan ini akan balik kampong dan menaiki Kapal Laut. Maka, temannya, yang seorang cendekiawan Muslim mengingatkan dia: “Jika kamu rasional, harusnya kamu tidak naik kapal, tetapi berenang. Sebab, ketika naik kapal, kamu sudah tidak rasional, karena kamu percaya saja kepada nakhoda atau petugas kapal yang kamu tidak kenal sama mereka!”
Tatkala kita menaiki pesawat terbang, kita dipaksa menjadi tidak rasional dan tidak kritis.Saat diumumkan, bahwa pesawat ini akan menuju suatu kota dengan ketinggian sekian, dengan pilot Si Fulan, maka kita pun percaya begitu saja! Padahal, kita tidak kenal sama sekali dengan para awak pesawat, tidak mengecek langsung, apakah si pilot benar-benar pilot atau pelawak.
Itulah anehnya manusia. Kadangkala, mereka percaya kepada dukun yang jelas-jelas mengaku bodho, percaya kepada ilmuwan fosil yang belum tentu jujur, percaya kepada pramugari pesawat yang sama sekali tidak dikenalnya. Tetai, ajaibnya, mereka tidak percaya kepada seorang “manusia” yang kejujurannya diakui oleh bangsanya, diakui oleh kawan maupun lawannya. Bahkan, sejak umur 25 tahun, kaumnya sudah member gelar istimewa “al-Amin”, manusia yang terpercaya.
Jika dukun yang menamakan dirinya sebagai orang bodho bisa dipercaya, mengapa kita tidak percaya kepada Nabi Muhammad saw? Itulah akal Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., yaitu akal yang jernih; akal yang sanggup mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Saat berita Isra’ Mi’raj itu tiba padanya, maka Sayyidina Abu Bakar cukup menggunakan logika yang sederhana: Jika yang mengatakan itu adalah Muhammad saw, pasti itu benar adanya!
Ada lagi sebagian kalangan yang berlagak kiritis kepada Nabi Muhammad saw, kritis kepada sahabat Nabi dan para ulama terkemuka. “Kita harus kiritis!” katanya. Bahkan, masih kata dia lagi, “Kita harus berani kritis terhadap pikiran kita sendiri!”
Dalam acara bedah Novel Kemi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 28 Juni 2011, ada seorang mahasiswa bertanya kepada saya: Apa definisi iman, kafir, dan sebagainya?”
Tentu saja, saya cukup keheranan. Bagaimana seorang yang belajar agama Islam pada level perguruan tinggi masih belum tahu, ada definisi iman dan kafir. Saya jawab, “Kenapa kita tidak merujuk saja kepada pendapat para ulama yang mu’tabarah tentang definisi-definisi tersebut? Lihat saja pendapat Imam al-Syafii, Imam al-Ghazali, dan sebagainya!”
Si mahasiswa tadi sebenarnya sedang menghadapi krisis otoritas. Dia menolak otoritas para ulama Islam, tetapi mengakui otoritas Nasr Hamid Abu Zaid, dan para orientalis. Dia lebih percaya kepada pendapat orientalis ketimbang pendapat ulama. Padahal, setiap bidang ilmu selalu menempatkan otoritas-otoritas tertentu. JIka kita belajar Fisika, maka kita diminta menerima otoritas keilmuan yang dimiliki ilmuwan-ilmuwan besar di bidang Fisika. Sama halnya dengan otoritas di bidang ilmu ekonomi, ilmu Sosiologi, dan sebagainya. Ironisnya, saat ini, otoritas keilmuan di Perguruan Tinggi kadangkala diletakkan kepada gelar formal, dan bukan pada kualitas keilmuan seseorang. Meskipun bodoh dan kurang ilmu, tetapi karena sudah bergelar professor maka dia diberikan otoritas keilmuan di bidangnya.
Jika mahasiswa tidak mengakui otoritas keilmuan seseorang, maka dia tidak akan pernah menjadi sarjana, sebab saat menyusun skripsi, tesis, atau disertasi, pasti dia mengutip sana-sini, pendapat-pendapat dari orang-orang yang dianggap mempunyai otoritas tertentu di bidangnya. Saat membahas tafsir UUD 1945, tentu kita lebih percaya kepada tafsiran Prof. Dr. Jimly ash-Shiddiqy dibandingkan tafsiran Inul atau Thukul.
Untuk menundukkan akal manusia agar menerima kebenaran misi kenabian, maka Allah memberikan bukti-bukti nyata berupa mu’jizat pada para utusan-Nya. Dengan itu, diharapkan, akal manusia akan menerima kebenaran yang berasal dari Allah, yang merupakan sumber kebenaran. Jadi, berita tentang misi kenabian adalah suatu Ilmu dan ilmiah. Adalah ironis, jika berita kenabian tidak dianggap sebagai ILMU, sedangkan informasi tentang kehidupan di bumi jutaan tahun lalu, dianggap sebagai ILMU.
Pintu masuk seorang menjadi Muslim adalah “syahadat”: saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Konsekuensinya, seorang Muslim pasti percaya kepada apa pun yang dikatakan oleh Nabi Muhammad saw. Allah adalah sumber ILMU. Allah yang mengajarkan Ilmu kepada manusia, baik yang disampaikan melalui para nabinya, maupun yang diberikan kepada manusia dalam bentuk ilham, dan sebagainya.
Yang jelas, tatkala mendapatkan ILMU, maka kita yakin, bahwa Ilmu itu adalah anugerah Allah. Ilmu adalah karunia Allah. Meskipun manusia bekerja keras, jika Allah tidak menghendaki dia meraih ilmu, maka suatu ilmu tidak akan sampai padanya. Bertemunya upaya manusia dan anugerah Allah akan datangnya suatu makna pada diri manusia, itulah yang dikatakan Prof Syed Naquib al-Attas sebagai suatu Ilmu. Di sini terpadu unsur upaya manusia, sebagai syariat untuk meraih ilmu. Tetapi, pada sisi lain, bagaimana pun, keberhasilan manusia untuk meraih satu ilmu tertentu adalah merupakan anugerah Allah SWT.
Jadi, seorang Muslim adalah seorang yang sangat menghargai akalnya, dan mampu menempatkan akal manusia pada tempatnya. Akal adalah anugerah Allah. Akal digunakan untuk berpikir yang tujuan tertingginya adalah untuk mengenal Sang Pencipta (ma’rifatullah). Pengakuan akan ke-Tuhanan Allah SWT dan kenabian Muhammad saw itulah yang membedakan akal orang mukmin dengan akal orang kafir. Orang mukmin mengarahkan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah.
Orang mukmin paham akan tujuan dan makna hidup yang sebenarnya. Dengan akalnya, orang mukmin paham, bahwa kebahagiaan tertinggi di dunia ini adalah mengenal dan berzikir kepada Allah; bukan menuruti semua tuntutan syahwat. Dengan akalnya, manusia dapat mengenal Sang Pencipta. Dengan akalnya, manusia dapat memahami cara-cara menyembah Sang Pencipta, sebagaimana diajarkan oleh utusan Allah.
Jadi, meskipun sama-sama berakal, ada perbedaan yang mendasar antara akal Abu Bakar ash-Shiddiq dan akal Abu Jahal. Akal Abu Bakar adalah akal yang jernih, akal yang benar (aqlun shahihun), sedangkan akal Abu Jahal adalah akal yang salah, akal yang buruk, akal yang tidak mampu mengantarkan manusia kepada pengenalan Sang Pencipta. Wallahu a’lam bil-shawab. (***).
Bonus:
Ketika akal lebih suci dari kitab,
sebuah kitab tak ada guna tanpa akal,
sebuah kitab kehilangan makna tanpa akal,
bahkan, sebuah kitab tak lagi suci tanpa akal.
Yang sempurna bukanlah kitab,
melainkan akal.
Kalau Tuhan mengatakan manusia sebaik-baik bentuk ciptaan,
itu karena akal, bukan kitab.
Meski semua itu tertulis di dalam Kitab.
Bonus dari sini
Pic dari sini
sebenarnya tidak cuman Abu Jahal yang menolak kisah Isra' Mi'raj, mayoritas muslim waktu itu juga tidak percaya pada kisah Isra' Mi'raj, sampai Abu Bakar menyatakan kepercayaannya pada kisah Isra' Mi'raj karena yang bercerita adalah Sang Nabi sendiri, orang yang paling dapat dipercaya. Makanya Abu Bakar mendapat gelar ash-shidiq (yang membenarkan), karena dia yang pertama membenarkan kisah Isra' Mi'raj tanpa ada pretensi atau keraguan apapun.
inti beragama, ya iman/ percaya. sepenuh hati.
tapi soal contoh kasusnya, masih bisa di debat tuh. soal naik pesawat atau kapal laut, atau ojeg, bahkan angkot sekalipun, saya selalu melihat sopirnya. sopir garuda dijamin lebih terpercaya dari lion air. termasuk pesawatnya juga. kepercayaan lahir bisa dirunut dari pengalaman (pengalaman kecelakaan pesawat, pengalaman sopir pesawatnya.dll) angkot jg gitu. nyari sopir yg agak tua (khusus trek bogor-ciapus :P)
jadi ya ga taklid buta gitu.. gunakan akal berdasar pengalaman&pengamatan 🙂
tulisan apik mas wid
kalau kata Pak Mario, keimanan itu adalah pelengkap dari nalar. Apa yang tidak bisa dijelaskan melalui nalar, cukup diimani/diyakini saja. Jadi ada keseimbangan antara iman dan nalar, bukan berarti saling meniadakan.
Sy pernah dengar analog seperti ini :
Tidak akan ada satupun semut yang akan percaya kalo mereka bakal bisa menempuh jakarta-makassar hanya dalam waktu 2 jam.
Tapi mereka tidak tau itu bisa saja terjadi kalo semutnya ditumpangkan kedalam sebuah pesawat rute jakarta-makassar. Bagi semut, pesawat adalah kendaraan yang tentunya tidak akan pernah masuk dalam akal pikiran mereka, tapi buktinya pesawat itu ada.
Begitu pula, perjalanan Rasul dalam peristiwa Isra Mi'raj, sebagian orang akan meragukan itu, tapi kita yang beriman, yakin bahwa ada 'teknologi' yang bisa membuat semua itu terjadi. Butuh keimanan untuk bisa membuka cara berpikir akal kita lebih luas lagi. (imho)
Tfs, btw! b^^d
mayoritas atau sebagian kaum muslimin?
kalau dibilang mayoritas, harus ada dalilnya tuh mas….
setuju bangetss.
cakep neh. Mereka yg mengagung-agungkan ilmu pengetahuan tnp keimanan justru terjebak pd sifat relatif (berubah-ubah) dr ilmu pengetahuan itu sendiri.
Abu Bakar dan Abu Jahal kan cuma representasi dari golongan yang percaya dan tidak percaya, mengenai berapa banyak yang percaya berapa banyak yang tidak, seperti kata Pak Syamsul, butuh keterangan lebih lanjut…
seperti kata tulisan di atas, kepercayaan tetap lahir dari bukti, meski bukti awal saja yang diperlukan untuk sampai kepada tahap yakin kepada suatu otoritas…
ya, seperti kata Mas Rahman itu, kepercayaan juga bisa lahir dari pengalaman/track record, dan ini akan melahirkan otoritas tadi…
sekarang masalahnya, sejauh mana kita bisa percaya/yakin, minimal pasrah dengan pendapat suatu otoritas, berarti kan harus cari tahu dan mau menggunakan akal lagi dan membuka diri bila sudah yakin adanya otoritas yang benar, tidak malah mendustakan… jadi iman itu tetap perlu ada evidence/bukti…
menurut saya begitu, sangat bagus, saya suka dengan analogi-analogi, karena di sinilah akal kita bisa “bermain”. Bukankah Allah dalam kitab suci juga sering mengunakan analogi-analogi (perumpamaan) agar kita bisa berpikir (menggunakan akal)
ya, bisa dikatakan begitu. Lebih lengkap ini saya kopikan lagi (maaf, lagi malas berpikir, hehe, lagi rapat berat nih…) tulisan yang juga sangat bagus….
Ketika Akal Menyinari Proses Keimanan
Dalam buku Jeffery Lang yang berjudul “Aku Bertanya, maka Aku Beriman” ada sebuah deskripsi tentang fenomena proses keimanan yang luar biasa. Setelah mengkaji Islam, Jeffry Lang akhirnya memutuskan untuk menjadi mu’alaf. Beliau adalah seorang Profesor matematika di Universitas Harvard, beliau meneliti isi Al-qur’an secara menyeluruh sebelum menjadi seorang muslim dan kesimpulan yang beliau dapatkan bahwa yang membuat Al-qur’an adalah yang ahli matematika. Intinya beliau jatuh hati pada isi al-qur’an yang berimbas pada keputusan beliau untuk memeluk Islam yaitu menjadi seorang muslim ditengah-tengah masyarakat yang sekuler. Jeffry Lang masuk Islam melalui proses berpikir yaitu dengan mengkaji Al-Qur’an.
Begitu juga dengan Ibu Irene Handono, awalnya beliau adalah seorang Biarawati dan kemudian masuk Islam setelah mengkaji Al-qur’an. Ibu Irene Handono memutuskan menjadi seorang muslimah melalui proses berpikir yang disandarkan pada al-Quran.
Lalu bagaimana dengan kita yang sudah dari bayi mendapatkan predikat seorang Muslim? Proses keimanan seperti apakah yang sudah kita tempuh untuk mendapat predikat seorang muslim? Sebagai manusia yang dianugrahi akal, sudah seharusnya proses keimanan yang dijalani adalah melalui proses berpikir berlandaskan pada dalil yang bisa dipertanggungjawab yaitu Al-qur’an dan sunnah, sehingga keimanan yang terbangun pun merupakan keimanan yang kokoh tak tergoyahkan oleh romantisme dan fatamorgana dunia.
Tapi terkadang, manusia itu memang kurang menghargai sesuatu yang didapat dengan mudah. Seperti keimanan kita di Indonesia, begitu mudahnya kita menjadi seorang muslim karena orang tua kita muslim, lingkungan kita muslim dan mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Bahkan, Indonesia merupakan jumlah muslim terbesar didunia. Tapi Sudahkah pemikiran dan sikap kita pun sesuai dengan aturan Islam? Sudahkah kita mengkaji tentang Islam secara komprehensif? Sudahkah kita menjadikan Islam sebagai solusi atas permasalahan hidup kita?
Jika proses keimanan kita lahir dari sesuatu yang instan tanpa adanya proses berpikir yang cemerlang, maka ada kemungkian bahwa keimanan yang lahir pun adalah keimanan yang instan, mudah datang dan mudah pergi.
Ketika ada yang bertanya kepada kita, “Kenapa Anda memilih Islam sebagai Agama?” dan kita menjawab “Karena orang tua saya Islam”. Tentu jawaban “Karena orang tua saya Islam” adalah jawaban yang boleh-boleh saja. Tapi alangkah lebih bijak jika kita menjadi Muslim karena merupakan hasil dari proses berpikir secara cemerlang yang berlandaskan dalil shohih, sehingga keimanan kita bukanlah keimanan yang instan tapi semoga saja dengan proses keimanan menggunakan akal sehat dan didasarkan pada dalil yang shahih (Al-Qur’an dan sunnah) mampu mengokohkan keimanan kita dalam kondisi apapun seperti halnya keimanan para sahabat Rasul Saw yang begitu kokoh memperjuangkan Islam karena mereka sudah memahami hakikat dari keimanan.
Komponen Berpikir
Sekarang, mari kita bahas bersama tentang jalan menuju keimanan melalui proses berpikir yang berlandaskan dalil. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang berpikir. Coba perhatikan benda yang ada di dekat Anda, misal Handphone. Katakanlah Handphone Anda seharga satu milyar dolar (sudah semilyar, dolar pula..) Hp yang harganya semilyar dolar itu ternyata pulsanya nol rupiah, pertanyaanya; bisakah hp itu digunakan untuk menelpon atau sms? Pastinya tidak kan? Karena ada salah satu komponennya yang tidak lengkap yaitu pulsa. Atau katakanlah hp tersebut pulsanya sejuta dolar tapi keypednya tidak ada,
iya, analogi yang baik!
menurut saya bukan ilmu pengetahuannya yang salah, tapi metode berpikir orangnya saja yang salah, harusnya seperti tulisan panjang kedua, dalam balasan komentar Mas Wikan….
tapi kenapa ya banyak orang islam yang gak mau berpikir?
mengapa hanya Abu Bakar saja yang diberi gelar Ash-Shidiq? 🙂