69 tanggapan untuk “"Batuk berdahak keluar darah segar dikira leukemia…", kesimpulan seorang pasien yang cari literatur diinternet :-D Gampang amat kalau begitu untuk jadi dokter, hehe….

  1. klo cuma mengandalkan 1 tanda itu masih ada 1001 kemungkinan, hehe…. jadi ga perlu khawatir, karena diagnosis belum jelas, harus dieksplorasi/observasi lebih lanjut. Yang pentng dilihat apa ada tanda lain seiring berjalannya waktu, trus apa tanda batuk berdarah itu konsisten atau cuma sekali saja, perlu juga diperhatikan. Bisa aja itu cuma karena gusinya lagi berdarah, atau tenggorokannya teriritasi/meradang dan pembuluh darah kapiler sekitarnya pecah karena tekanan tinggi aliran udara batuknya…

  2. Wah saya kalau sakit sekarang menghindari gugel, bikin senewen, segala macam gejala ada hehehe. Tp dah dua bulanan nih badan saya sakit2, obat dokter ga nyembuhin. Akhirnya saya putuskan tidak pengobatan medis lagi, pake akupuntur, bekam dan herbal, Alhamdulillah baikan

  3. pegal-pegal belum pasti spesifik gejala penyakit juga Bu.

    Bisa jadi itu karena kurang gerak/olahraga, terlalu capek/kurang istirahat.

    Akupunktur dan herbal termasuk pengobatan medis loh, bekam saja yang belum…

  4. boleh, tapi jangan paksa aku untuk menjawab klo ga tahu ya, atau dipaksa menjawab cepat, siapa tau lagi sibuk, hehe….

    tapi juga jangan terlalu banyak tanya ya, seperti seorang kenalan dadakan saat ketemu di kereta api, eh malah ketagihan sms aku nanya ini nanya itu, seminggu sampai berkali-kali, ga pake lihat waktu kadang tengah malam juga sms, mbok telepon gitu…ini malah cuma sms, iya klo aku dikirimin pulsa buat balas sms dia, yang ada dianya keenakan akunya yang tekor, huahaha….

  5. Andaikata asuransi kesehatan mau mengakui pengobatan di luar konvensional. Tapi masih ada dokter yang menentang herbal loh, bahkan ada yang bilang bekam buruk, padahal sunnah Rasul

  6. Tadi malam saya dapat pasien yang konsumsi obat herbal dengan kompisisi ga jelas. Pasien hipertensi, biasanya tensinya paling tinggi cuma 160 mmHg. Lah ini habis konsumsi obat herbal itu tensi mendadak jadi 210 mmHg.

    Boleh-boleh saja pake herbal. RS besar pemerintah ditempat saya saja sudah lama pake herbal dan ada laboratorium penelitian khusus untuk herbalnya. Jadi juga harus terstandar dan sudah ada bukti kuat khasiatnya. Bahkan di tempat saya juga dipakai ekstrak herbal tertentu dan tempat saya ini berbasis asuransi. Terkait dengan herbal ga jelas alias geje, maka asuransi juga ga mau terima, lah standarnya ga jelas, nanti mereka malah bisa rugi klo ga jelas.

  7. setuju… dan jangan hanya berdasarkan testimoni, karena testimoni bukan uji klinik.
    Testimoni sangat subjektif, kadang kacau antara reaksi yang terjadi dengan reaksi yang diharapkan. Selain itu reaksi tubuh terhadap bahan herbal maupun kimia bisa tidak sama satu individu dengan yang lain.
    hmm.. jadi pengen nulis tentang ini…

  8. Lho, ini artinya pasien yang butuh penjelasan dokter, tapi males mau nanyanya, karena kan banyak tuh dokter yang nggak mau diajak bicara panjang lebar. Wah, dokter Dodo nggak boleh gitu, ya?

    Selamat bertugas dok!

  9. Syukur lah. Pediatrician anak dan cucu saya (sampai sekarang masih praktek), juga banyak bicara. Obatnya ringan, malah kadang-kadang nggak dikasih obat, cuma dikasih penjelasan dan pelajaran merawat si sakit. Kok ya sembuh lho.

    Pasiennya mbludak terutama dari kalangan menengah ke bawah yang takut kalau disuruh beli obat mahal. Semoga mas dokter juga pasiennya pada seneng balik periksa lagi.

  10. iya Mas, salah-satunya juga bisa tanda TBC, tapi tentu itu ada (meski tidak semua) batuk kronik/lama, ada gejala demam ngelemeng, keringat dingin di malam hari, penurunan berat badan yang drastis, kadang sesak napas, status lingkungan tempat tinggal/kerja, dsb-nya

  11. Heu-euh bener mas dokter. Dulu sekali waktu spesialis belum booming di kampung saya sini, ibu saya diperiksa oleh DSPD yang kalau sampai di RS sudah jam sebelas malam, jalannya doyong-doyong karena kebanyakan pasien di ruang prakteknya. Padahal pasien yang dirawat kan sangat butuh ketelitiannya.

  12. hehe, yah begitulah…

    saya sendiri membatasi 2 tempat praktik saja Bu, itu aja lelahnya udah setengah hidup :-b

    hampir setiap hari saya kerja minimal 12 jam, rabu-kamis malah bisa 36 jam: pagi rapat, siang praktek, malam praktek lagi, paginya rapat lagi, siangnya praktek lagi sampai malam, yah seperti malam ini, masih nangkring di warung nih, pulang praktek 🙂

  13. bener Bu, demi pengabdian (halah) dan demi segepok duit dan segenggam berlian 😀

    Saya selalu berusaha istirahat senyaman mungkin Bu, makan, mandi air hangat bila perlu, matikan lampu, relaksasi dan berdoa di tempat tidur, ga sampe 5 menit udah nyenyak.. 🙂

  14. ada dokter lain yang sewot nih mba 🙂

    nih jurnalnya dia
    ———————————-

    Disclaimer: postingan terinspirasi dari postingan lain, jika menyinggung mohon dimaafkan

    Sebagai seorang profesional, saya berusaha bekerja secara profesional. Tentu saja ada proses pembelajaran menuju keprofesionalan itu. Satu hal yang saya lakukan kepada klien saya (baca: pasien) saya mencoba untuk tidak menghakimi klien saya.

    Saya percaya untuk menjadi seorang profesional, dibutuhkan pendidikan khusus yang berbeda untuk tiap jenis profesi yang ada. Misalkan saja saya yang kebetulan memilih menjadi seorang dokter dengan menempuh pendidikan selama 6 tahun. Teman saya kuliah 4 tahun untuk meraih sarjana ekonomi atau sarjana hukum.

    Lalu apa berarti ilmu yang saya dapatkan, tidak bisa dipelajari oleh pihak lain? Atau saya tidak bisa mengerti ilmu yang dipelajari teman saya. Lalu apa saya harus kuliah hukum untuk tahu tentang hukum, apa saya harus kuliah keuangan untuk tahu tentang keuangan.

    Kalau saya belajar tentang hukum atau tentang keuangan dari si google sehubungan dengan masalah yang saya hadapi, lalu menemukan satu istilah yang saya rasa mirip dengan yang saya alami ketika saya coba konfirmasikan dengan seseorang yang kebetulan mempelajari ilmunya, lalu apa langsung bisa dikatakan saya salah? Saya sok tahu?

    Kebetulan sebagian besar klien saya, melek teknologi. Saking meleknya tak jarang mereka mengungkapkan istilah-istilah atau mencoba mencari diagnosis dirinya sendiri dengan bantuan teknologi pencari di dunia maya. Tak jarang memang tepat apa yang mereka cari, tak sedikit pula yang salah atau berlebihan. Lalu apakah saya menghakimi mereka dengan berkata: “hei siapa yang dokter di sini”, atau “yang kuliah kedokteran siapa ya”, atau
    “tidak perlu kuliah kedokteran 6 tahun, cukup berselancar saja di dunia maya”

    Coba balik posisinya. Kebetulan saya pernah menjadi pasien, pernah menjadi orang tua pasien. Syukur alhamdulillah, ketika saya mencoba menanyakan atau mengkonfirmasi kondisi saya dan/atau anak saya, belum pernah konsulen itu berkata: “yang spesialis siapa?” Atau “kalau begitu tidak perlu kuliah spesialis, berselancar saja di dunia maya”. Meskipun saya berkata: “maaf dok, menurut yang saya baca di internet, ini bla bla bla”. Pun begitu saya mendapatkan penanganan yang salah dari seorang SpA saat anak saya mengalami jaundice (kuning) akibat ABO incompatibility (ketidak cocokan golongan darah), meski dengan penjelasannya yang kurang tepat, beliau berusaha memberikan penjelasan dengan menganggap saya awam, tanpa mengutak atik latar belakang informasi yang saya dapatkan. Meski saya tidak puas, tetapi setidaknya saya menghargai informasi yang dia berikan. Juga dengan dokter spesialis kandungan saat saya berkonsultasi mengenai keluhan saat kehamilan. Tidak ada proses penghakiman disitu. Saya tidak akan menyerahkan diri dan/atau anak saya kepada seorang profesional begitu saja.

    Saya memposisikan diri saya awam. Bukan karena saya seorang profesional juga. Tapi sebagai seorang klien.

    Juga ketika saya menanyakan istilah hukum, istilah keuangan yang saya dapat di internet, sampai saat ini belum pernah ada yang berkata: “siapa yang sarjana hukum disini” atau tidak perlu kuliah hukum kalau begitu, berselancar saja di dunia maya saja”. Tentu saya, sebagai seorang perempuan yang terkendali dengan hormon, mungkin saya akan marah atau kecewa jika ada yang mengucapkan hal tersebut kepada saya.

    Yah inti dari tulisan ini…
    Please respect to someone's opinion, don't judge their incorrect perception but try to change their perception by giving them information clearly…

  15. Huehehhehe…
    Saya juga tidak melarang siapapun memberikan opini atau informasi apapun yang didapatnya di internet ataupun dari sumber lain. Kata nenek, dari buku, dari majalah… dll. Saya sangat percaya kata seorang dokter spesialis senior bahwa berkomunikasi dengan pasien yang well-informed itu sangat memudahkan dokter.

    Yang menjadi masalah adalah, ketika pasien mendapatkan sepotong informasi, lalu meyakininya sebagai suatu kebenaran, terus memaksakan keyakinannya. Sedangkan para dokter yang sekolahnya sudah sekian lama saja masih harus siap untuk selalu menerima informasi baru, harus selalu meng-update pengetahuannya. Ini seringkali terjadi. Saya sudah mengalami, begitu sulitnya membongkar pengetahuan seseorang tentang antibiotika pada batuk pilek, mencoba meyakinkan bahwa tidak ada istilah “saya terbiasa minum dengan dosis obat yang besar,” dll

    Monggo berselancar di internet, menimba ilmu kesehatan di mana saja, dan mari berdiskusi 🙂

  16. semoga dia baca, biasanya ngintip di sini, tapi ga komen 🙂

    klo aku sih jawabnya dijurnal dia, ya senadalah, ini:

    sepertinya karena baca ditempatku ya? *GR

    harus dibedakan antara kritis yang membahayakan dan yang tidak yang akhirnya berakibat pada ketidakpercayaan kepada dokter, akhirnya juga sering terjadi self medication yang justru ga rasional karena malah lebih percaya internet. Kebetulan klo aku kebanyakan dapat pasien yang salah dalam mengeksplorasi informasi.

    Cantarides dermatitis dikira herpes, demam dikit aja dikira demam berdarah, batuk berdarah dikit aja dikira TBC, neyri dada aja langsung dikira sakit jantung. Dan tidak jarang dokter yang kurang aware malah jadi ikut-ikutan dengan pasiennya. Bukan herpes diberi Acyclovir (sering sekali terjadi), gatal alergi diberi Ketokonazol, nyeri telan langsung beli FG Troches, dsb.

    Aku dengan senang membenarkan informasi yang salah itu dan bilang kepasien jangan mudah percaya dengan informasi yang sepotong-sepotong dan langsung minta obat ke apotek alias jadi dokter mandiri. Iya klo benar, malah seringnya salah.

    Jadi baca note (klo benar memang dari noteku) juga jangan sepotong-sepotong ya…

    LALU ini:

    silakan baca lagi di sini: http://subhanallahu.multiply.com/notes/item/96 (“Batuk berdahak keluar darah segar dikira leukemia…”, kesimpulan seorang pasien yang cari literatur diinternet 😀 Gampang amat kalau begitu untuk jadi dokter, hehe….)

    aku lebih senang klo dr. Ian nanggapin di note-ku, bukan malah bergosip di sini, tapi ga pa-palah, udah aku maafin… Memaafkan itu menyehatkan (Tips – Resep Awet Muda I: http://subhanallahu.multiply.com/reviews/item/18)

  17. mmm, penasaran Bu Julie? hehe… klo dia mau komen di sini nanti tau sendiri, klo cuma ngintip, ya biar aja..tetap penasaran, hahaha…. menurut Bu Julie gimana pendapat dia/dokter itu, OK kan?

  18. Saya mengalamai batuk berdahak yg berkepanjangan. Batuk saya ini sudah lama, dan tiba2 saja sekarang dahak yang keluar itu berdarah. Itu bagaimana ya dok,??
    Apakah itu berbahaya,??? Apakah itu penyakit,???
    Mohon jawabannya dok. Terima kasih

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.