Ini sebuah kisah seorang bapak korban gempa dari Palbapang, Bantul. Seingatku kejadian ini dimulai hari Jum’at malam, setelah sholat magrib. Kebetulan pada waktu itu aku lagi mangkal di masjid barat selatan fakultasku. Sedang asyik-asyiknya aku ngobrol dengan serang teman, seorang bapak datang datang menghampiri.
“Mas, mau minta donor darah, ada yang bisa ga ya?” Kira-kira begitu kata beliau. “O, coba langsung aja ke takmir masjid aja, Pak. Biasanya nanti langsung diumumkan…”, kataku sambil tetap mengobrol dengan temanku.
“O, nggih, mas, matur nuwun (ya, mas, terima kasih)…”
Sesaat kemudian dari pengeras suara di masjid itu keluar pengumuman tentang permintaan darah golongan B sebanyak 1orang.
“Mmm…, aku kan golongan B…” kataku dalam hati. Ku lihat si bapak celingak-celinguk, kalo-kalo ada yang mau donor. Sampai akhirnya ia terlihat mau keluar dari masjid.
Segera aja secara spontan aku panggil tuh bapak. “Butuhnya B ya, Pak?” kataku setelah ia mendekat…Eee, malahan bukan menjawab, si bapak malahan menangis sesenggukan. “Wah, kenapa, Pak…? Dah, Pak tenang aja, nanti saya yang donor, siapa yang butuh darahnya, Pak?
Ia mulai bisa cerita, sambil menyeka lelehan air matanya. “Anak saya, mas…”
“Ok, Pak, kita langsung ke sana (ke PMI RS Sardjito)…, barenga aja, Pak, tapi tunggu sebentar, ya…
Aku menemui istriku yang sudah menunggu di belakang. “Yang, acaranya ga jadi, tapi aku mau donor sebentar, ayo ikut aja…sepertinya bapaknya butuh cepat.” Istriku menurut aja.
Bertiga kami menuju PMI RS Sardjito. Sambil berjalan aku nanya-nanya ke bapaknya.
“Anak Bapak sakit apa? berapa umurnya?”
“Perutnya, mas…perutnya kembung dan merasa kesakitan terus, umur putri saya 5 bulan…”
“Ooo, baru lahir ya, Pak….mmmhhh, kenapa perutnya, Pak…? ko bisa gitu?”
“Nganu, mas, dulu itu, anak saya, ketika baru lahir, kata dokter…dia kena hidrosefalus (pembesaran kepala karena jumlah cairan otak meningkat). Udah di operasi kemarin, dipasangi pipa dari kepala ke perutnya (kalau ga salahku nama operasinya VP-shunt)…”
“Terus..?”
“Ya, beberapa hari ini anak saya itu menangis terus seperti kesakitan, dan perutnya kembung…, kata dokter lagi…mungkin ada ususnya yang melintir…”
Ya…ya…aku paham….
“Sekarang, anak Bapak di mana, ada yang nungguin ga?”
“Di IGD, saya sendiri ke sini, ibunya sedang nungguin anak-anak di rumah…”
“Yang ini anak keberapa?”
“Keempat”
“Kalau gitu, Bapak silakan menunggu anak Bapak aja di IGD, saya di sini aja menunggu diambil darah…”
Bla…bla…bla… Akhirnya darahku diambil juga setelah menunggu lumayan lama. Tak lupa juga membawa “oleh-oleh” dari PMI berupa obat tambah darah dan mie gelas. Susu coklatnya sudah aku minum sesaat setelah darahku diambil.
Karena sudah cukup malam, aku dan istriku pamit aja langsung, ga sempat lihat anak si bapak, yang katanya sudah dipindah ke ruangan rawat inap intermediet (IMC), sambil memberikan kartu namaku dan mendoakan anaknya, semoga lekas sehat.
Tiga minggu lebih dari pertemuan dengan bapak itu (aku kok lupa namanya ya…), ada telepon, ketika aku di kantor…
“Mas, terima kasih ya atas donornya kemarin…”
“Ya, Pak, sama-sama, gimana anaknya..?
“Sudah meningga, mas…”
“Innalillahi…, mmm…yang tabah ya, Pak… (bingung mau ngomong apa lagi…)”
“Sekali lagi makasih, mas…”
“Ya, Pak…”
Telepon di tutup. Seorang bapak, korban gempa, dengan empat anak (yang satu sudah meninggal itu) hanya bisa mengiang terus di memoriku. Mudah-mudahan sang putri bungsunya yang masih suci itu menjadi pemberi syafa’at kepada beliau di hari pengadilan nanti, amiiin…
innalillahi wa inna illahi rojiun..
jazakillah kathiron
@ ramizarahman:
Mau donor juga? (buat cadangan) 🙂
Amiin ya Allah. Sungguh berat ujian bapak itu, masih banyak lagi yang lainnya. Sudah sepantasnya hidup kita yang penuh kenikmatan, disyukuri tiada henti.
Iya, tul Zul!