Diposkan pada kontemplasi, korupsi

Antara Pamrih dan Gayus


Link (Shared from Pak Dono)

Seorang rekan baru saja menemukan tasnya yang semula tertinggal di kereta dalam perjalanan Virgin Train London-Manchester. Kebetulan saya waktu itu bepergian bersama teman ini dari London, jadi saya tahu betapa khawatir dan shock-nya si teman ini setelah sadar tasnya tertinggal di kereta api malam itu. Tas ransel itu berisi pasport, laptop dan sejumlah uang yang tidak sedikit. Malam itu juga kami telepon dan datang mengunjungi loket lost property di stasiun tujuan utama, dan juga bertanya pada manajer perusahaan kereta api yang ada di sana. Namun tidak ditemukan tanda-tanda dimana tas itu berada. Kereta api yang kami gunakan semula juga sudah tidak berada di stasiun itu, sudah pergi entah kemana.

Besok paginya, si teman ini menyambangi lagi stasiun kereta api itu untuk mencari tahu keberadaan tas yang berisi barang-barang yang penting itu. Bayangkan saja, pasport adalah identitas diri yang paling penting di negeri orang. Apalagi di dalamnya juga ada stiker visa yang mengijinkan si pemegang paspor untuk tinggal di negeri ini selama menjalankan studinya. Di dalam laptopnya juga mungkin berisi dokumen-dokumen penting bagi studi si teman. Jika sampai tidak ditemukan, pasport harus diganti, visa harus dibuat ulang, laptop harus direlakan, dan dokumen elektonik dalam laptop juga musnah. 

Setelah hampir putus asa dan pasrah kalau tasnya benar-benar tidak bisa ditemukan, tidak dinyana selang beberapa hari kemudian seorang manajer perusahaan perawatan kereta api mengirim email berisi pemberitahuan akan ditemukannya tas yang hilang itu dalam kereta yang dulu kami naiki. Betapa lega dan senang hati sang teman ini ketika tahu tasnya ditemukan. Bahkan tas itu kemudian diantar ke kediamannya oleh salah satu personel British Transport Police, tanpa ada kekurangan atau kehilangan di dalamnya.

Hal ini mengingatkan pada pengalaman seorang kawan yang juga pernah mengalami hal serupa. Kebetulan saya juga dalam perjalanan bersama dia saat itu. Tasnya tertinggal di rak barang dalam gerbong kereta api di salah satu stasiun kota London. Saat kami sadar tasnya tertinggal di sana, si kereta sudah berjalan meninggalkan stasiun menuju pemberhentian selanjutnya. Segera saja kami laporkan kehilangan ini ke petugas stasiun dan si petugas segera mengontak rekannya yang bekerja di stasiun tujuan berikut dari rangkaian kereta api itu. Kami lalu diminta segera naik kereta api selanjutnya menuju stasiun berikut dan menemui petugas yang ada disana. Ternyata tas dan segenap isinya ditemukan dengan baik tanpa kehilangan satu hal pun. Pasport, laptop dan barang-barang penting lainnya masih di sana. Senang menerima tasnya masih lengkap, si teman ini memberikan beberapa kaus souvenir bagi si petugas stasiun, walau umumnya hal ini jarang dilakukan di tanah ratu Elizabeth ini. Dengan mengucapkan terima kasih tulus saja sudah cukup. Mereka hanya menjalankan tugasnya. Menemukan dan mengembalikan tas yang hilang itu adalah bagian dari tugasnya tanpa perlu minta imbalan apa-apa.

Saya sendiri juga pernah kehilangan serupa, namun bukan berupa tas atau laptop. Saya pernah tidak sengaja lupa meletakkan handphone di bangku kereta api, dan lupa mengambilnya kembali saat saya tiba di stasiun tujuan di dekat rumah. Tanpa sadar telah melupakan si handphone, saya berjalan pulang ke rumah pelan-pelan. Tidak disangka saat masuk rumah telepon rumah berdering, dan si penelpon di ujung telepon mengabarkan kalau dia menemukan telepon saya di atas kereta api. Si penelepon adalah kondektur kereta api yang saya naiki tadi. Ia menemukan nomor rumah saya karena dalam call register muncul entri berjudul ‘Home’, yang jelas menggambarkan bahwa nomor itu adalah nomor rumah kediaman saya. Lalu saya segera diminta kembali ke stasiun tempat saya turun tadi karena ia akan kembali melintasinya saat si kereta api kembali ke arah stasiun kota asal.

Tentu saja saya segera berlari ke stasiun dan menunggu si kereta kembali datang. Begitu datang, dengan melihat saya menunggu di platform stasiun ia langsung menyerahkan si handphone (yang saat itu masih cukup gres kondisinya) pada saya tanpa bertanya apa-apa. Saya mengucapkan terima kasih yang tulus lalu ia segera masuk kembali ke dalam kereta api untuk meneruskan pekerjaan dan perjalanannya.

Dari ketiga pengalaman pribadi di atas, saya merasa tidak ada pamrih pada ketiga pihak yang membantu menemukan barang-barang hilang itu. Mereka hanya menjalankan tugasnya dengan baik. Jangan sangka mereka tidak butuh uang, karena saya tahu juga sebenarnya gaji mereka-mereka ini tidak besar-besar amat. Memang secara nominal gaji pegawai di Inggris relatif lebih besar dibanding gaji di Indonesia, tapi pengeluarannya juga besar jadi sebenarnya ujung-ujungnya sama saja.

Lalu saya bayangkan pengalaman-pengalaman ini pada beberapa cerita teman-teman lain khususnya ketika masih di Indonesia. Biasanya, kalau kita ketinggalan sebuah barang berharga di kendaraan umum, kita tidak bisa harapkan bisa menemukan lagi barang-barang itu, atau setidaknya jika bisa ditemukan kembali ada yang hilang atau tidak lengkap. Kadang juga si penemu barang meminta imbalan baik secara terang-terangan maupun terselubung halus. Penemu kebanyakan berpamrih saat mengembalikan barang temuannya.

Apalagi jika kita sambungkan ini pada kasus Gayus yang sedang hangat diberitakan di media massa Indonesia. Gayus adalah pegawai negeri yang berurusan dengan pengurusan pajak beberapa perusahaan besar. Saat selesai membantu pengurusan pajak perusahaan-perusahaan itu, ia lalu menerima uang terima kasih dalam jumlah yang aduhai. Mulai dari $500 ribu, $1 juta, sampai $2 juta. Semua ini didapat ekstra dari pihak yang ‘berterima kasih’ atas jerih payah kerjanya.Tidak heran kemudian diketahui bahwa si Gayus ini, dalam usia yang relatif muda (30 tahun), ada uang sejumlah 25 milyar rupiah dalam rekening2nya, dan harta jenis lain dalam safe deposit box seharga 74 milyar!

Sebagai pegawai departemen keuangan, Gayus sudah menerima gaji dari rekening pemerintah untuk menjalankan tugasnya membantu para wajib pajak itu. Jadi, ucapan ‘terima kasih’ berupa uang ini sebenarnya adalah penerimaan yang tidak bisa dibenarkan alias gratifikasi. Apalagi gaji pegawai di departemen keuangan jumlahnya relatif memadai, jauh lebih besar dibanding pegawai negeri sektor lainnya.

Gayus tentu tidak sendirian. Dulu saya sering heran kalau bepergian ke kompleks perumahan pejabat pertanahan, perpajakan, atau kejaksaaan. Maaf-maaf saja, di sana mudah kita lihat rumah-rumah perkasa dan mentereng yang rasanya tidak sesuai dengan besar pendapatan sebagai pegawai negeri. Darimana sumber dana untuk membangun rumah-rumah keren itu? Mudah-mudahan sih bukan seperti apa yang Gayus lakukan. Tapi sangat sulit bagi saya untuk tidak berprasangka buruk pada pemilik rumah-rumah itu. Tapi jangan su’udzon lah yaw 😀

29 tanggapan untuk “Antara Pamrih dan Gayus

  1. iya, Pak Iwan

    kita perlu bersu'udzon kepada orang-orang yg pantas di-suudzuni :-b hanya orang yang berbisnis (bukan gaji tetap) yang bisa fleksibel dan menjadi sangat besar penghasilannya…..

    model Inggris saya kira tetap ada teladan dari pemimpin-peminmpin mereka. Lah, kita pemimpin (bahkan sampai presiden) saja begitu. Tidak tegas karena mungkin juga kena cipratannya. Biarkan saja koruptor tetap hidup toh banyak yang bahagia klo mereka tetap hidup.

    Pepatahnya saya kira masih relavan: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. seorang kondektur bis di Indonesia yang suka korupsi kecil-kecilan tidak memberi kembalian uang penumpang sebenarnya lebih bejat, apabila dia diberikan kesempatan menjadi orang dengan posisi seperti Gayus…

  2. Pengalaman ini sama persis urutannya dg yng saya alami ketika ketinggalan tas yg berisi laptop, pasport & dokumen penting lainnya di dalam kereta api di salah satu stasiun di kota Osaka, Japan, 2 th lalu. Dan, Alhamdulillah, tidak sampai 30 menit, tas itu kembali ke tangan saya lagi. Dan yg bikin saya salut, petugas yg mengantarkan tas saya itu tidak mau menerima uang terimakasih dari saya. Kapan kita bisa punya budaya spt ini ?

  3. Pengalaman ini sama persis urutannya dg yng saya alami ketika ketinggalan tas yg berisi laptop, pasport & dokumen penting lainnya di dalam kereta api di salah satu stasiun di kota Osaka, Japan, 2 th lalu. Dan, Alhamdulillah, tidak sampai 30 menit, tas itu kembali ke tangan saya lagi. Dan yg bikin saya salut, petugas yg mengantarkan tas saya itu tidak mau menerima uang terimakasih dari saya. Kapan kita bisa punya budaya spt ini ?

  4. Aku pernah juga kehilangan. Kacamata minusku tertinggal ditempat wudhu di masjid ya hilang padahal apa sih gunanya kacamata itu buat si maling?. Pernah juga kehilangan sepatu sendal yang baru dibeli belum sampai satu bulan dimasjid juga, akhirnya nyeker deh…dan suatu saat salah satu malaing di masjid itu pernah ketangkep, habis deh digebukin, untung ga dibakar… semangka depan rumah yang baru sebesar mangga, juga hilang meski mungkin dimaling oleh anak-anak, tapi patut dipertanyakan bagaimana mereka mendidik anak-anak mereka itu?

  5. temanku, anak pejabat, rumahnya mentereng-fasilitas mewah-temenku dan adek2nya bawa mobil masing2-liburan ke luar negeri dan segenap kemewahan lainnya…
    tapi aku ga su'udzon 🙂

  6. aku pernah kehilangan STNK. Besoknya ada orang yang nelp kerumah ngasih tau kalo dia dah nemuin STNK ku yang ternyata jatuh di jalan. Alhamdulillah orang itu baik dan gak minta ongkos pengganti! Masih banyak koq orang baik di negeri ini! 😉

  7. Kadang juga si penemu barang meminta imbalan baik secara terang-terangan maupun terselubung halus. Penemu kebanyakan berpamrih saat mengembalikan barang temuannya
    ======================================================

    wooo….jelas…indonesia gitu lho…yg katanya ramah dan suka membantu
    aku ngalamin sendiri pas tas berisi dompet saya ilang, bu X yg nemu *ditunjukkan oleh orang lain lagi yg liat bahwa bu X yg memungut tas saya* dengan sengaja minta kartu nama dan no telpun, menyerahkan tas tapi tidak mengembalkan dompet saya dengan alasan tidak ada dompet di dalamnya *ketahuan kalau dia buka2 tas tho?*
    ketika saya tinggalin kartu nama dan duit 50rb, sorenya dia nganterin dompet ke rumah, dan masih minta uang ojek …gustiii….

  8. Kadang juga si penemu barang meminta imbalan baik secara terang-terangan maupun terselubung halus. Penemu kebanyakan berpamrih saat mengembalikan barang temuannya
    ======================================================

    wooo….jelas…indonesia gitu lho…yg katanya ramah dan suka membantu
    aku ngalamin sendiri pas tas berisi dompet saya ilang, bu X yg nemu *ditunjukkan oleh orang lain lagi yg liat bahwa bu X yg memungut tas saya* dengan sengaja minta kartu nama dan no telpun, menyerahkan tas tapi tidak mengembalkan dompet saya dengan alasan tidak ada dompet di dalamnya *ketahuan kalau dia buka2 tas tho?*
    ketika saya tinggalin kartu nama dan duit 50rb, sorenya dia nganterin dompet ke rumah, dan masih minta uang ojek …gustiii….

  9. hehe, wah, ga cocok klo mau jadi orang KPK nih, Mon. Ada, loh su'udzhon yang diperbolehkan, yaitu prasangka yang berlandaskan alasan yang jelas. Memang tidak semua pejabat begitu. Tapi kita lihat lagi kan…, pejabat apa dulu. Pejabat BUMN mungkin yah, tapi klo pejabat-pejabat yang bisa kita hitung nilai take home pay-nya yang halal, ya tentu saja lainlah… Apalagi yang kita bicarakan ini saja cuma pegawai rendahan, seperti Gayus. Pantaslah kita, bahkan aparat penegak hukum untuk berprasangka buruk terhadap mereka yang jelas-jelas bisa dihitung kekayaan yang diterimanya secara halal.

    Su'udzhon atau buruk sangka secara umum memang dilarang:
    “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)”

    Nah, perhatikan ayat itu, cuma disebut sebagian saja kan?
    Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhus Shalihin, 3/191)

    Zhon/prasangka yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah/tuduhan tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhon yang jelek.

    Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhon yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhon yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami' li Ahkamil Qur`an, 16/218)

    Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi `Iyadh rahimahullahu, bahwa zhon yang dilarang adalah zhon yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu'lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)

    Nah, bagaimana? tentu saja kita pantas berburuk sangka kepada orang-orang yang memang layak untuk diburuksangkakan….

  10. iya, mba Amel, memang masih banyak, tapi mereka seperti buih saja yang tidak terlihat perannya. Pernah dengar tentang korupsi berjama'ah kan? Nah itulah yang terjadi, bisa dikatakan (berdasarkan penelitian KPK) bahwa 90 % lebih PNS kita adalah orang yang tidak jujur alias koruptor, dari yang kelas teri sampai yang kelas paus (bukan kakap lagi deh) (datanya bisa dicari lebih lanjut, saya pernah baca, tapi persisnya lupa…). Peran para orang tak jujur kelas kakap atau paus, walaupun mungkin hanya segelintir, tapi dampaknya sungguh merusak.

  11. berdoa dan berpartisipasi aja menjadi manusia Indonesia yang baik dan jujur Bu :-), bila sudah terbiasa, maka nanti klo jadi pejabat atau yang memegang amanat penting pun akan lebih baik alias lebih jujur. Tapi memang susah klo tidak ada teladan dari pemimpn dan ketegasan penegakan hukum.

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.